Sedekah Pak Kyai…

Oleh: Muhaimin Iqbal
Ahad, 12 Agustus 2012

Suatu pagi habis sholat subuh pak kyai bersila di depan para santrinya, beliau menyampaikan “…anak-anakku, desa sebelah lagi dilanda paceklik. Banyak warganya tidak bisa makan, maka sekarang juga kalian beli beras dan bagikan ke desa sebelah…. Kemudian pak kyai berdiri, berjalan satu dua langkah dan berhenti : “…lho, kenapa kalian masih tetap duduk-duduk saja ?, apa kurang jelas perintah saya tadi…?”.  Para santri saling pandang, kemudian salah satunya mewakili berbicara “…anu pak kyai, dereng diparingi arto (belum dikasih uang)…”.


Pak kyai-pun mahfum, diambilnya uang dari saku jubahnya yang dalam sambil tetap berdiri. Uang itupun diulurkan ke para santrinya, sekali lagi para santri saling pandang – sebelum salah satunya kemudian berdiri menerima uang tersebut dari tangan pak kyai.  Diluar dugaan para santri, pak kyai ternyata tidak jadi pergi. Dia malah balik ketempat duduknya semula untuk memberikan pelajaran serius kepada para muridnya.

Anak-anakku sekalian, kalian baru melihat secara langsung dua pelajaran sekaligus pagi ini. Ketika pak kyai menyuruh kalian bersedekah ke desa tetangga, tidak mungkin kan kalau pak kyai tidak memberikan uangnya ? tetapi pak kyai bisa khilaf seperti tadi, menyuruh kalian bersedekah setelah itu ngeloyor (tanpa memberi uang)…” kemudian beliau melanjutkan : “nah sekarang Allah Yang Maha Adil, yang tidak lupa dan tidak khilaf, maka bila Dia menyuruh kita melaksanakan sesuatu, mungkinkah Dia tidak memberikan sarananya ?”.

Kita disuruh bersedekah, sebagian harta kita adalah hak orang lain, kita disuruh berjihad dengan harta dan jiwa, mungkinkah kita tidak diberi sarana (harta)nya untuk melaksanakan perintah tersebut ?. Kita dijadikan khalifahNya, kita dijadikanNya pemakmur bumi, mungkinkah kita tidak diberi sarana lahan, modal, pengetahuan dlsb. untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut ?

Merasa mendapatkan momentum pembelajaran yang tidak biasa, pak kyai-pun memanfaatkan betul momentum ini untuk menanamkan pesan yang mendalam ke para santrinya,Mungkin nggak kalian saya suruh mengolah lahan gersang sebelah masjid, tetapi saya tidak memberi uang untuk membeli cangkul, bibit dlsb ?. Pak kyai saja yang manusia sering khilaf dan sulit berbuat adil, tidak mungkin menyuruh kalian untuk menggaruki tanah dengan tangan kalian (tidak pakai cangkul), Apalagi Allah yang Maha Kaya dan Maha Adil – pasti memberi kita sarana untuk kita bisa melaksanakan perintahNya”.

Pelajaran kedua yang baru kalian saksikan adalah kepada siapa uang saya tadi saya berikan ? kalian saling melihat ketika saya mengulurkan uang tadi. Hanya si fulan yang datang kepada saya dan mengambil uang yang untuk disedekahkan tadi.”

Allah telah mengulurkan rezekiNya, saranaNya agar kita bisa melaksanakan perintah-perintahNya. Tetapi sebagian besar kita saling lihat – seolah rezeki dan sarana tersebut bukan kita yang berhak menerimanya, seolah hanya si Fulan si orang kaya itu yang berhak, si Udin yang pejabat itu, si John yang investor asing itu – pokoknya bukan kita…”.

Sebagaimana perintah Allah untuk mengentaskan kemiskinan, membebaskan manusia dari penjajahan manusia lain, memerangi musuh-musuh yang memerangi kita, dlsb. dlsb. semua perintah adalah untuk kita bukan untuk orang lain, maka sarana untuk melaksanakan perintah-perintah tersebut juga diulurkan olehNya ke kita, tinggal kita bisa melihat uluran tangan-tangan Allah tersebut apa tidak”.

Agar nyantol betul dua pelajaran tersebut, pak kyai-pun menyimpulkan : “jadi ketika Allah menyuruh kita melaksanakan sesuatu, Dia pasti menyediakan saranaNya. Tetapi siapa yang bisa menerima sarana ini adalah siapa-siapa yang merespon dan menyambut uluran tangan Allah”.

Diakhir tausyiah biasanya pak kyai memberi kesempatan para santri untuk bertanya, maka kali inipun demikian …”Ada yang kurang jelas ?, ada yang mau ditanyakan…?”. Ada salah satu santri yang mbeling membuat pertanyaan yang sulit bagi pak kyai sekalipun untuk menjawabnya, dia bertanya : “...anu pak kyai, bagaimana kita tahu bahwa Allah sudah mengulurkan tanganNya ?, dan bahwa uluran tanganNya tersebut memang benar-benar untuk kita ?”.

Pak kyai agak kaget dengan pertanyaan yang tidak terduga ini, tetapi sebagai ulama yang telah cukup banyak merasakan asam garam dunia dakwah, setelah sejenak merenung beliapun menjawab :

Bagi kalian yang dari tadi mengawasi gerak-gerik saya, duduk berceramah, terus berdiri berjalan, ngeloyor tidak memberi kalian uang – kalian tahu !, ketika saya merogoh kantong dalam-dalam untuk mengambil uang – kalian-pun tahu, saya mengeluarkan uang dan mengulurkan tangan untuk memberi uang – kalianpun tahu. Mengapa ?, karena kalian melihat dan memperhatikan saya…”.

Kita memang tidak bisa melihat Allah dengan mata kita selagi kita hidup didunia ini, tetapi melalui ciptaanNya, melalui firman-firmanNya, melalui gerakan, perubahan dan interaksi ciptaan-ciptaanNya – kita bisa ‘melihat’ Allah dengan pikiran dan dengan hati kita – kita bahkan bisa ‘bicara’ denganNya melalui sholat-sholat dan do’a-do’a kita, maka insyaAllah kitapun bisa tahu bahwa Allah sedang mengulurkan tanganNya untuk kita”.

Mengenai pertanyaan kedua, apakah uluran tanganNya tersebut adalah bener-bener untuk kita ?, kalian sudah saksikan tadi – bahwa uang ditangan saya tadi saya berikan ke yang menyambut uluran tangan saya dan yang berada paling dekat dengan saya.  Jadi mendekatlah kepada Allah sedekat mungkin, jangan menjauh. Agar ketika Allah mengulurkan ‘tangan’-Nya, kalian bisa tahu dan bisa langsung menyambutNya”.

Setelah menutup tausyiahnya pagi itu, pak kyai berdiri dan para santri-pun segera berdiri untuk melaksanakan perintah pak kyai. Dalam benak mereka kini yakin, kalau pak kyai saja yang nyuruh – dia berikan uang (sarananya) ; mosok Allah yang nyuruh kita melaksanakan banyak sekali hal, tidak memberikan saranaNya, pasti Dia memberikan sarananya secara cukup !. (I’tikaf Ramadhan , Jonggol 1433 H).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar