Mencukupkan Yang Miskin, Menyehatkan Yang Kaya...

Oleh: Muhaimin Iqbal
Kamis, 30 Agustus 2012

Beras merupakan bahan makanan pokok yang utama untuk negeri ini  dan juga negeri-negeri lain di Asia pada umumnya. Ketika lahan terbuka untuk produksi beras menyusut sedangkan jumlah manusianya bertambah, sudah jelas dampaknya bahwa  cepat atau lambat krisis bahan pangan beras akan terjadi. Masalahnya adalah apakah kita dapat menggantikan bahan pangan dari beras ini dengan mudah ?, jawabannya adalah tentu tidak mudah. Diversifikasi bahan makanan selain dari beras harus dilakukan secara selektif dan hati-hati, mengapa ?.


Beras adalah bahan pangan yang mengandung sumber energy (Kalori) paling tinggi yang terjangkau oleh masyarakat luas. Dengan harga yang kurang lebih 1/10 dari daging, beras mampu memberikan Kalori sekitar 1.8 kali dari daging sapi untuk berat yang sama.

Bahan pangan lain seperti ubi jalar dan kentang dengan harga sekarang berkisar dari 1/5 sampai 1/2 harga beras, hanya mampu memberikan Kalori 1/5 dari Kalori yang diberikan oleh beras untuk berat yang sama.

Jadi makanan untuk rakyat kebanyakan – yang masih lebih mengutamakan Kalori, memang beras-lah yang paling terjangkau. Mereka tidak bisa dan tidak boleh didorong untuk makan selain beras karena mereka tidak mampu menggantinya dengan Kalori dari daging, sedangkan bila penggantinya dari umbi-umbian (pengganti yang paling mungkin dari kwantitas dan supply) – Kalori yang dibutuhkan untuk menunjang aktifitas normalnya tidak akan mencukupi.

Menggantinya dengan gandum yang lebih mendekati beras dalam hal Kalori dan harga, juga tidak dianjurkan karena gandum tidak mampu kita produksi sendiri.

Perhatikan perbandingan jumlah Kalori dari masing-masing jenis makanan dibawah untuk menjelaskan hal-hal tersebut di atas.


Jadi bagaimana solusinya agar beras cukup untuk semua yang membutuhkannya ?

Migrasi dari bahan pangan beras ke non beras – utamanya umbi-umbian yang sangat berpotensi diproduksi di Indonesia, dapat dilakukan secara selektif untuk masyarakat menengah atas yang mampu membeli daging. Kombinasi makan daging dan umbi-umbian akan memberikan Kalori dan kekenyangan yang cukup bagi mereka.

Tetapi bagaimana menggiring agar masyarakat menengah ke atas ini mau meninggalkan beras – agar tidak berebut beras dengan masyarakat menengah ke bawah ?.

Penyadaran akan dampak kesehatan bisa menjadi pendorong yang efektif. Ketika masyarakat yang mampu membeli daging ini tetap makan beras dalam jumlah yang banyak pada saat yang bersamaan juga mengkonsumsi daging yang banyak, Kalori yang di-supply ke tubuhnya menjadi berlebih. Mereka inilah yang menjadi korban diabetis yang sekarang sudah meluas mencapai sekitar 1 dari setiap 12  penduduk Indonesia terkena diabetis. Bila tidak ada perubahan pola makan mereka-mereka ini, maka yang menjadi korban akan meningkat menjadi 1 dari setiap 5 penduduk - hanya dalam tempo dua dasawarsa kedepan. 

Mengapa korbannya bukan masyarakat bawah ?, karena meskipun mereka mengonsumsi karbohidrat yang banyak – karbohidrat itulah sumber satu-satunya untuk Kalori yang dibutuhkan untuk menunjang aktifitasnya. Ketika kalori mereka tidak berlebih, maka diabetis tidak menyerang mereka.

Bila sekelompok masyarakat menengah atas ini rame-rame hijrah meninggalkan beras – karena didorong oleh alasan kesehatan mereka sendiri, beras yang ada insyaallah akan cukup untuk masyarakat menengah bawah sekaligus menurunkan harganya – karena menurunnya demand atas beras.

Lantas masih ada masalah yaitu bagaimana kebutuhan daging yang meningkat bisa dipenuhi padahal supply daging selama ini harus diimpor ?, juga bagaimana dengan kebutuhan umbi-umbian yang akan meningkat dapat dipenuhi ?.

Disinilah relevannya Project TelaEnergy yang sudah saya perkenalkan lewat beberapa tulisan sebelumnya. Kampanye penanaman umbi-umbian berskala besar, baik ditanah terbuka seperti ubi jalar dan ketela, maupun di tanah tertutup kerindangan seperti gembili – dapat sealigus mengatasi tiga masalah yaitu kebutuhan akan daging, kebutuhan akan umbi-umbian dan kebutuhan untuk mandiri dibidang energi.

Sebagian umbi-umbian tersebut dapat diolah secara efektif untuk menghasilkan pakan ternak bergizi tinggi, produktifitas peternakan akan naik karenannya – sehingga secara bertahap diharapkan kita bisa berswasembada daging. Hasil samping dari pengolahan pakan ternak ini menghasilkan pula energi alternatif yang terbarukan yang menjadi jawaban atas ketergantungan energi masyarakat bawah pada satu-satunya provider bahan bakar setelah 65 tahun merdeka.

Sebagian umbi-umbian lain bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan yang enak-enak untuk konsumsi masyarakat menengah atas. Ketika aneka makanan dari umbi-umbian ini dikonsumsi mereka bersamaan dengan daging yang memang mereka mampu beli, maka kebutuhan Kalori mereka ter-supply dengan cukup, rasa kenyangnya juga terpenuhi dan pada saat yang bersamaan insyaallah juga bebas dari ancaman penyakit diabetis, obesitas dan sejenisnya.

Kombinasi beras untuk masyarakat luas dengan umbi-umbian untuk masyarakat yang mampu ini juga akan dapat mendorong efektifitas penggunaan lahan. Tanah persawahan yang ada insyaallah cukup untuk memenuhi kebutuhan beras (yang menurun), sementara tanah-tanah tegalan yang terbuka dan tanah-tanah tertutup kerindangan di perkebunan maupun kehutanan dapat dioptimalkan juga untuk memproduksi bahan pangan dari umbi-umbian yang akan terus meningkat - seiring kesadaran masyarakat yang mampu untuk meninggalkan beras.

Jadi kalau dahulu yang makan singkong/gaplek dan umbi-umbian adalah rakyat miskin yang tidak mampu membeli beras, kedepannya seharusnya berubah. Rakyat kebanyakan harus mampu terus membeli beras untuk kebutuhan Kalorinya, sedangkan untuk rakyat yang lebih mampu diharapkan tidak membeli beras tetapi membeli daging dan umbi-umbian. Win-win solution agar yang miskin tetap bisa membeli beras, yang kaya tetap sehat dengan kombinasi makanan yang aman untuk mereka. Insyaallah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar