Sukuk : Akses Modal Untuk Si Kecil (Juga)

Selasa, 25 April 2017
Oleh: Muhaimin Iqbal

Karakter utama dari ekonomi Islam itu adalah keadilan, karena keadilan itulah yang lebih dekat kepada ketakwaan (QS 5:8). Bila ada sumber daya ekonomi yang bisa diakses oleh orang kaya atau perusahaan besar, maka sumber daya yang sama juga berlaku bagi si kecil atau yang miskin. Ekonomi kita timpang karena kebanyakan akses modal dan akses pasar hanya dikuasai segelintir perusahaan besar, bagaimana memperbaikinya ? Beri akses yang sama bagi si kecil.


Kita sudah biasa mendengar perusahaan besar atau bahkan negara mengeluarkan sukuk ketika butuh modal atau butuh dana. Di dunia saat ini ada modal senilai sekitar US$ 2 trilyun yang dikelola dengan akad-akad Islam, sekitar 15 %nya adalah dalam bentuk sukuk. Hanya saja selama ini individu atau usaha kecil baru dijadikan target untuk pasar pembeli atau investor sukuk,  belum menjadi penerima modal atau yang memiliki akses modal berbasis sukuk ini.

Sukuk sendiri yang merupakan jama’ dari sakk – kata yang menjadi cikal-bakal kata cek dalam dunia perbankan – adalah tanda kepemilikan atas hak terhadap benda ataupun manfaat. Dikenal sejak awal perkembangan Islam dan menjadi instrumen keuangan dominan di dunia Islam di abad pertengahan.

Di abad pertama hijriyah sukuk sudah menyebar luas untuk membiayai pengadaan barang-barang di pasar – sedemikian luasnya di jaman Khalifah Marwan ibn Al-Hakam, sampai-sampai sahabat yang masih hidup di jaman itu mengingatkan Marwan, jangan sampai penerapan sukuk sampai menghalalkan yang haram. Marwan-pun membenahinya dengan melarang sukuk ini jatuh ke tangan kedua  sebelum barang diserahkan (Imam Malik, Al- Muwwatta’).

Di jaman modern ini, kita mengenal Sukuk yang dikeluarkan oleh negara atau disebut Sukuk Negara atau Surat Berharga Syariah negara (SBSN) yang bahkan dipasarkan ritel ke para individu pemilik dana di bank-bank, besar maupun kecil. Rakyat seperti kita bisa menikmati hasil dari investasi di Sukuk, tetapi belum bisa menikmati modal dari dana yang dikumpulkan melalui pengeluaran sukuk itu sendiri.

Perusahaan-perusahaan besar juga tentu sudah banyak yang bisa menikmati sukuk – tetapi belum perusahaan kecil. Perusahaan Malaysia Guthrie misalnya, di pergantian millennium lalu (tahun 2000) berhasil membeli sebuah perusahaan sawit raksasa Indonesia senilai US$. 400 juta, menggunakan dana sukuk yang di-arrange dengan akad Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bit-Tamlik.

Bagimana Guthrie melakukan ini dengan syah dan halal ? dengan sukuk itulah jawabannya. Lha kalau perusahaan raksasa bisa memperoleh dana melalui sukuk, mengapa tidak  usaha-usaha kecil ? Oh pengeluaran sukuk perlu serangkaian proses yang njlimet sehingga hanya bisa ditempuh oleh negara ataupun oleh perusahaan besar – maka inilah yang tidak benar.

Bila hanya negara dan perusahaan besar yang bisa memperoleh pendanaan dari modal yang digalang melalui pengeluaran sukuk ? lantas kembali ke awal tulisan saya di atas – dimana letak keadilan ekonomi itu ? yang besar akan semakin besar karena bisa mengakses dana yang mudah dan murah sementara si kecil tidak kunjung besar karena tidak bisa memperoleh akses modal yang mudah dan murah.

Betul, pengeluaran sukuk tentu harus hati-hari, dikelola oleh para pihak yang amanah dlsb. tetapi kehati-hatian dan amanah lagi-lagi tentu bukan monopoli bagi yang besar. Dengan system yang baik resiko bagi sikecil juga bisa dikelola secara amanah dan penuh kehati-hatian.

Sukuk Ijarah Model

Yang saya bayangkan begini, pak Haji Ali punya warung sate yang terkenal akan keenakannya – tetapi dia tentu tidak mau bersentuhan denganriba untuk bisa membuka sate Haji Ali 2, dia tidak tahu proses franchising yang njlimet dan tidak mudah mencari mitra syirkah yang bener-bener mau diajak amal shaleh. Apa yang dia bisa lakukan ?

Dia bisa menjual manfaat dari warung satenya yang pertama yang sudah sukses – tidak harus warungnya sendiri yang dijual – karena fatwa DSN MUI juga sudah menconfirm bahwa asset benda bisa dijual demikian juga dengan asset manfaat. Selanjutnya hasil penjualan asset manfaat tersebutlah yang digunakan untuk membuka sate Haji Ali 2.

Lantas apa keuntungan yang diperoleh pembeli asset manfaat Haji Ali ?,  dengan akad sewa atau Ijarah, dia mendapatkan bayaran dari uang sewa yang disepakati - pendapatannya bukan riba karena dari akad sewa. Haji Ali tetap bisa terus menjalankan usahanya di warung sate yang pertama dan kini bahkan punya yang kedua tanpa modal yang berbasis riba.

Intinya proses pngeluaran sukuk yang biasanya njlimet bila dilakukan oleh negara maupun korporasi besar, harus bisa dibuat sederhana – karena solusi-solusi syariah semacam ini harus juga bisa diakses oleh usaha kecil. Kalau njilmet yang bisa melakukannya yang punya dana besar, sedangkan bila dipermudah – maka itulah hakikat agama ini, Islam itu mudah dan untuk semua orang.

Mempermudah tidak berarti mengambil resiko, mempermudah juga tidak identik dengan mengabaikan amanah dan kehati-hatian – maka disinilah challenge-nya. Bagaimana kita bisa mempermudah aplikasi syariah seperti contoh penerapan sukuk tersebut di atas, sehingga dia bener-bener menjadi solusi bagi umat di jaman ini.

Di era financial technology  (Fintech) yang sekarang peraturan OJK-nya juga sudah keluar, maka terbuka lebar bagi yang mau berinovasi di bidang fintech berbasis sukuk ini – fintech yang bisa mempermudah aplkasi sukuk tanpa mengorbankan kehati-hatian, keamanan dan keamanahan.

Bagi Anda para professional fund manager, multi finance dlsb. yang sangat menguasai dunia sukuk korporasi – why not  mulai menggunakan expertise Anda untuk membantu si kecil yang pingin juga bisa besar melalui solusi fintech sukuk ini ? ini challenge untuk Anda !

Dari sisi dukungan technology dan startup best practice, kami di Startup Center Indonesia  insyaAllah siap memfasilitasi lahirnya startup digital untuk fintech berbasis sukuk tersebut. Maka bila Anda orang yang tepat untuk melayani umat ini, silahkan menghubungi kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar