Oleh: Muhaimin Iqbal
Karakter utama dari ekonomi Islam itu adalah keadilan, karena keadilan itulah yang lebih dekat kepada ketakwaan (QS 5:8). Bila ada sumber daya ekonomi yang bisa diakses oleh orang kaya atau perusahaan besar, maka sumber daya yang sama juga berlaku bagi si kecil atau yang miskin. Ekonomi kita timpang karena kebanyakan akses modal dan akses pasar hanya dikuasai segelintir perusahaan besar, bagaimana memperbaikinya ? Beri akses yang sama bagi si kecil.
Kita
sudah biasa mendengar perusahaan besar atau bahkan negara mengeluarkan
sukuk ketika butuh modal atau butuh dana. Di dunia saat ini ada modal
senilai sekitar US$ 2 trilyun yang dikelola dengan akad-akad Islam,
sekitar 15 %nya adalah dalam bentuk sukuk. Hanya saja selama ini
individu atau usaha kecil baru dijadikan target untuk pasar pembeli atau
investor sukuk, belum menjadi penerima modal atau yang memiliki akses modal berbasis sukuk ini.
Sukuk
sendiri yang merupakan jama’ dari sakk – kata yang menjadi cikal-bakal
kata cek dalam dunia perbankan – adalah tanda kepemilikan atas hak
terhadap benda ataupun manfaat. Dikenal sejak awal perkembangan Islam
dan menjadi instrumen keuangan dominan di dunia Islam di abad
pertengahan.
Di
abad pertama hijriyah sukuk sudah menyebar luas untuk membiayai
pengadaan barang-barang di pasar – sedemikian luasnya di jaman Khalifah
Marwan ibn Al-Hakam, sampai-sampai sahabat yang masih hidup di jaman itu
mengingatkan Marwan, jangan sampai penerapan sukuk sampai menghalalkan
yang haram. Marwan-pun membenahinya dengan melarang sukuk ini jatuh ke
tangan kedua sebelum barang diserahkan (Imam Malik, Al- Muwwatta’).
Di
jaman modern ini, kita mengenal Sukuk yang dikeluarkan oleh negara atau
disebut Sukuk Negara atau Surat Berharga Syariah negara (SBSN) yang
bahkan dipasarkan ritel ke para individu pemilik dana di bank-bank,
besar maupun kecil. Rakyat seperti kita bisa menikmati hasil dari
investasi di Sukuk, tetapi belum bisa menikmati modal dari dana yang
dikumpulkan melalui pengeluaran sukuk itu sendiri.
Perusahaan-perusahaan
besar juga tentu sudah banyak yang bisa menikmati sukuk – tetapi belum
perusahaan kecil. Perusahaan Malaysia Guthrie misalnya, di pergantian
millennium lalu (tahun 2000) berhasil membeli sebuah perusahaan sawit
raksasa Indonesia senilai US$. 400 juta, menggunakan dana sukuk yang
di-arrange dengan akad Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bit-Tamlik.
Bagimana
Guthrie melakukan ini dengan syah dan halal ? dengan sukuk itulah
jawabannya. Lha kalau perusahaan raksasa bisa memperoleh dana melalui
sukuk, mengapa tidak usaha-usaha
kecil ? Oh pengeluaran sukuk perlu serangkaian proses yang njlimet
sehingga hanya bisa ditempuh oleh negara ataupun oleh perusahaan besar –
maka inilah yang tidak benar.
Bila
hanya negara dan perusahaan besar yang bisa memperoleh pendanaan dari
modal yang digalang melalui pengeluaran sukuk ? lantas kembali ke awal
tulisan saya di atas – dimana letak keadilan ekonomi itu ? yang besar
akan semakin besar karena bisa mengakses dana yang mudah dan murah
sementara si kecil tidak kunjung besar karena tidak bisa memperoleh
akses modal yang mudah dan murah.
Betul,
pengeluaran sukuk tentu harus hati-hari, dikelola oleh para pihak yang
amanah dlsb. tetapi kehati-hatian dan amanah lagi-lagi tentu bukan
monopoli bagi yang besar. Dengan system yang baik resiko bagi sikecil
juga bisa dikelola secara amanah dan penuh kehati-hatian.
Yang
saya bayangkan begini, pak Haji Ali punya warung sate yang terkenal
akan keenakannya – tetapi dia tentu tidak mau bersentuhan denganriba
untuk bisa membuka sate Haji Ali 2, dia tidak tahu proses franchising
yang njlimet dan tidak mudah mencari mitra syirkah yang bener-bener mau
diajak amal shaleh. Apa yang dia bisa lakukan ?
Dia
bisa menjual manfaat dari warung satenya yang pertama yang sudah sukses
– tidak harus warungnya sendiri yang dijual – karena fatwa DSN MUI juga
sudah menconfirm bahwa asset benda bisa dijual demikian juga dengan
asset manfaat. Selanjutnya hasil penjualan asset manfaat tersebutlah
yang digunakan untuk membuka sate Haji Ali 2.
Lantas apa keuntungan yang diperoleh pembeli asset manfaat Haji Ali ?, dengan
akad sewa atau Ijarah, dia mendapatkan bayaran dari uang sewa yang
disepakati - pendapatannya bukan riba karena dari akad sewa. Haji Ali
tetap bisa terus menjalankan usahanya di warung sate yang pertama dan
kini bahkan punya yang kedua tanpa modal yang berbasis riba.
Intinya
proses pngeluaran sukuk yang biasanya njlimet bila dilakukan oleh
negara maupun korporasi besar, harus bisa dibuat sederhana – karena
solusi-solusi syariah semacam ini harus juga bisa diakses oleh usaha
kecil. Kalau njilmet yang bisa melakukannya yang punya dana besar,
sedangkan bila dipermudah – maka itulah hakikat agama ini, Islam itu
mudah dan untuk semua orang.
Mempermudah
tidak berarti mengambil resiko, mempermudah juga tidak identik dengan
mengabaikan amanah dan kehati-hatian – maka disinilah challenge-nya.
Bagaimana kita bisa mempermudah aplikasi syariah seperti contoh
penerapan sukuk tersebut di atas, sehingga dia bener-bener menjadi
solusi bagi umat di jaman ini.
Di era financial technology (Fintech)
yang sekarang peraturan OJK-nya juga sudah keluar, maka terbuka lebar
bagi yang mau berinovasi di bidang fintech berbasis sukuk ini – fintech
yang bisa mempermudah aplkasi sukuk tanpa mengorbankan kehati-hatian,
keamanan dan keamanahan.
Bagi Anda para professional fund manager, multi finance dlsb. yang sangat menguasai dunia sukuk korporasi – why not mulai
menggunakan expertise Anda untuk membantu si kecil yang pingin juga
bisa besar melalui solusi fintech sukuk ini ? ini challenge untuk Anda !
Dari sisi dukungan technology dan startup best practice, kami di Startup Center Indonesia insyaAllah
siap memfasilitasi lahirnya startup digital untuk fintech berbasis
sukuk tersebut. Maka bila Anda orang yang tepat untuk melayani umat ini,
silahkan menghubungi kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar