'Déjà Vu' Akhir Tahun 1998/2008…

Hari ini (31/12/08) adalah hari terakhir dalam tahun 2008, waktunya saya menganalisa data kinerja Dinar setahun terakhir untuk pemahaman saya sendiri sekaligus juga untuk berbagi dengan para pembaca situs ini. 

Saya belum bisa memuatnya hari ini, karena perdagangan emas dunia untuk tahun ini masih akan berlangsung sampai dini hari besuk waktu Indonesia.  Insyaallah catatan akhir tahun ini bisa saya sajikan besuk atau lusa.

mirrorHari ini (31/12/08) adalah hari terakhir dalam tahun 2008, waktunya saya menganalisa data kinerja Dinar setahun terakhir untuk pemaha

man saya sendiri sekaligus juga untuk berbagi dengan para pembaca situs ini.



Saya belum bisa memuatnya hari ini, karena perdagangan emas dunia untuk tahun ini masih akan berlangsung sampai dini hari besuk waktu Indonesia.  Insyaallah catatan akhir tahun ini bisa saya sajikan besuk atau lusa.


Ketika saya mengumpulkan data dan mulai mencerna peristiwa demi peristiwa, ada perasaan aneh yang barangkali ada manfaatnya saya berbagi dengan pembaca kali ini. Perasaan tersebut adalah perasaan seolah-olah telah mengalami hal yang sama  sebelumnya , dalam bahasa perancis hal ini disebut Déjà Vu atau bahasa latinnya disebut Paramnesia atau Promnesia.

Namun setelah saya teliti lebih jauh; ini bukan sekedar Déjà Vu.  Segala yang kita alami tahun 2008 ini dan bahkan juga  kemungkinan besar 2009 – dalam banyak hal merupakan pengulangan sejarah 1998/1999. Coba kita perhatikan beberapa poin berikut :

·       Nilai tukar Rupiah kita yang melemah sekitar 20 % (pada saat tulisan ini saya buat) sepanjang tahun ini, pernah kita alami sepanjang 1997/1998 dengan kondisi yang jauh lebih buruk.
·       Dalam bidang politik  hampir seluruh elemen bangsa saat ini perhatiannya, waktunya, tenaganya dan tentu juga dananya terfokus pada pemilu yang diikuti lebih dari 40 partai  tahun depan. Inipun mirip sekali dengan yang kita alami akhir tahun 1998 menyongsong 1999.
·       Kondisi ekonomi yang masih tidak menentu ditandai dengan banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja, lagi –lagi ini terjadi di tahun 1998 lalu.

Kalau keledai saja tidak jatuh ke lubang yang sama dua kali, tetapi kita manusia yang dibekali akal yang paling baik diantara ciptaan Allah – justru jarang menggunakannya dengan optimal. Akibatnya kita jatuh ke lubang yang sama bukan hanya dua kali, tetapi berkali-kali dan terus berulang.

Dalam hal nilai tukar Rupiah seperti yang sudah saya tulis dalam tulisan “Belajar Dari Rupiah…”, ada perulangan penurunan nilai Rupiah hampir setiap 10 tahun – dan setiap penurunan ini sadar atau tidak sadar rakyat menjadi korban karena uang yang dipegangnya menurun drastis daya belinya. Meskipun demikian tetap saja tidak ada langkah berarti selama empat puluh tahun terakhir untuk mencegah penurunan nilai uang Rupiah ini berulang.

Dalam bidang politik, Pemilu yang diikuti jumlah partai yang berjibun ini sudah terjadi sejak Pemilu 1955. Kemudian diulangi lagi pada era euphoria demokrasi sejak pemilu 1999, 2004 dan yang akan datang 2009.

Hanya segelintir saja dari umat ini yang mendapatkan manfaat dari Pemilu ini yaitu para politisi yang akhirnya mendapatkan kursinya, jabatan menterinya atau buah dari perdagangan-perdagangan politiknya. Mayoritas umat hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan para politikus tersebut, setelah mereka jadi – apa yang diberikan kembali rakyat ? Almost nothing !. Tanyalah hati kecilmu wahai saudaraku kaum politisi, Apa yang telah Anda berikan untuk rakyatmu ? Anda meminta terlalu banyak dari mereka, tetapi memberi terlalu sedikit untuk mereka !.

Tidak bisakah kita umat Islam hanya memiliki satu partai politik saja untuk menyalurkan aspirasi umat ini ? , seingat saya ide ini pernah diungkapkan oleh Ustad Cholil Ridwan sekitar 10 tahun lalu dengan ide PISSA-nya (Partai Islam Satu Saja !).

Bayangkah kalau ide PISSA tersebut jalan; umat akan bersatu padu  karena tidak perlu berebut dukungan dari sesama umat. Kampanye akan sangat efektif karena tidak perlu jor-joran pasang spanduk dan foto di setiap ujung ruas jalan – yang mulai membuat neg rakyat.

Tenaga, pikiran dan dana umat tidak habis-habisan untuk mendanai kampanye pemilu.  Dana dan tenaga yang begitu besar akan lebih bermanfaat untuk menolong saudara-saudara kita di Palestine – khususnya Gaza yang saat ini menjadi bulan-bulanan kebiadaban zionis Israel.

Ide yang dari kacamata awam seharusnya bisa jalan ini, ternyata nggak juga jalan karena masih lebih banyak yang mengejar dunia (yang sebenarnya juga nggak pernah diperolehnya) dari pada mengejar akhirat.

Dalam bidang ekonomi juga sami mawon, di negeri yang gemah ripah loh jinawi kemiskinan dan pengangguran meraja lela. Sadar atau tanpa sadar penduduk kita yang banyak dan sumber alam yang melimpah hanya menjadi  target market  dan resources dalam system ekonomi kapitalis global.

Dulu waktu saya kecil, setiap mau bikin kue ibu saya membuat sendiri tepungnya dari tanaman garut (jawa timur , di jawa barat kalau nggak salah namannya arerut). Tapi kini hampir seluruh kue-kue kita dibuat dari terigu yang bahannya harus diimpor.

Bahkan makanan utama kita nasi beras, nasi jagung dan nasi tiwul – sekarang seolah tergantikan oleh berbagai produk mie instan yang lagi-lagi bahannya harus diimpor.

Negeri pulau dengan karunia lautan yang sangat luas ini-pun dengan tragisnya harus impor bahan-bahan makanan ternak seperti fishmeal dan sejenisnya,  Lantas siapa yang mengolah dan kemana hasil laut kita sendiri ?.

Dengan ketergantungan pada produk-produk impor, kitapun tergantung pada mata unag yang dipakai untuk mengimpor produk tersebut. Karena kita tergantung pada mata uang mereka (US$), maka guncangan yang terjadi di negara tersebut juga akan menyeret ita ke guncangan yang sama atau bahkan lebih besar lagi.

Ibarat mengemudikan mobil, kita ini tidak pernah menengok kaca spion yang ada. Pengemudi berganti, demikian pula yang dilakukannya. Akibatnya apa ?, ya kalau nggak nabrak, ditabrak orang dari belakang – dan kita tetap babak belur. Wallhu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar