Oleh: Muhaimin Iqbal
Awalnya dahulu manusia makan dari hewan dan tumbuh-tumbuhan yang bisa diperoleh dari alam sekitarnya. Kemudian bertahap manusia mampu menyeleksi tanaman-tanaman yang bisa dibudi dayakan, ternak yang bisa dijinakkan dan digembalakan, mampu mengelola air dan mempertahankan kesuburan, mampu mengatasi penyakit, menggunakan tenaga diluar tenaga manusia dst. Sampai di sini manusia masih bisa memenuhi kebutuhannya dari alam sekitar.
Kemudian
ketika manusia mampu melakukan perjalanan jauh, mulailah sejumlah hasil
pertanian diperdagangkan dari tempat-tempat yang jauh. Ini adalah suatu
kebaikan karena dengan cara itu manusia bisa saling kenal mengenal dan
saling memenuhi kebutuhannya.
Bahkan
untuk era yang sangat panjang, sekitar delapan abad di masa Islam
menguasai perdagangan dunia – dunia Islam mengelola perdagangan hasil
pertanian setidaknya di tiga benua yaitu Eropa, Afrika dan Asia. Bukan
hanya hasilnya, Umat Islam pula yang menyebarkan sejumlah tanaman
melintasi benua untuk bisa hidup di tanah-tanah yang baru.
Tercatat
dalam sejarah tebu, sorghum, padi, lemon, kelapa, pisang, bayam dlsb.
dibawa oleh umat Islam dari Asia dan Afrika ke Mediterania dan bahkan
sebagian sampai kemudian ke benua Eropa. Sampai disini-pun perdagangan
dan pengenalan tanaman-tanaman dunia masih memberi manfaat besar bagi
umat manusia secara keseluruhan. Karena di jaman itu penduduk bumi
terkonsentrasi di tiga benua yaitu Asia, Afrika dan Eropa – maka dapat
dikatakan bahwa selama delapan abad umat Islam mengurusi pangan bagi
penduduk dunia.
Lalu
datanglah era kolonialisasi Eropa yang didominasi oleh Spanyol,
Portugis, Belanda, Inggris dan juga Perancis. Mereka menjajah
negeri-negeri kaya hasil alam untuk diekploitasi, dikuras habis hasil
alamnya untuk membangun negeri-negeri mereka sendiri.
Tidak
sedikit kontribusi negeri-negeri jajahan untuk pembangunan Eropa untuk
waktu yang lamanya sekitar empat abad, mulai dari abad ke 16 sampai
pertengahan abad 20 ketika negeri-negeri jajahan beruntun merdeka
seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II.
Selama
sekitar empat abad tersebut, para penjajah mengelola pangan dunia untuk
keuntungan mereka sendiri. Negeri mereka makmur, tetapi negeri-negeri
jajahan mereka di Asia, Afrika dan kemudian juga Amerika Selatan menjadi
negeri-negeri yang miskin. Contoh klasiknya adalah kita di Indonesia
yang bahkan pernah menjadi korban tanam paksa oleh kolonial tersebut.
Di
paruh akhir dari abad ke 20 dan di awal abad 21 ini, lain lagi
pengelola pangan bagi dunia itu. Pengelola pangan bukan lagi negara atau
bangsa atau umat, tetapi segelintir pemain yang mengatas namakan
perdagangan atau pasar bebas – yang mereka rela mengeksploitasi
bangsanya sendiri sekalipun.
Demi
keuntungan segelintir orang inilah berbagai produk dan hasil pertanian
didatangkan dari negeri-negeri yang jauh sekalipun asal bisa memberikan
keuntungan bagi (kelompok) mereka. Produksi bahan pangan dalam
negeri-pun terkendala oleh sumber-sumber produksi berupa bibit, pupuk,
bahan kimia sampai pakan ternak yang dikuasai oleh segelintir kelompok
usaha tertentu. Motif produksi dan peredaran bahan pangan sudah bukan
lagi memenuhi kebutuhan bagi umat manusia, tetapi mengejar keuntungan
semata.
Pengelolaan
produksi dan distribusi bahan pangan yang demikian itu hingga kini
telah menimbulkan ketimpangan dan ironi yang luar biasa. Negeri-negeri
miskin dengan daya beli penduduknya yang rata-rata rendah justru harus
membeli bahan pangan dari negeri maju – yang mengeruk keuntungan dari
ekspor bahan pangan mereka itu. Petani dan peternak miskin harus membeli
bibit, pupuk, obat-obatan dan bahkan pakan ternak dari konglomerasi
tertentu.
Di dunia saat ini ada sekitar 41 negara net exporters
bahan pangan (kalori), mayoritasnya adalah negeri kaya seperti Amerika,
Kanada, Australia, New Zealand, Perancis dlsb. Sementara itu yang
menjadi net importers kalori adalah negeri yang pas-pas-an
seperti Indonesia, India, Pakistan dan bahkan juga negeri-negeri miskin
di Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Tengah.
Ironi
lain adalah ketimpangan distribusi bahan pangan dunia-lah yang telah
menyebabkan sekitar 870 juta orang kekurangan gizi sementara ada 1
milyar orang di dunia kelebihan berat badan, 475 juta diantaranya bahkan
sampai pada tingkatan obesitas.
Pengelolaan bahan pangan dunia gaya kapitalisme juga membuat dunia tidak aman, rawan gejolak sosial, revolusi dan bahkan juga perang. Krisis di Meksiko dengan Huru- Hara Tortilla
awal 2007 bisa menjadi pelajaran bagi para pemimpin negeri yang suka
mengandalkan impor untuk solusi kebutuhan pangannya. Demikian juga yang
dialami negeri-negeri Afrika Utara dan Arab beberapa tahun terakhir.
Instabilitas
keamanan pangan mudah menjadi pemicu kerawanan yang ditimbulkan oleh
hiperinflasi harga pangan melalui setidaknya tiga trigger.
Pertama adalah ketika negara produsen tiba-tiba membutuhkan sendiri
hasil panenannya untuk berbagai keperluan sendiri dengan berbagai alasan
– seperti kasus Tortilla di Meksiko tersebut.
Kedua,
sekitar 45 % penduduk dunia berada di 5 negara besar Asia yang produksi
bahan pangannya pas-pasan. Mereka ini adalah China, India, Indonesia,
Pakistan dan Bangladesh. Karena kebutuhan pangannya yang sangat besar,
kegagalan swasembada pangan negara-nagara ini mudah untuk memicu gejolak
harga pangan di seluruh dunia. Kenaikan kebutuhan jagung dan kedelai
oleh China misalnya, akan dengan mudah melambungkan harga jagung dan
kedelai di pasaran dunia – itupun kalau masih tersedia.
Ketiga,
ketika negeri-negeri panik dalam memenuhi kebutuhan pangannya – mereka
cenderung memacu produksi dengan agak ngawur – tidak berfikir dampak
jangka panjang. Hutan-hutan dibabat untuk menjadi lahan pertanian yang
mengakibatkan krisis air kemudian, padahal air ini sangat dibutuhkan
untuk pertanian itu sendiri. Ketika untuk intensifikasi pertanian,
lahan-lahan digerojok dengan pupuk-pupuk dan obat-obatan kimia – maka
ini hanya mempercepat penurunan kwalitas dan kesuburan lahan - yang dampaknya secara gradual justru juga malah menurunkan hasil pertanian jangka panjang.
Satu saja dari triggers tersebut bekerja sudah cukup membuat Huru Hara Tortilla di Meksiko, bagaimana bila dua atau tiga triggers tersebut aktif bekerja secara bersamaan ? Maka risiko krisis pangan bagi dunia itu adalah imminent – mungkin bisa terjadi dalam waktu dekat.
Lantas
pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa proaktif mencegah krisis itu
terjadi ? Bagaimana kita bisa mencari solusi agar negeri ini bisa
selamat dari potensi krisis pangan tersebut ? Bagaimana kita bukan hanya
mengatasi krisis untuk negeri sendiri tetapi juga menjadi solusi bagi
negeri lain – seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf ‘Alaihi Salam ?
Bagaimana kita bisa menjadi bagian dai solusi dunia dan bukan malah
menjadi bagian dari masalahnya ? InsyaAllah bersambung ke tulisan
berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar