Setiap Kerumuman Adalah Pasar (I)…

Jum'at, 11 Oktober 2013
Oleh: Muhaimin Iqbal
Transaski e-commerce dunia tahun ini diperkirakan mencapai US$ 1.3 trilyun, namun transaksi ini kurang lebih hanya mewakili sekitar 1.4 % dari GDP dunia. Mayoritas transaski di dunia masih dilakukan secara tatap muka langsung, pasar di dunia yang sangat modern sekalipun seperti saat ini – masih begitu banyak didominasi oleh pasar fisik. Inti dari pasar fisik itu sendiri belum banyak berubah setelah ribuan tahun, yaitu setiap kerumuman  adalah ( bisa jadi) pasar. Kemampuan untuk mengetahui dan berinteraksi di pasar inilah yang antara lain kemudian menjadikan orang seperti Abdurrahman bin Auf.


Mengapa kekuatan pasar fisik belum sepenuhnya bisa terdandingi oleh  e-commerce yang sudah sangat  canggih sekalipun ? banyak alasan untuk ini. Pertama adalah tidak semua produk cocok di e-commerce-kan. Anda tidak membeli bakso misalnya lewat e-commerce – paling tidak untuk saat ini.

Kedua, tidak semua orang merasa nyaman dengan transaksi tanpa wajah (faceless) melalui e-commerce. Ketiga tidak sedikit persepsi di masyarakat  bahwa e-commerce tidak atau kurang aman.

Keempat, bagi sebagian (besar) orang tansaksi e-commerce adalah ribet. Kelima sebagian orang memilih jual beli fisik karena membangun experience tersendiri yang tidak tergantikan dengan e-commerce. Orang-orang suka berkumpul di mal-mal atau keramaian lain untuk menghibur diri sambil kemudian berbelanja misalnya, maka yang seperti ini belum akan tergantikan oleh adanya kemajuan teknologi e-commerce.

Karena pasar terbesar masih berupa pasar fisik yaitu tempat-tempat  dimana manusia bisa berkumpul dalam jumlah banyak, maka yang bisa men-create orang utuk berkumpul itulah yang menguasai pasar untuk saat ini. Para konglomerat rame-rame membangun mal-mal nan mewah agar orang tertarik untuk datang.

Dari pengunjung yang ramai inilah kemudian segala macam barang dan jasa bisa dijual di keramaian tersebut, tempat-tempat seperti ini menjadi tempat yang mahal yang hanya terjangkau oleh yang benar-benar mampu.

Mal-mal dan pasar-pasar yang mewah ini kemudian memperlebar jurang pemisah antara orang kebanyakan dengan si kaya. Si kaya bisa membeli tempat yang mahal untuk jualan ke banyak orang yang berkunjung ke keramaiannya. Sedangkan orang kebanyakan  yang tidak mampu membeli tempatnya ataupun sekedar menyewanya, hanya menjadi pasar yang diberondong dengan berbagai produk barang dan jasa dagangan si kaya.

Dengan aliran uang dari orang kebanyakan ke si kaya ini kemudan memperbesar konglomerasi dari waktu ke waktu. Outlet mereka makin luas di seluruh penjuru kota bahkan sampai ke desa-desa, walhasil para konglomerat bertambah terus asset-nya dengan cepat karena mereka menguasai pasar – sedangkan kebanyakan orang hanya sekedar menjadi target pasar bagi para konglomerat ini.

Sementara itu ada kreativitas rakyat kecil yang juga sudah pandai memanfaatkan kerumunan, mereka tidak mampu menciptakan kerumuman atau menarik orang untuk datang ke suatu tempat – tetapi mereka bisa memanfaatkannya.

Para pedagang asongan, pedagang di pasar kaget, pedagang di pasar Jum’at (maksudnya di seputar masjid habis sholat Jum’at) adalah contoh  orang-orang yang bisa memanfaatkan kerumunan yang sudah ada untuk menjadi pasarnya – tanpa harus menciptakan kerumunan itu sendiri.

Lagi-lagi ini bukan untuk orang kebanyakan seperti saya dan Anda. Orang seperti kita ini tanggung, jualan di mal-mal atau pasar-pasar yang mewah kebanyakan kita tidak mampu menyewanya apalagi membeli tempatnya. Sementara untuk jualan secara asongan kita mungkin tidak cukup percaya diri untuk melakukannya.

Walhasil orang-orang yang tanggung ini tetap menjadi target pasar bagi para konglomerat maupun bagi pedagang asongan. Kebanyakan kita tidak menjadi pedagang yang menguasai atau setidaknya mampu menggarap pasar itu sendiri. Padahal penguasaan pasar ini mutlak perlu bila kita juga ingin menguasai produksi apapun. Kita tidak akan bisa berproduski secara maksimal bila kita tidak bisa menguasai pasar. Keahlian istri Anda membuat gudeg yang luar biasa enak misalnya, tidak jaminan bisa menjual gudeg tersebut bila Anda tidak menguasai pasarnya.

Dari situasi inilah yang kemudian membuat kebanyakan orang seperti saya dan Anda akhirnya milih untuk tetap menjadi pegawai saja sampai (terpaksa) pensiun. Saat itu barulah kita belajar berusaha, belajar berproduksi dan belajar memasarkan hasil produksi kita. Sedikit yang berhasil – rasionya sekitar 1/10, satu berhasil dan 9-nya gagal. Mengapa ?, ya karena kebanyakan memulainya secara terlambat dan memulai bukan karena passion – tetapi karena terpaksa.

Lantas apa yang bisa dilakukan oleh orang kebanyakan ini agar bisa menguasai perdagangan dan juga produksi ? inilah inti dari ekonomi Islam sebenarnya. Kuasai pasar dan kuasai produksi, hal ini juga tercermin oleh dua kelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam – yaitu kaum Muhajirin yang rata-rata pandai berdagang (bisa menguasai pasar) dan kaum Anshar yang rata-rata pandai bertani (bisa menguasai produksi).

Ketika dua kekuatan pasar dan produksi ini dipersatukan dalam persaudaraan, maka disitulah kedasyatan negeri Islam yang lahir perkasa kemudian. Negeri yang mampu memakmurkan rakyatnya, dan bahkan juga kemudian tercatat dengan cepat menjadi negeri yang membebaskan negeri-negeri lain yang tertindas.

Maka itulah challenge-nya bila kita ingin memakmurkan rakyat di negeri ini, challenge-nya adalah bagaimana penguasaan pasar yang tidak terpisahkan dari penguasaan produksi itu bisa ada kembali di umat ini. InsyaAllah BERSAMBUNG.

Catatan :
InsyaAllah tulisan berikutnya tentang bagaimana orang kebanyakan seperti kita-kita yang bukan konglomerat dan bukan penjual asongan ini bisa menguasai pasar dan juga produksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar