Oleh: Muhaimin Iqbal
Temuan sederhana peradaban manusia yang manfaatnya luar biasa adalah cermin, dengannya kita bisa melihat yang tidak terlihat oleh mata kita secara langsung. Dengan cermin istri kita bisa berdandan cantik, dengan cermin dokter gigi bisa melihat letak gigi yang tersembunyi, dengan cermin kita bisa mengemudikan mobil tanpa harus sering-sering menoleh ke belakang. Maka ketika baru-baru ini mengunjungi bagian negeri ini yang sangat minus, saya seperti lagi melihat sebuah cermin tentang negeri ini.
Bagian
negeri yang saya kunjungi tersebut adalah suatu desa yang didalamnya
masih ada penghuninya yang busung lapar, bahkan didalamnya juga ada
kampung yang begitu banyak penghuninya mengalami keterbelakangan pikiran
(idiot). Apa masalahnya ? penyebab utamanya tentu karena ransum makanan
yang tidak mencukupi.
Mengapa
mereka tidak bisa makan secara cukup , padahal jarak ke kota terdekat
yang makmur kurang dari satu jam perjalanan ? makanan yang cukup memang
tersedia di tempat-tempat yang tidak jauh dari desa ini, tetapi mereka
tidak mampu membelinya.
Lantas
untuk mengatasi problem di desa ini apa yang diperlukan ?, mendatangkan
makanan dari daerah/kota di dekatnya ? untuk sementara bisa, bila bahan
makanan tersebut digratiskan atau paling tidak dijual sangat murah ke
penduduk desa yang nyaris tidak memiliki daya beli ini.
Solusi
permanen untuk desa tersebut adalah mengajari mereka untuk berproduksi
minimal untuk bahan-bahan kebutuhan pokok mereka. Bukan mendatangkan
dari tempat lain, yang membuat penduduk mereka semakin tergantung
sedangkan daya belinya tidak bergerak.
Inilah yang saya sebut cermin itu, dengan melihat
desa ini kita bisa melihat hampir secara keseluruhan Indonesia. Selain
kekurangan bahan pangan tertentu dan juga energi, kita juga memiliki
masalah dengan daya beli.
Kalau
toh seandainya supplier daging dan kedelai itu masih akan terus ada
sampai beberapa dekade kedepan, demikian pula dengan supplier BBM –
masalahnya rakyat kita belum tentu mampu membelinya.
Jadi
solusi untuk kelangkaan daging, kedelai, bawang putih dlsb, dan solusi
untuk BBM yang semakin tidak terjangkau adalah bukan membuka keran impor
lebar-lebar – sebab dengan ini kebutuhan pokok akan tersedia – tetapi
tidak terjangkau, persis seperti cermin kita berupa desa yang saya
gambarkan tersebut di atas.
Bagaimana
solusi konkritnya ? Ini adalah solusi yang kita bisa berikan ke
desa-desa yang mengalami problem sejenis – dan bisa menjadi cermin untuk
solusi nasional kita.
Kita
harus ajari dan semangati masyarakat setempat untuk belajar berproduksi
secara sabar. Apa yang diproduksi ?, mulai dengan yang sangat
dibutuhkan dahulu. Misalnya untuk daerah yang saya sebutkan di atas
problemnya adalah kekurangan gizi, maka masalah gizi inilah yang menjadi
prioritas.
Bagaimana
dengan kondisi alam mereka yang sangat tandus – sehingga generasi demi
generasi mereka gagal memakmurkannya – dan malah semakin tandus ?
InsyaAllah tidak masalah, Toh Allah telah memberikan caranya untuk
memakmurkan bumi yang mati sekalipun.
Maka
desa miskin nan tandus ini-pun bisa kita ajak untuk mulai melangkah
dari kilometer nol-nya. Bekali mereka dengan biji-bijian yang bisa
menjadi benih dan siap tumbuh di kondisi tanah ekstrem (QS 36:33), salah
satunya yang kita sudah coba adalah koro pedang.
Tunggu
ketika musim hujan mulai tiba – Alhamdulillah segersang-gersangnya
wilayah di Indonesia insyaAllah masih ada turun hujan, kemudian tanam
biji-bjian tersebut selagi masih berada di musim hujan.
Maka
insyaAllah dalam empat bulan biji-biji-an tersebut mulai siap dipanen,
maka paling lambat saat itulah maktuya kita berkunjung kembali ke daerah
ini. Kali ini tidak perlu membawa benih lagi, kali ini bawakan mereka
tempe !
Iya
betul tempe, sebagian dimakan bareng untuk mensyukuri nikmat dari Allah
atas panen perdana biji-bjian di tempat yang tandus tersebut, kemudian
sebagian tempe diiris-iris tipis terus dikeringkan. Setelah kering,
ditumbuk halus dan dicampur dengan tepung beras atau tepung terigu yang
sudah disangrai – maka jadilah desa tersebut bisa memproduksi ragi
tempe-nya sendiri.
Selanjutnya
ragi tempe inilah yang akan mereka terus gunakan untuk mengolah panenan
biji-bijian mereka menjadi tempe. Sebagian besar tempe dikonsumsi –
untuk menyelamatkan kebutuhan gizi mereka, sebagian sangat kecil
dikeringkan lagi untuk membuat tempe-tempe berikutnya.
Maka
dengan pendekatan semacam ini, desa yang semula gersang, busung lapar
dan ketertinggalan pikiran semacam ini akan mulai memiliki mesin
produksinya sendiri. Mereka insyaAllah akan mampu memenuhi kebutuhan
dasar utama yang selama bergenerasi mengalami ketertinggalan.
Ketika
pendekatan semacam ini kami sampaikan ke lurah setempat, mereka terharu
berkaca-kaca matanya karena tidak terbayangkan sebelumnya bahwa ada
solusi untuk desa mereka.
Kemudian pak lurah berpesan kepada rombongan kami : “Tetapi
bapak-bapak harus dampingi kami setiap hari, kalau tidak setiap hari ya
setiap pekan, kalau tidak setiap pekan yang setiap bulan, kalau tidak
setiap bulan pokoknya sering…jangan hanya lima tahun sekali !”
Mereka
rupanya mengira, kami adalah para politikus yang berkentingan dengan
Pilkada, Pemilu Legislatif atau Pemilu Eksekutif – yang datang kepada
rakyatnya hanya setiap lima tahun sekali, setelah itu dilupakan.
Maka
inilah cermin itu, untuk mengatasi problem bangsa ini dibidang pangan
khususnya – rakyat hanya perlu diajari dan dibimbing untuk mampu
memproduksi apa yang mereka butuhkan. Mengimpor dari luar negeri jelas
bukan solusi yang semestinya, barang bisa saja didatangkan dari luar
negeri secara cukup – tetapi bila tidak diperbaiki daya beli masyarakat –
barang-barang kebutuhan tersebut tetap tidak terbeli.
Lebih
lanjut rakyat ini perlu didampingi, harus ada yang memperhatikan dan
memperjuangkan kepentingan mereka setiap hari, setiap pekan, setiap
bulan atau setidaknya sering-sering , rakyat jangan hanya dimanfaatkan
lima tahun sekali ! Inilah waktunya kita bercermin untuk bisa memberikan
solusi. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar