Oleh: Muhaimin Iqbal
Seorang wanita muda cantik menangis berurai air mata di sidang pengadilan yang menghukumnya karena kasus korupsi. Pasalnya dia tidak merasa bersalah untuk suatu tindakan yang di mata hukum jelas salah. Bisa jadi awalnya dia memang tidak bersalah, ibarat orang naik bus dalam suatu perjalanan – awalnya dia hanya salah memilih tempat duduk dan salah pula memilih teman seperjalanannya.
Awalnya
kita ini seperti sekerumuman orang di terminal bus. Ada yang sudah tahu
tujuan perjalanannya, tetapi juga banyak yang belum tahu. Ada yang
pergi bepergian dengan temannya, ada yang sendirian. Ada yang gagah
parlente dan penuh percaya diri, ada yang ndeso dan minder. Semua tumplek bleg di terminal bus.
Agar
tidak terlalu panjang tulisan ini, maka mari kita ambil satu bus saja
untuk kita amati siapa-siapa di antaranya yang ada di dalam bus
tersebut.
Kita temui dahulu yang ndeso dan minder, dia memilih tempat duduk di pinggir jendela dan mengagumi apa saja yang dilihatnya sepanjang perjalanan. Tujuan perjalanannya sendiri dia tidak tahu dan itu tidak penting, yang penting dia bisa menikmati perjalanannya.
Ini
gambaran orang awam yang hanya ingin menikmati dunianya, tanpa berpikir
terlalu panjang akan masa depannya. Akan sampai ke mana dia tergantung
dari sopir bus yang membawanya.
Kita
temui kemudian orang yang gagah parlente dan penuh percaya diri tadi,
sepanjang perjalanan dia banyak omong sehingga orang lain terpengaruh.
Padahal yang dia omongkan belum tentu benar, tetapi itu tidak terlalu
penting pula – yang penting orang –orang se bus mendukungnya.
Yang kedua ini adalah para politikus yang berusaha mempengaruhi rakyat yang ndeso dan minder
tadi untuk mau mendukungnya, padahal setelah didukung oleh rakyat si
politikus ini lebih sering melupakan rakyat yang mendukungnya.
Karakter wong ndeso
dan politikus ini tidak hanya ada di dunia politik, di dunia kerja
swasta juga banyak yang seperti ini. Ada karyawan-karyawan yang lugu,
pokoknya kebutuhan dia dicukupi oleh kantor – tidak peduli kantor dapat
uangnya dari mana. Ada pula yang penuh ambisi, pandai memanfaatkan
situasi dan tidak jarang tega makan teman sendiri.
Di
luar dari dua jenis orang tadi, di dalam bus yang sama ada orang-orang
yang memilih tempat duduk paling depan, dia ingin dapat melihat ke
seluruh arah dan ikut mengawasi sopir yang lagi bekerja. Tidak jarang
dia berteriak ‘awas…!’ bila sopirnya meleng.
Orang-orang yang duduk paling depan dan sering berteriak ‘awas…!’ ini adalah para pengamat, akademisi atau para peneliti. Mereka tahu sopir sering meleng, mereka sering berteriak ‘awas…!’, tetapi kalau disuruh memegang kemudi sendiri belum tentu juga bisa.
Lalu ada pula kenek yang membantu sang sopir dengan berbagai aba-aba, ‘kiri – aman’ , ‘depan kosong’ dan ‘awas…!’. Tetapi judgment kenek ini kadang juga tidak akurat, yang dibilang ‘kiri aman’ ternyata nyrempet juga, yang dibilang ‘depan kosong’ ternyata membuat sopir harus ngerem mendadak karena akan tubrukan, yang dibilang ‘awas…!’ biasanya telat – sudah terlanjur ‘jedeer’ entah apa yang ketabrak !.
Kenek
ini adalah para pembantu pemimpin yang entah namanya menteri atau staff
ahli kalau di pemerintahan, dan para manager bila di perusahaan atau
instansi. Judgment mereka menjadi sering kurang pas atau telat – terutama bila mereka dihinggapi penyakit ABS – Asal Bapak Senang.
Kemudian
yang terakhir adalah sang sopir sendiri. Sudah seharusnya dia yang
paling tahu jalan – akan dia bawa ke mana bus yang dikemudikannya. Dia
harus cekatan dan memiliki acumen yang tinggi – mampu mengolah informasi dan mengambil keputusan dengan sangat cepat.
Teriakan ‘awas…!’
dari penumpang dan keneknya dia dengarkan, tetapi sebelum mereka
berteriak-pun seharusnya sang sopir sudah tahu apa yang harusnya
dilakukan. Dia yang tahu jalan dan dia yang bisa mengambil keputusan dan
tindakan, maka keselamatan seluruh penumpang menjadi tanggung jawabnya.
Inilah
beratnya tanggung jawab sang sopir yang dalam kehidupan kita bisa siapa
saja yang menjadi pemimpin, bisa presiden, bisa direktur, bisa kepala
kantor, bisa kepala rumah tangga. Setiap kita adalah pemimpin dan kita
akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kita !.
Lalu bagaimana kita harus bertindak bila kita adalah penumpang bus yang ndeso dan minder
tadi – yang merepresentasikan orang kebanyakan – agar kita selamat
sampai tujuan ?. Pertama sebaiknya kita tidak bepergian sendirian, agar
ada teman untuk diajak bicara, menikmati perjalanan bareng , sekaligus
saling berbagi informasi dalam berbagai situasi.
Keberadaan
teman seperjalanan ini juga penting agar nantinya di dalam bus kita
tidak ‘terpaksa’ ngobrol dan terpengaruh oleh penumpang-penumpang yang
vocal padahal belum tentu benar.
Kedua
kita harus banyak bertanya sepanjang perjalanan, untuk memastikan bus
yang kita tumpangi adalah bus yang benar-benar bisa mengantar kita ke
tujuan perjalanan yang sesungguhnya. Bila kita tahu bus yang kita
tumpangi tidak akan mengantar kita ke tujuan yang sesungguhnya, kitapun
harus berani berteriak ‘stop pak sopir, saya turun di sini saja !’.
Ketiga
carilah teman perjalanan yang memang tahu tujuan perjalanan Anda, bukan
malah menyesatkan dan menjerumuskan Anda, carilah teman perjalanan yang
menghibur Anda ketika Anda galau – bukan malah teman perjalanan yang
membuat Anda galau. Carilah teman yang bisa menjadikan jarak yang jauh
terasa dekat, bukan teman yang malah membuat yang dekat terasa jauh.
Carilah teman yang bisa membuat yang sulit menjadi mudah, bukan teman
yang malah mempersulit hal yang seharusnya mudah.
Siapapun Anda, apakah si wong ndeso yang minder,
si parlente nan percaya diri, si penumpang depan yang waspada, si kenek
yang terus berteriak ataupun si sopir yang harus tahu tujuan dan bisa
mengambil keputusan yang tepat dan cepat - banyak-banyaklah Anda berdo’a dan ingat kepadaNya agar selamat sampai di tujuan Anda. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar