Bila Dana Umat Bisa Digerakkan Secara Efektif...

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda menjadi wilayah Indonesia, termasuk bagian barat dari Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Mengapa Belanda ngotot dengan wilayah ini ?, ternyata tidak masuk dalam buku-buku sejarah, bahwa sejak tahun 1936 sebenarnya Belanda sudah tahu bahwa di wilayah tersebut terdapat salah satu cadangan tembaga dan emas terbesar di dunia.

Melalui ahli geologinya yang bernama Jean-Jacques Dozy, temuan cadangan tersebut bahkan dilaporkan dan diumumkan secara resmi pada tahun 1939 – enam tahun sebelum Soekarno-Hatta memimpin negeri ini untuk pertama kalinya.

Setelah melewati berbagai pertempuran, akhirnya wilayah barat Pulau Papua – yang kemudian kita kenal dengan Irian Barat dan belakangan Irian Jaya - diserahkan ke Indonesia dalam perundingan tanggal 15 Agustus 1962 di markas besar PBB – New York. Tangan-tangan Amerika nampak jelas ikut terlibat dalam proses ini, lagi-lagi mengapa ?.  Kembali ke alasan semula yang kurang lebih sama dengan alasan Belanda mempertahankan wilayah tersebut – yaitu adanya cadangan tembaga dan emas nan sangat besar tersebut.

Tidak heran kemudian yang berhasil mengolah kekayaan alam tersebut hingga kini adalah salah satu perusahaan yang paling profitable di dunia asal Amerika yang bernama Freeport McMoran. Di situs resmi perusahaan inipun mereka mengakui bahwa “Our Grasberg mining complex is one of the world’s largest single producers of both copper and gold, and contains the largest recoverable reserves of copper and the largest single gold reserve in the world...”.

Seandainya toh, penyerahan Irian Barat ke tangan Indonesia saat itu tidak diembel-embeli dengan deal apapun – untuk penyerahan pengolahan cadangan tembaga dan emas ini ke mereka misalnya – mampukah Indonesia mengolah sumber daya ini sendirian di kala itu ?. Mungkin tidak juga, karena ukuran dana yang dibutuhkan untuk membuat jalan-jalan di puncak gunung, menerobos gunung dan berbagai pekerjaan raksasa lainnya – kemungkinan besarnya tidak mampu didanai negeri ini sendiri saat itu. Apa lagi perlu diingat tahun 60-an Indonesia lagi miskin-miskinnya dengan cadangan emas kita di BI sempat tinggal 1.5 ton.

Di sinilah kapitalisme mulai masuk ‘mengolah’ hampir seluruh sumber-sumber kekayaan penting negeri ini. Tembaga, emas, nikel, minyak, gas, panas bumi...dan entah kekayaan apalagi yang kita tidak mampu mendanai pengelolaannya sendiri. Karena mereka – investor asing - yang mendanainya, maka mereka pula yang paling menikmati keuntungan terbesarnya.

Belakangan memang ada segelintir pengusaha Indonesia yang juga ikut mendanai project-project raksasa ini, lagi-lagi hanya segelintir ini pula yang akhirnya ikut menikmati. Mayoritas rakyat tetap tidak bisa ikut menikmati kekayaan negeri ini.

Lantas apa solusinya secara syariah agar kita bisa mengatasi masalah kebutuhan kapital untuk mendanai proyek-proyek raksasa ini ?. Islam tidak mendorong harta terpusat pada segelintir orang yang sangat kaya, meskipun keberadaan orang yang sangat kaya ini juga tidak dilarang di Islam – bahkan salah satu sahabat yang dijamin masuk surga adalah orang terkaya di jamannya yaitu Abdul Rahman Bin ‘Auf.

Namun karena kita kesulitan mencari figure seperti Abdul Rahman Bin ‘Auf di jaman ini – yaitu figure konglomerat yang mendedikasikan hartanya untuk perjuangan umat, maka sebenarnya ada jalan bagi orang-orang kecil seperti kita-kita untuk terlibat dalam investasi raksasa nan Islami untuk kepentingan umat ini.

Bila tambang-tambang tembaga, emas, minyak, gas, panas bumi dan lain sebagainya sudah terlanjur dikuasai kapital-kapital raksasa dunia; bukankah masih berjibun kekayaan negeri ini yang belum terolah dengan baik – yang masih menjadi peluang kita bila kita mau !. Negeri yang terkaya di dunia dari segi keanekaragaman hayati – bio diversity - ini , memiliki sumber kekayaan laut yang luar biasa, kekayaan hutan, sumber bahan pangan dari jamur yang subhanallah efisiennya, curah hujan yang tidak habis-habisnya untuk membangun industri pertanian, peternakan dan lain sebagainya. Inilah green investmentyang akan menjadi unggulan investasi masa depan – yang kesempatannya masih ada di kita.

Lantas bagaimana umat ini bisa sebanyak mungkin terlibat dalam pengelolaan kekayaan negeri ini – yang seharusnya kelak juga ikut menikmatinya ?. Di Indonesia pola kerja bareng sdcara syariah ini sebenarnya sudah banyak formatnya yang sudah dikaji dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Salah satunya adalah dengan pola Mudharabah; yang punya keahlian bertindak sebagai Mudharib, yang punya dana bertindak sebagai Shahibul Mal. Mudharib bisa berupa sekelompok orang yang ahli dibidangnya  - misalnya ahli kelautan untuk mengelola kekayaan laut, ahli peternakan untuk mengelola industri perkambingan dan sebagainya.  Untuk Mudharib insyaallah tidak masalah, begitu banyak perguruan tinggi bagus yang menghasilkan tenaga kerja yang mumpuni dibidangnya di negeri ini.

Yang jadi pertanyaan adalah lantas siapa yang akan menjadi Shahibul Mal-nya untuk proyek-proyek raksasa ini ?, bila Shahibul Mal-nya hanya segelintir konglomerat lagi – maka proses penyebaran kemakmuran akan terhambat. Yang seharusnya bisa menjadi Shahibul Mal adalah kita semua yang dengan sedikit uang  untuk tabungan masa depan dan sekolah anak kita, sedikit uang untuk biaya kesehatan hari tua kita,  sedikit dana pensiun dlsb. bisa ikut terlibat langsung dalam investasi di sektor-sektor riil yang memiliki potensi luas di negeri ini.


Ada setidaknya tiga pintu formal dimana kita bisa menggerakkan dana masyarakat secara besar-besaran untuk investasi di negeri ini. Pertama bisa melalui pintu pasar modal, namun karena pasar modal ini rentan dengan permainan spekulasi pemain besar dan rentan terhadap aliran hot money – maka investor-investor kecil mudah menjadi korban, sehingga pengumpulan dana masyarakat secara luas yang melibatkan investor kecil di negeri ini nampaknya belum akan optimal bila hendak dilakukan di pasar modal.

Kedua melalui koperasi-koperasi (belakangan termasuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau BMT) yang diusung sebagai soko guru perekonomian Indonesia oleh para pendiri negeri ini, tetapi belum kita jumpai koperasi-koperasi yang memiliki jaringan luas – yang dapat menggerakkan dana masyarakat secara besar-besaran. Mungkin ini juga dampak pembatasan yang dilakukan oleh para pembuat undang-undang di negeri ini – yang membatasi koperasi hanya boleh mengumpulkan dana dari anggotanya, calon anggota dan anggota koperasi lain yang ada kerjasama dengannya. Walhasil pengumpulan dana masyarakat lewat koperasi juga akan banyak menemui kendala.

Yang ketiga adalah melalui dunia perbankan. Terlepas dari adanya kritik-kritik yang menyatakan belum syar’i-nya bank syariah sekalipun, mau tidak mau kita di jaman ini sudah menggunakan jasa perbankan untuk berbagai kemudahan, untuk transfer dana, pembayaran transaksi, penyimpanan uang dlsb. Menurut saya sendiri, mulai menggunakan yang sudah mengarah ke syar’i (meskipun seandainya belum sepenuhnya) masih lebih baik daripada menggunakan yang sama sekali tidak peduli dengan syariah.

Produk-produk perbankan berupa tabungan atau deposito dan sejenisnya, pada umumnya sudah berfungsi sebagai pengumpulan dana masyarakat – jadi mereka, dunia perbankan sudah sangat terbiasa dengan kegiatan pengumpulan dana masyarakat secara luas ini.  Hanya saja penggunaan produk tabungan atau produk deposito yang standar, tidak membuat penabung atau shahibul mal tahu persis – digunakan untuk mendanai proyek-proyek apa dana mereka ini. Karena alasan inilah maka ada sebagian ulama yang menganggap aqad Mudharabah Mutlaqah yang digunakan untuk produk-produk tersebut tidak atau kurang syar’i.

Namun ada satu produk perbankan syariah yang menurut saya pribadi akan sepenuhnya sesuai dengan syariah karena pihak Shahibul Mal akan tahu persis dananya digunakan untuk apa, risiko investasi dan harapan hasilnya seperti apa, dan siapa pengelola usaha (mudharib) yang sesungguhnya – produk ini adalah apa yang disebut Mudharabah Muqayyadah. Produk inilah yang nantinya insyallah bisa menjadi pembeda yang nyata, dan dapat mengunggulkan bank-bank syariah dibanding bank konvensional yang ribawi.

Berikut saya gunakan contoh produk perbankan dengan aqad Mudharabah Muqayyadah sebagai ilustrasi bagaimana nantinya insyaallah kami akan dapat  mengakomodasi keinginan  1757 calon investor yang sudah berminat investasi di projek pembangunan industri kambing Indonesia.


Bila investasi tersebut langsung ke Indolaban pengelola project industri perkambingan ini , banyak masalah perlu diantisipasi. Pertama benturan dengan peraturan pasar modal dan perbankan, kedua adalah system kerjasama one(mudharib) to many (shahibul mal) yang tentu tidak mudah untuk dirumuskan dan ketiga adalah pekerjaan administrative yang luar biasa banyaknya  untuk mengatur kapan dana disetor, kapan dana boleh ditarik, bagaimana bagi hasil dihitung dan kapan didistribusikan dlsb-dlsb.

Karena problem tersebutlah, maka minat para investor tersebut selama ini belum kami akomodasi. Saat ini kami sedang intensif membicarakan dengan salah satu bank syariah kenamaan untuk pilot project pendanaan melalui mekanisme yang syar’i berbasis aqad Mudharabah Muqayyadah ini.

Bila skema ini bisa disepakati dan dijalankan nantinya, maka investasi seperti di industri perkambingan ini akan semudah Anda membuka deposito dan tabungan di bank syariah. Selain Anda bisa melakukannya dari cabang-cabang bank tersebut, Anda akan merasa nyaman dan aman karena dari bank tersebut Anda akan menerima semacam sertifikat deposito – yang saya sebut saja Sertifikat Mudharabah Muqayyadah. Bedanya dengan sertifikat deposito atau tabungan pada umumnya; Sertifikat Mudharabah Muqayyadah ini akan menyebutkan untuk diinvestasikan kemana dana Anda tersebut dan siapa yang akan bertindak sebagai pengelola usahanya-nya (Mudharib).

Sebagai investor Anda akan lebih aman, karena ada pihak bank syariah yang dengan keahliannya insyallah mampu melakukan penilaian kelayakan investasi yang dikelola Mudharib dengan sebaik-baiknya, bank pula yang akan mengurusi pekerjaan administratifnya bila dana Anda jatuh tempo untuk dicairkan atau bagi hasil waktunya diterima dlsb.

Bagi bank syariah ini peluang besar sekali karena mereka akan dapat menggerakkan dana masyarakat dalam skala besar untuk memfasilitasi pembiayaan projek-project raksasa dengan cara yang tidak dimiliki oleh bank konvensional – inilah keunggulan syariah.

Bagi pengelola usaha, selain ini cara yang aman untuk meraih pembiayaan dari dana masyarakat dalam skala luas yang sesuai syariah dan tidak berbenturan dengan hukum positif negeri ini – karena menggunakan legal framework yang syah dari dunia perbankan – juga dapat memperoleh manfaat dari jaringan cabang-cabang perbankan dan akses terhadap system administrasinya yang rata-rata mumpuni untuk pekerjaan semacam ini.

Dengan pola pembiayaan yang menguntungkan semua pihak ini, sungguh kita bisa berharap bahwa nantinya sumber-sumber kekayaan negeri ini dapat dikelola oleh Mudahrib-Mudharib dari para professional umat ini sendiri, dan didanai oleh umat secara luas sehingga tidak terjadi penumpukan kapital dan kemakmuran di golongan tertentu saja – kaila yakuuna duulatam bainal agniyaa i minkum – “agar harta itu jangan hanya berputar pada golongan yang kaya diantara kamu...” (QS 59 ; 7)

Bisa jadi masih agak panjang jalannya sebelum produk semacam ini bener-bener siap, tetapi kini harapan itu besar sekali. Bagi yang berminat baik untuk menjadi calon Mudharib maupun calon Shahibul Mal  - silahkan mulai bergabung di facebook group susukambing – insyallah dalam waktu dekat akan ada gathering untuk vision sharing bersama antara Indolaban, Bank Syariah yang akan mensupport project ini, dan para peminat. Semoga Allah memudahkan kita pada jalan amal yang diridloiNya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar