Oleh: Muhaimin Iqbal
Meskipun teknologi informasi dan distribusi telah begitu majunya, saat ini di dunia masih ada sekitar 3 milyar penduduk dunia yang tidak terjangkau oleh para kampiun pemasar produk-produk korporasi. Sepuluh persen dari yang tidak terjangkau tersebut karena berbagai alasan seperti daerah terpencil dlsb, 90 %-nya atau sekitar 2.7 milyar memang tidak memiliki daya beli yang cukup karena daya beli mereka yang kurang dari US$ 2/hari. Lantas siapa yang akan bisa melayani mereka ini dengan adil ?
Korporasi-korporasi
besar dunia tentu sangat ingin untuk bisa menggarap pasar yang besarnya
lebih dari 40 % penduduk bumi tersebut. Dunia perbankan misalnya sangat
ingin menjangkau mereka dengan apa yang disebut Inclusive Banking, industri asuransi ingin menggapai mereka dengan apa yang mereka sebut Micro Insurance, sedangkan operator seluler menggarap mereka dengan iming-iming pulsa murah dlsb.
Bila
perbankan, asuransi dan perusahaan telekomunikasi sangat ingin
menggarap pasar besar ini, tentu ini lebih untuk kepentingan mereka
sendiri. Pasar-pasar mereka selama ini ada di masyarakat yang berdaya
beli cukup sudah digarap habis-habisan - sudah menjadi red ocean – oleh sengitnya ‘pertumpahan –darah’ persaingan sesama pemain.
Maka mereka rame-rame mencari laut yang masih biru – blue ocean
– karena belum ada yang menggarapnya dengan cukup selama ini. Tetapi
karena semua pemain juga mengincar laut yang masih biru ini, maka akan
segera terjadi tragedy of the commons – laut yang biru-pun akan segera menjadi merah oleh sengitnya ‘pertumpahan darah’ persaingan di antara pemain-pemain yang kuat.
Siapa
yang menjadi korbannya ?, tentu ya para penghuni laut yang semula biru
tersebut. Masyarakat miskin dengan penghasilan kurang dari US$ 2/hari ( menurut laporan McKinsey di Indonesia hampir 50%
penduduknya masuk kategori ini) – yang belum tentu butuh produk-produk
semacam perbankan, asuransi, pulsa telpon dlsb – tiba-tiba tergiur untuk
menggunakan sebagian penghasilannya untuk produk-produk sekunder atau
bahkan tersier ini.
Ini
mirip kisah pemilik satu ekor kambing yang harus menyerahkan
satu-satunya kambing yang dimilikinya kepada saudaranya yang sudah
memiliki 99 ekor kambing – hanya karena dia kalah dalam berdebat. “Sesungguhnya
saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan
aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu
kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan"”. (QS 38 :23).
Perusahaan-perusahaan
besar dengan dukungan institusi resmi pemerintah dan bahkan juga
institusi-institusi global – tentu pandai ‘berdebat’ dalam bentuk
program, lobby, iklan dlsb. sehingga rakyat miskin ‘pemilik satu ekor
kambing’ mudah sekali dikalahkan dengan rayuannya.
Rakyat
miskin tidak ada yang ‘mengajari mereka’ untuk berdebat, untuk
mempertahankan satu-satunya ‘kambing’ penghasilan mereka. Bahwa yang
mereka butuhkan adalah masih produk-produk pemenuhan kebutuhan primer
seperti makanan yang sehat yang terjangkau, pakaian yang bersih yang
cukup untuk menutup aurat, rumah tinggal yang layak tempat berlindung
dari panas dan hujan dan sejenisnya.
Tetapi
siapa yang akan membantu ‘pemilik satu ekor kambing’ ini mempertahankan
kambingnya ? Seharusnya ‘hakim yang adil’ atau otoritas pemerintah yang
melindunginya. Tetapi bila kini ‘hakim yang seharusnya adil’-pun sudah
bisa ‘disuap’ sama dengan kalangan legislatif dan eksekutifnya, maka
sangat bisa jadi posisi ‘pemilik satu ekor kambing’ itu kini memang
tidak terlindungi.
Lantas
apa yang bisa kita lakukan bersama agar satu-satunya kambing milik kita
tersebut tidak diambil oleh si kaya pemilik 99 ekor kambing ?
setidaknya ada dua pendekatan yang bisa kita lakukan.
Pendekatan
pertama adalah membangkitkan kekuatan pasar barang-barang kebutuhan
primer masyarakat seperti bahan pangan, pakaian dan papan – sehingga
masyarakat miskin akan memfokuskan daya belinya untuk hal-hal yang
bener-bener perlu.
Kekuatan
pasar ini harus dari dan untuk masyarakat miskin itu sendiri, dan untuk
ini diperlukan agen atau akselerator perubahan – yang mengedukasi
mereka untuk mementingkan produk-produk primer. Agar sustainable, agen
atau akselerator perubahan ini-pun harus mendapat insentif yang tidak
kalah dengan insentif yang diberikan oleh produsen produk-produk
sekunder atau tersier.
Ini
besar peluangnya untuk bisa dilakukan karena produsen produk-produk
primer – bisa dibangkitkan dari lingkungan masyarakat itu sendiri,
sedangkan produk-produk sekunder atau tersier umumnya diproduksi secara
tersentralisir di pusat-pusat kota – perlu upaya ekstra untuk menjangkau
masyarakat miskin.
Pendekatan
kedua adalah dengan tidak apriori terhadap produk-produk sekunder
maupun tersier – tetapi membantu masyarakat miskin untuk memilihnya
dengan produk-produk yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Tidak
ada salahnya produk perbankan sampai mereka, tetapi bukan yang ribawi
yang mencekik leher mereka. Bila perbankan bisa memberi akses mereka
modal yang non-ribawi dan tidak memberatkan masyarakat miskin, bisa saja
produk ini bermanfaat.
Demikian
pula asuransi, bila ada model tolong-menolong (ta’awun) yang efektif
sehingga masyarakat bisa saling memikul beban bersama – tidak
dieksploitasi oleh kapitalisme yang mencari untung semata – maka bisa
jadi pula tolong-menolong yang terorganisir ini bermanfaat bagi
masyarakat miskin.
Industri
telekomunikasi juga demikian, mestinya mereka bisa membuat kampanye
program agar pulsa yang dibeli oleh masyarakat bawah ini produktif untuk
meningkatkan penghasilan mereka – bukan sekedar untuk mengobrol yang
tidak perlu, yang menguras kantong mereka sekaligus mengambil sebagian
waktu produktif mereka.
Untuk
yang terakhir ini dan juga hal-hal sebelumnya, InsyaAllah akan ada hal
konkrit yang bisa dilakukan bersama melalui salah satu inisiatif di Startup Center dalam waktu dekat.
Intinya
harus ada yang mengawasi dan mendampingi masyarakat miskin ini agar
mereka tidak harus menyerahkan satu-satunya kambing yang dimilikinya
kepada si kaya pemilik 99 ekor kambing. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar