Tempat Dan Teman Duduk Dalam Perjalanan…

Rabu, 26 Desember 2012
Oleh: Muhaimin Iqbal
Seorang wanita muda cantik menangis berurai air mata di sidang pengadilan yang menghukumnya karena kasus korupsi. Pasalnya dia tidak merasa bersalah untuk suatu tindakan yang di mata hukum jelas salah. Bisa jadi awalnya dia memang tidak bersalah, ibarat orang naik bus dalam suatu perjalanan – awalnya dia hanya salah memilih tempat duduk dan salah pula memilih teman seperjalanannya.


Awalnya kita ini seperti sekerumuman orang di terminal bus. Ada yang sudah tahu tujuan perjalanannya, tetapi juga banyak yang belum tahu. Ada yang pergi bepergian dengan temannya, ada yang sendirian. Ada yang gagah parlente dan penuh percaya diri, ada yang ndeso dan minder. Semua tumplek bleg di terminal bus.

Agar tidak terlalu panjang tulisan ini, maka mari kita ambil satu bus saja untuk kita amati siapa-siapa di antaranya yang ada di dalam bus tersebut.

Kita temui dahulu yang ndeso dan minder, dia memilih tempat duduk di pinggir jendela dan mengagumi apa saja yang dilihatnya sepanjang  perjalanan. Tujuan perjalanannya sendiri dia tidak tahu dan itu tidak penting, yang penting dia bisa menikmati perjalanannya.

Ini gambaran orang awam yang hanya ingin menikmati dunianya, tanpa berpikir terlalu panjang akan masa depannya. Akan sampai ke mana dia tergantung dari sopir bus yang membawanya.

Kita temui kemudian orang yang gagah parlente dan penuh percaya diri tadi, sepanjang perjalanan dia banyak omong sehingga orang lain terpengaruh. Padahal yang dia omongkan belum tentu benar, tetapi itu tidak terlalu penting pula – yang penting orang –orang se bus mendukungnya.

Yang kedua ini adalah para politikus yang berusaha mempengaruhi rakyat yang ndeso dan minder tadi untuk mau mendukungnya, padahal setelah didukung oleh rakyat si politikus ini lebih sering melupakan rakyat yang mendukungnya.

Karakter  wong ndeso dan politikus ini tidak hanya ada di dunia politik, di dunia kerja swasta juga banyak yang seperti ini. Ada karyawan-karyawan yang lugu, pokoknya kebutuhan dia dicukupi oleh kantor – tidak peduli kantor dapat uangnya dari mana. Ada pula yang penuh ambisi, pandai memanfaatkan situasi dan tidak jarang tega makan teman sendiri.

Di luar dari dua jenis orang tadi, di dalam bus yang sama ada orang-orang yang memilih tempat duduk paling depan, dia ingin dapat melihat ke seluruh arah dan ikut mengawasi sopir yang lagi bekerja. Tidak jarang dia berteriak ‘awas…!’ bila sopirnya meleng.

Orang-orang yang duduk paling depan dan sering berteriak ‘awas…!’ ini adalah para pengamat, akademisi atau para peneliti. Mereka tahu sopir sering meleng, mereka sering berteriak ‘awas…!’, tetapi kalau disuruh memegang kemudi sendiri belum tentu juga bisa.

Lalu ada pula kenek yang membantu sang sopir dengan berbagai aba-aba, ‘kiri – aman’ , ‘depan kosong’ dan ‘awas…!’. Tetapi judgment kenek ini kadang juga tidak akurat, yang dibilang ‘kiri aman’ ternyata nyrempet juga, yang dibilang ‘depan kosong’ ternyata membuat sopir harus ngerem mendadak karena akan tubrukan, yang dibilang ‘awas…!’ biasanya telat – sudah terlanjur ‘jedeer’ entah apa yang ketabrak !.

Kenek ini adalah para pembantu pemimpin yang entah namanya menteri atau staff ahli kalau di pemerintahan, dan para manager bila di perusahaan atau instansi. Judgment mereka menjadi sering kurang pas atau telat – terutama bila mereka dihinggapi penyakit ABS – Asal Bapak Senang.

Kemudian yang terakhir adalah sang sopir sendiri. Sudah seharusnya dia yang paling tahu jalan – akan dia bawa ke mana bus yang dikemudikannya. Dia harus cekatan dan memiliki acumen yang tinggi – mampu mengolah informasi dan mengambil keputusan dengan sangat cepat.

Teriakan ‘awas…!’ dari penumpang dan keneknya dia dengarkan, tetapi sebelum mereka berteriak-pun seharusnya sang sopir sudah tahu apa yang harusnya dilakukan. Dia yang tahu jalan dan dia yang bisa mengambil keputusan dan tindakan, maka keselamatan seluruh penumpang menjadi tanggung jawabnya.

Inilah beratnya tanggung jawab sang sopir yang dalam kehidupan kita bisa siapa saja yang menjadi pemimpin, bisa presiden, bisa direktur, bisa kepala kantor, bisa kepala rumah tangga. Setiap kita adalah pemimpin dan kita akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kita !.

Lalu bagaimana kita harus bertindak bila kita adalah penumpang bus yang ndeso dan minder tadi – yang merepresentasikan orang kebanyakan – agar kita selamat sampai tujuan ?. Pertama sebaiknya kita tidak bepergian sendirian, agar ada teman untuk diajak bicara, menikmati perjalanan bareng , sekaligus saling berbagi informasi dalam berbagai situasi.

Keberadaan teman seperjalanan ini juga penting agar nantinya di dalam bus kita tidak ‘terpaksa’ ngobrol dan terpengaruh oleh penumpang-penumpang yang vocal padahal belum tentu benar.

Kedua kita harus banyak bertanya sepanjang perjalanan, untuk memastikan bus yang kita tumpangi adalah bus yang benar-benar bisa mengantar kita ke tujuan perjalanan yang sesungguhnya. Bila kita tahu bus yang kita tumpangi tidak akan mengantar kita ke tujuan yang sesungguhnya, kitapun harus berani berteriak ‘stop pak sopir, saya turun di sini saja !’.

Ketiga carilah teman perjalanan yang memang tahu tujuan perjalanan Anda, bukan malah menyesatkan dan menjerumuskan Anda, carilah teman perjalanan yang menghibur Anda ketika Anda galau – bukan malah teman perjalanan yang membuat Anda galau. Carilah teman yang bisa menjadikan jarak yang jauh terasa dekat, bukan teman yang malah membuat yang dekat terasa jauh. Carilah teman yang bisa membuat yang sulit menjadi mudah, bukan teman yang malah mempersulit hal yang seharusnya mudah.

Siapapun Anda, apakah si wong ndeso yang minder, si parlente nan percaya diri, si penumpang depan yang waspada, si kenek yang terus berteriak ataupun si sopir yang harus tahu tujuan dan bisa mengambil keputusan yang tepat dan cepat -  banyak-banyaklah Anda berdo’a dan ingat kepadaNya agar selamat sampai di tujuan Anda. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar