Oleh: Muhaimin Iqbal
Diantara ‘bocoran’ tanaman buah surga yang sudah bisa kita nikmati di dunia dan tumbuh dengan sangat baiknya di negeri ini adalah pisang. Hanya mungkin negeri ini kurang perhatian saja, sehingga ketika negeri jiran kita Philipina tahun lalu berhasil menempatkan dirinya menjadi exporter pisang no 3 di dunia setelah Ecuador dan Belgia, kita bahkan masih mengimpornya. Bila India bertekad ingin merebut pasar pisang dunia dengan pisang kebanggaan mereka yang diberi nama Mahabanana, kita masih bingung pisang yang mana yang akan kita unggulkan. Tetapi ini sesungguhnya adalah peluang untuk kita semua.
Secara
ekonomi nilai perdagangan pisang dunia tahun lalu mencapai US$ 11.7
milyar , dan termasuk salah satu perdagangan komoditi yang tumbuh paling
pesat di dunia. Tahun lalu saja pertumbuhannya mencapai 14.3 % , dan
sejak tahun 2010-2014 kumulatif pertumbuhan mencapai 40 %.
Ironinya, negeri kita yang pisang bisa tumbuh dimana saja -
kita malah masih mengimpor pisang dalam jumlah besar. Nilainya hanya
kalah dari impor jeruk, dan data terakhir masih menunjukkan nilai impor
di kisaran US$ 190 juta.
Dari
sisi kesehatan, ‘bocoran’ buah surga ini juga sungguh luar biasa
sehingga disebut buah kehidupan. Diantara daftar manfaatnya yang sangat
panjang – ada yang mengidentifikasi sampai 25 manfaat - pisang
mengandung tryptophan yang dalam tubuh kita kemudian berubah menjadi
serotonin , suatu neurotransmitter yang menghadirkan rasa bahagia di otak – tidak heran lha wong pisang adalah buah surga !
Dari
skala mikro petani, sesungguhnya pisang juga tidak kalah menarik dengan
tanaman-tanaman lainnya. Bila tanah terbaik sekarang adalah sawah yang
bisa ditanami padi tiga kali dengan hasil rata-ratanya adalah sekitar 6
ton, dan harga jual gabah rata-rata Rp 4,000 saja ; maka dalam setahun
hasil kotornya adalah 3 x 6,000 x Rp 4,000 = Rp 72,000,000,-.
Tanaman
pisang intensif dapat memberikan hasil lebih dari 20 ton per tahun.
Dengan harga jual petani sekarang di kisaran Rp 6,500/kg. Artinya satu
hektar pisang bisa memberikan hasil kotor Rp 130 juta per tahun.
Meskipun demikian saya tidak menganjurkan petani mengganti padi di
sawahnya dengan pisang, karena di sisi beras-pun kita masih pas-pasan.
Kelebihan
lain pisang adalah tidak perlu tanah sawah yang membutuhkan air terlalu
banyak seperti padi, cukup ditanam sekali – selebihnya adalah anakan
yang tumbuh terus menerus silih berganti – sehingga biaya penanaman dan
perawatannya akan cenderung menurun di tahun-tahun berikutnya.
Dengan
perbagai kelebihan tersebut, masihkan kita akan menjadi penonton saja
dari perebutan pasar pisang dunia ? lebih dari itu masihkan kita akan
membiarkan negeri ini menjadi pasar yang diperebutkan oleh negeri-negeri
para pengekspor pisang dunia tersebut di atas ?
Impor
pisang kita tersebut di atas urang lebih setara dengan 10,000 ha lahan
pisang. Artinya bila kita bisa menanam pisang seluas 10,000 ha secara
intensif sebagai tambahan pisang rakyat yang sekarang sudah ada, maka
insyaAllah impor pisang sudah bisa dihentikan. Seberapa berat sebenarnya
menanam pisang 10,000 ha tersebut di atas ?
Sebagai
pembanding, komunitas pembaca situs ini dalam beberapa bulan terakhir
berhasil menanam kacang tanah sekitar 120 hektar dalam system iGrow,
masih banyak yang berminat tetapi karena kendala lahan dan karena juga
masih diperlukan learning proses kita semua – maka jumlahnya kita batasi
untuk satu komoditi.
Namun
dari pengalaman iGrow kacang tanah tersebut, dan peluang untuk
menggarap lahan-lahan di Jawa Timur dan Jawa Barat – insyaAllah komoditi
pisang bisa ditanam secara lebih luas. Melihat resources lahan yang ada
dan minat di iGrow, insyaAllah kita bisa tanam pisang rame-rame sampai
1,000-an hektar. Ini akan menjadi langkah konkrit mengurangi atau
menghentikan impor buah-buahan dari luar negeri – mulai dari pisang.
Mengapa
dari sini mulainya ? ya karena pisang inilah yang mudah ditanam dan
usia panennya juga cepat. Tanaman pisang mulai berbunga pada usia 9-12
bulan, dan buah siap dipetik sekitar 3 bulan kemudian. Setelah itu
anaknya akan susul menyusul menggantikan induknya dalam menghasilkan
buah.
Terus
kalau kita sudah menanamnya, kemana menjualnya ? Ini memang problem
klasik petani kita. Kita bisa menanam tetapi kemudian kelabakan
menjualnya bila waktunya panen. Maka pendekatan yang kami lakukan
sekarang terbalik, kita amankan pasarnya dahulu – baru kemudian membuat
perencanaan penanaman.
Hari-hari
ini kami sedang menjalin komunikasi intensif dengan salah satu jaringan
retailer terbesar di negeri ini, karena untuk sementara ini masih
jaringan semacam inilah yang bisa menyerap komoditi seperti pisang dari
1,000 ha tersebut. Hanya bila telah tercapai kesepakatan dengan pasar
inilah kita baru akan mulai menanamnya.
Tulisan
ini juga sekaligus menjadi pemberitahuan awal bagi para peminat iGrow
untuk bisa mulai mencatatkan minatnya khusus untuk komoditi pisang ini.
Kesempatan konkritnya sendiri baru akan dibuka di system iGrow setelah
ada kesepakatan resmi dengan pasar tersebut di atas.
Dalam
jangka panjangnya, project 1,000 ha lahan pisang ini juga bisa menjadi
model dalam mengatasi defisit perdagangan kita khususnya dari sektor
pangan. Sehingga meskipun kecil baru mentargetkan 10 % dari shortage
pasar yang ada, kita sungguh-sungguh berusaha melangkah secara konkrit
setapak demi setapak untuk mencapai kedaulatan pangan. Yang 90 % biar
diatasi oleh pemerintah atau pihak-pihak lain yang lebih perkasa di
negeri ini. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar