Oleh: Muhaimin Iqbal
Saya ada menanam empat pohon kelengkeng di halaman Bazaar Madinah, setiap musim buah – layaknya pohon buah lainnya – pohon kelengkeng tersebut juga selalu berbuah. Tetapi sampai sekarang saya belum sempat sekalipun merasakan buahnya, mungkin juga orang lain. Pohon kelengkeng yang ditanam di tempat umum demikian, buahnya tidak sempat matang – karena selalu keburu dipetik orang sebelum dia matang. Ini menjelaskan fenomena ekonomi yang disebut tragedy of the commons.
Sesuatu
yang dilihat orang mudah – seperti tinggal memetik buah kelengkeng dari
pohon yang pendek di tempat umum di halaman Bazaar Madinah tersebut di
atas – maka orang akan berebut mengambilnya pada kesempatan pertama,
sebelum diambil orang lain. Dari sekian banyak orang yang ingin
memetiknya pada kesempatan pertama, tentu ada yang bener-bener
melakukannya.
Walhasil
ketika buah itu bener-bener dipetik, dia dipetik belum pada waktunya
masak. Yang berkesempatan memetik, dia tidak bisa menikmatinya karena
dia memetik buah yang belum matang. Yang lain tentu juga tidak bisa
menikmatinya, karena buah yang ditunggu matangnya, sudah dipetik orang
lain sebelum waktunya.
Inilah salah satu bentuk tragedy of the commons
itu, ketika orang berlomba untuk mengambil yang paling menguntungkan
bagi dirinya sendiri – akhirnya malah tidak ada yang diuntungkan.
Fenomena
ini menjelaskan mengapa orang-orang yang ingin (memulai) usaha atau
berinvestasi secara mudah, kecil sekali kemungkinannya untuk bisa
memperoleh hasil seperti yang dia harapkan. Mengapa ?, karena bila ada
usaha atau investasi yang mudah – maka besar kemungkinan usaha atau
investasi ini juga dilihat oleh sekian banyak orang lain. Pasar dari
usaha atau investasi tersebut dengan cepat akan crowded, dan akhirnya tidak ada lagi yang bisa menikmati hasilnya.
Lantas bagaimana agar usaha atau investasi kita tidak terjebak pada tragedy of the commons ? sama dengan kasus buah kelengkeng tersebut !
Petani
kelengkeng yang sesungguhnya tentu tidak akan menanam pohon kelengkeng
ditempat umum seperti yang saya lakukan di halaman Bazaar Madinah.
Petani akan menanamnya di lahan atau halaman rumahnya yang terjaga,
tidak ada seorangpun yang boleh memetik buah kelengkengnya selain si
petani sendiri atau orang yang disuruhnya.
Karena
tidak ada yang berusaha memetiknya pada kesemptan pertama sebelum
dipetik orang lain, pak tani bisa menunggu sampai buah kelengkeng tua
dan matang di pohon.
Untuk
sampai bisa menikmati hasilnya ini pak tani mulai menanam kelengkeng
dari bibit-bibit yang kecil, disirami dan dipupuknya bertahun-tahun dan
ketika mulai berbuah – dijaganya dari tangan-tangan orang yang tidak
berhak, sehingga sampai suatau saat dia sendirilah yang berhak memetik
hasil dari jerih payahnya itu.
Membangun
usaha adalah seperti pak tani yang menanam kelengkeng tersebut, menanam
ditempat yang subur, menyirami dan memupuknya bertahun-tahun dan
menjaganya sampai buah bener-bener masak untuk dipetik. Membangun usaha
bukan seperti memetik pohon kelengkeng yang sudah ditanam orang lain di
tempat umum, karena ketika dipetik buahnya besar kemungkinan dia belum
matang – karena akan selalu ada yang berusaha memetik buah tersebut
sebelum Anda memetiknya.
Seorang pengusaha tua berjalan bareng sama anaknya, ketika anaknya melihat uang di jalan – si anak langsung berteriak : “Ayah, ada uang tergeletak di jalan, bolehkah saya ambil ?”. Ayahnya menjawab kalem : “Itu
mungkin bukan uang anakku, karena kalau itu uang – maka besar
kemungkinan ada orang lain yang lebih dahulu melihat dan mengambilnya”.
Kemudian si ayah memberi pelajaran ke anaknya : “uang adalah sesuatu yang harus engkau upayakan melalui kerja ! uang bukan sesuatu yang tinggal diambil”. There is no easy money…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar