Membuat Yang Possible Menjadi Feasible…

Oleh: Muhaimin Iqbal
Rabu, 29 Agustus 2012

Ketika Edison dan teamnya menemukan lampu pijar, tidak serta merta lampu pijar ini bisa dinikmati oleh masyarakat luas dalam waktu cepat. Dibutuhkan serangkaian penemuan-penemuan lain dibidang perlistrikan seperti dynamo, power station dlsb. sebelum akhirnya lampu pijar dapat digunakan masyarakat di seluruh dunia hingga kini. Manfaat tidaknya suatu penemuan teknologi baru, juga sangat tergantung dengan serangkaian penemuan teknologi yang melengkapinya di tahap implementasi – yang disebut enabling technology/ies.


Begitu banyak temuan teknologi  canggih yang sebenarnya akan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, tetapi manakala tidak didukung dengan kesiapan enabling technologies-nya – serangkaian teknologi penunjang untuk implementasinya - maka temuan-temuan canggih tersebut numpuk di perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi dan lembaga penelitian.

Sebagai contoh, Anda bisa memperoleh madu Indonesia dengan kwalitas baik dengan harga Rp 100 ribu/liter. Tetapi untuk memperoleh madu arab dengan kwalitas baik Anda harus membelinya dengan harga puluhan kali dari harga madu Indonesia. Apa yang membedakannya ?, rasa ?, bukan rasa – karena kebanyakan kita akan lebih senang dengan rasa madu Indonesia. Kandungannya kah ?, belum tentu juga kalau madu Indonesia kalah dengan madu arab.

Yang jelas kalah adalah kadar airnya. Di Indonesia karena kelembaban udaranya tinggi, setiap madu yang dipanen berkadar air tinggi di kisaran 23%-26%. Sementara kelembaban udara arab yang sangat rendah membuat madu mereka berkadar air rendah di kisaran 13 % - 17 %. Madu mereka menjadi sangat kental – hampir seperti jelly meskipun baru diambil dari sarang lebah.

Tetapi apakah tidak bisa kita memproduksi madu Indonesia se kwalitas madu arab – paling tidak dari sisi kadar airnya ini ?, sangat bisa !. Di salah satu perguruan tinggi saja di Indonesia, saya menemukan setidaknya ada sekitar 20-an riset dari S 1 sampai S 3 yang mengupas tuntas tentang permaduan ini. Saya sempat membaca sebagian besarnya, dan kesimpulan saya sederhana – it is possible untuk membuat madu Indonesia se kwalitas madu arab. Madu Indonesia bisa dibuat sekental madu arab dengan teknologi pasca panen dan proses yang sederhana, murah dan aman.

Pertanyaannya adalah mengapa tidak kita lakukan ?, negeri yang penuh dengan pepohonan melimpah ini bisa menjadi sumber madu yang luar biasa bagi dunia ?. Masalahnya bukan pada possible tidaknya project semacam ini – jelas possible, hanya untuk menjadi feasible – perlu serangkaian teknologi penunjangnya – ya enabling technologies tersebut diatas.

Untuk madu dibutuhkan teknologi quality control yang mudah dan murah, sehingga bisa digunakan menyortir dan menjaga kwalitas madu sejak di panen di tingkat peternak lebah sampai pengemasan akhir untuk konsumen. Dibutuhkan pula teknologi dan system pengolalaan industry madu yang terintegrasi sehingga ongkos produksinya bisa bersaing dengan produk dari negara lain, diperlukan compliance terhadap system standarisasi baik yang nasional seperti SNI maupun yang internasonal seperti CODEX , diperlukan pula teknologi budidaya lebahnya sendiri untuk hasil madu yang optimal, dlsb.dlsb. yang semuanya harus berjalan sebelum kita bisa diakui dunia sebagi produsen madu yang berkwalitas.

Hal yang sama terjadi ketika saya memperkenalkan Project TelaEnergy sebagai catatan akhir Ramadhan lalu, berbagai masukan dan komentar kami terima. Dari komentar dan masukan-masukan ini kami akui bahwa teknologi bioethanol yang kami perkenalkan dalam tulisan tersebut dan sebelumnya – sebenarnya adalah teknologi yang ‘kuno’.

Bioethanol berbahan baku ketela atau tebu digolongkan menjadi bioethanol generasi 1 – yang konon bersaing dengan bahan pangan. Bioethanol generasi 2 yang diolah dari lignoselulosa – tanaman berserat, sampah dan limbah dianggap lebih prospektif karena tidak bersaing dengan kebutuhan pangan. Bioethanol generasi 3 adalah yang berasal dari sumber yang melimpah di alam yang selama ini belum termanfaatkan seperti algae.

Kalau sudah ada yang generasi ke 2 dan 3, mengapa kita masih akan buat juga yang generasi ke 1 ? mengapa tidak lompat saja ke generasi ke 2 atau bahkan 3-nya ?. begitulah challenge dari teman-teman yang telah memberikan masukan.

Untuk aplikasinya di masyarakat, teknologi bioethanol baik yang generasi 1, generasi 2 dan generasi 3 masih saya kategorikan dalam kategori possible – bisa dilakukan, hanya teknologi-teknologi ini semua perlu dilengkapi dengan teknologi penunjangnya – yang akan membuatnya feasible bagi masyarakat luas.

Maka tidak mengapa kita mulai dari generasi 1 dahulu kalau memang dia yang paling mungkin untuk dibuatnya feasible di masyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat di berbagai daerah dapat memproduksi bahan bakarnya sendiri – sehingga tidak perlu cemas dengan kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar oleh pemerintah.

Lagipula bioethanol dari ketela ketika yang digunakan adalah bahan limbah atau hasil samping dari produksi pakan ternak, maka sesungguhnya dia bukan lagi bioethanol generasi 1 – tetapi bisa masuk generasi 2 juga. Tetapi bukan masalah generasi keberapa ini yang kita persoalkan , feasible tidaknya diimplementasikan itulah yang lebih utama.

Untuk menjadi feasible sebagai bahan bakar alternatif – khususnya bagi rakyat miskin perkotaan maupun rakyat yang hidup di daerah terpencil, dibutuhkan serangkain teknologi sederhana dan tepat guna yang bisa diajarkan dan akhirnya dapat dibuat sendiri oleh kelompok-kelompok masyarakat.

Dua teknologi utama untuk menghasilkan bioethanol yaitu fermentasi dan destilasi bukan barang baru, teknologi fermentasi sudah biasa dikenal di masyarakat ketika mereka membuat tape atau peuyeum, teknologi destilasi sebenarnya juga sudah kita pelajari sejak SMA/U dahulu. Jadi yang diperlukan sebenarnya tinggal meng-enable-kan pengetahuan umum yang sudah ada menjadi solusi bagi masalah klasik kita yaitu energi atau bahan bakar.

Saat ini bahkan di Jawa Tengah sudah ada yang siap memproduksi massal mesin destilasi yang murah, di Jawa Timur sudah ada yang siap memproduksi kompor berbahan bakar bioethanol – yang murah dan lebih aman digunakan ketimbang gas. Di Ciawi sudah ada pool bahan bakar bioethanol. Maka insyaallah tinggal menunggu lokomotif-nya saja sebelum semua rangkaian ‘gerbong kereta ‘ itu bergerak bareng.

Setelah ‘rangkaian kereta’ energi alternatif yang renewable berbahan dasar ketela atau kita sebut TelaEnergy ini berjalan, maka akan muncul melengkapinya semua elemen ecosystem yang dibutuhkannya. Muncul pool-pool bioethanol kecil di masyarakat yang melayani masyarakat sekitar, muncul kompor yang lebih praktis dan lebih murah, muncul mesin destilasi yang lebih sederhana, muncul koperasi-koperasi desa yang mampu memproduksi energi untuk anggotanya sendiri dan muncul pula bahan-bahan alternative selain ketela. Saat itula TelaEnergy hanyalah sebuah nama untuk energi alternatif dan renewable dari masyarakat untuk masyarakat, apapun bahannya.

Masalahnya memang bukan pada tingkat possible tidaknya, ini urusan teman-teman di lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang telah mengotak-atiknya secara tuntas; yang kita coba lakukan tinggallah bagaimana membuat yang possible itu menjadi feasible – saat itulah ilmu dan teknologi itu keluar dari sarangnya di perpustakaan-perpustakaan dan laboratorium-laboratorium, turun dari menara gadingnya untuk menjadi manfaat bagi masyarakat luas. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar