Oleh: Muhaimin Iqbal
Transaski e-commerce dunia tahun ini diperkirakan mencapai US$ 1.3 trilyun, namun transaksi ini kurang lebih hanya mewakili sekitar 1.4 % dari GDP dunia. Mayoritas transaski di dunia masih dilakukan secara tatap muka langsung, pasar di dunia yang sangat modern sekalipun seperti saat ini – masih begitu banyak didominasi oleh pasar fisik. Inti dari pasar fisik itu sendiri belum banyak berubah setelah ribuan tahun, yaitu setiap kerumuman adalah ( bisa jadi) pasar. Kemampuan untuk mengetahui dan berinteraksi di pasar inilah yang antara lain kemudian menjadikan orang seperti Abdurrahman bin Auf.
Mengapa kekuatan pasar fisik belum sepenuhnya bisa terdandingi oleh e-commerce yang sudah sangat canggih sekalipun ? banyak alasan untuk ini. Pertama adalah tidak semua produk cocok di e-commerce-kan. Anda tidak membeli bakso misalnya lewat e-commerce – paling tidak untuk saat ini.
Kedua, tidak semua orang merasa nyaman dengan transaksi tanpa wajah (faceless) melalui e-commerce. Ketiga tidak sedikit persepsi di masyarakat bahwa e-commerce tidak atau kurang aman.
Keempat, bagi sebagian (besar) orang tansaksi e-commerce adalah ribet. Kelima sebagian orang memilih jual beli fisik karena membangun experience tersendiri yang tidak tergantikan dengan e-commerce.
Orang-orang suka berkumpul di mal-mal atau keramaian lain untuk
menghibur diri sambil kemudian berbelanja misalnya, maka yang seperti
ini belum akan tergantikan oleh adanya kemajuan teknologi e-commerce.
Karena pasar terbesar masih berupa pasar fisik yaitu tempat-tempat dimana manusia bisa berkumpul dalam jumlah banyak, maka yang bisa men-create
orang utuk berkumpul itulah yang menguasai pasar untuk saat ini. Para
konglomerat rame-rame membangun mal-mal nan mewah agar orang tertarik
untuk datang.
Dari
pengunjung yang ramai inilah kemudian segala macam barang dan jasa bisa
dijual di keramaian tersebut, tempat-tempat seperti ini menjadi tempat
yang mahal yang hanya terjangkau oleh yang benar-benar mampu.
Mal-mal
dan pasar-pasar yang mewah ini kemudian memperlebar jurang pemisah
antara orang kebanyakan dengan si kaya. Si kaya bisa membeli tempat yang
mahal untuk jualan ke banyak orang yang berkunjung ke keramaiannya.
Sedangkan orang kebanyakan yang
tidak mampu membeli tempatnya ataupun sekedar menyewanya, hanya menjadi
pasar yang diberondong dengan berbagai produk barang dan jasa dagangan
si kaya.
Dengan
aliran uang dari orang kebanyakan ke si kaya ini kemudan memperbesar
konglomerasi dari waktu ke waktu. Outlet mereka makin luas di seluruh
penjuru kota bahkan sampai ke desa-desa, walhasil para konglomerat
bertambah terus asset-nya dengan cepat karena mereka menguasai pasar –
sedangkan kebanyakan orang hanya sekedar menjadi target pasar bagi para
konglomerat ini.
Sementara
itu ada kreativitas rakyat kecil yang juga sudah pandai memanfaatkan
kerumunan, mereka tidak mampu menciptakan kerumuman atau menarik orang
untuk datang ke suatu tempat – tetapi mereka bisa memanfaatkannya.
Para
pedagang asongan, pedagang di pasar kaget, pedagang di pasar Jum’at
(maksudnya di seputar masjid habis sholat Jum’at) adalah contoh orang-orang
yang bisa memanfaatkan kerumunan yang sudah ada untuk menjadi pasarnya –
tanpa harus menciptakan kerumunan itu sendiri.
Lagi-lagi
ini bukan untuk orang kebanyakan seperti saya dan Anda. Orang seperti
kita ini tanggung, jualan di mal-mal atau pasar-pasar yang mewah
kebanyakan kita tidak mampu menyewanya apalagi membeli tempatnya.
Sementara untuk jualan secara asongan kita mungkin tidak cukup percaya
diri untuk melakukannya.
Walhasil
orang-orang yang tanggung ini tetap menjadi target pasar bagi para
konglomerat maupun bagi pedagang asongan. Kebanyakan kita tidak menjadi
pedagang yang menguasai atau setidaknya mampu menggarap pasar itu
sendiri. Padahal penguasaan pasar ini mutlak perlu bila kita juga ingin
menguasai produksi apapun. Kita tidak akan bisa berproduski secara
maksimal bila kita tidak bisa menguasai pasar. Keahlian istri Anda
membuat gudeg yang luar biasa enak misalnya, tidak jaminan bisa menjual
gudeg tersebut bila Anda tidak menguasai pasarnya.
Dari
situasi inilah yang kemudian membuat kebanyakan orang seperti saya dan
Anda akhirnya milih untuk tetap menjadi pegawai saja sampai (terpaksa)
pensiun. Saat itu barulah kita belajar berusaha, belajar berproduksi dan
belajar memasarkan hasil produksi kita. Sedikit yang berhasil –
rasionya sekitar 1/10, satu berhasil dan 9-nya gagal. Mengapa ?, ya
karena kebanyakan memulainya secara terlambat dan memulai bukan karena passion – tetapi karena terpaksa.
Lantas
apa yang bisa dilakukan oleh orang kebanyakan ini agar bisa menguasai
perdagangan dan juga produksi ? inilah inti dari ekonomi Islam
sebenarnya. Kuasai pasar dan kuasai produksi, hal ini juga tercermin
oleh dua kelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam – yaitu kaum
Muhajirin yang rata-rata pandai berdagang (bisa menguasai pasar) dan
kaum Anshar yang rata-rata pandai bertani (bisa menguasai produksi).
Ketika
dua kekuatan pasar dan produksi ini dipersatukan dalam persaudaraan,
maka disitulah kedasyatan negeri Islam yang lahir perkasa kemudian.
Negeri yang mampu memakmurkan rakyatnya, dan bahkan juga kemudian
tercatat dengan cepat menjadi negeri yang membebaskan negeri-negeri lain
yang tertindas.
Maka itulah challenge-nya bila kita ingin memakmurkan rakyat di negeri ini, challenge-nya
adalah bagaimana penguasaan pasar yang tidak terpisahkan dari
penguasaan produksi itu bisa ada kembali di umat ini. InsyaAllah
BERSAMBUNG.
Catatan :
InsyaAllah
tulisan berikutnya tentang bagaimana orang kebanyakan seperti kita-kita
yang bukan konglomerat dan bukan penjual asongan ini bisa menguasai
pasar dan juga produksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar