Urusan Pangan Dahulu, Kini dan Nanti (I)…

Rabu, 2 Oktober 2013
Oleh: Muhaimin Iqbal
Awalnya dahulu manusia makan dari hewan dan tumbuh-tumbuhan yang bisa diperoleh dari alam sekitarnya. Kemudian bertahap manusia mampu menyeleksi tanaman-tanaman yang bisa dibudi dayakan, ternak yang bisa dijinakkan dan digembalakan, mampu mengelola air dan mempertahankan kesuburan, mampu mengatasi penyakit, menggunakan tenaga diluar tenaga manusia dst. Sampai di sini manusia masih bisa memenuhi kebutuhannya dari alam sekitar.


Kemudian ketika manusia mampu melakukan perjalanan jauh, mulailah sejumlah hasil pertanian diperdagangkan dari tempat-tempat yang jauh. Ini adalah suatu kebaikan karena dengan cara itu manusia bisa saling kenal mengenal dan saling memenuhi kebutuhannya.

Bahkan untuk era yang sangat panjang, sekitar delapan abad di masa Islam menguasai perdagangan dunia – dunia Islam mengelola perdagangan hasil pertanian setidaknya di tiga benua yaitu Eropa, Afrika dan Asia. Bukan hanya hasilnya, Umat Islam pula yang menyebarkan sejumlah tanaman melintasi benua untuk bisa hidup di tanah-tanah yang baru.

Tercatat dalam sejarah tebu, sorghum, padi, lemon, kelapa, pisang, bayam dlsb. dibawa oleh umat Islam dari Asia dan Afrika ke Mediterania dan bahkan sebagian sampai kemudian ke benua Eropa. Sampai disini-pun perdagangan dan pengenalan tanaman-tanaman dunia masih memberi manfaat besar bagi umat manusia secara keseluruhan. Karena di jaman itu penduduk bumi terkonsentrasi di tiga benua yaitu Asia, Afrika dan Eropa – maka dapat dikatakan bahwa selama delapan abad umat Islam mengurusi pangan bagi penduduk dunia.

Lalu datanglah era kolonialisasi Eropa yang didominasi oleh Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris dan juga Perancis. Mereka menjajah negeri-negeri kaya hasil alam untuk diekploitasi, dikuras habis hasil alamnya untuk membangun negeri-negeri mereka sendiri.

Tidak sedikit kontribusi negeri-negeri jajahan untuk pembangunan Eropa untuk waktu yang lamanya sekitar empat abad, mulai dari abad ke 16 sampai pertengahan abad 20 ketika negeri-negeri jajahan beruntun merdeka seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II.

Selama sekitar empat abad tersebut, para penjajah mengelola pangan dunia untuk keuntungan mereka sendiri. Negeri mereka makmur, tetapi negeri-negeri jajahan mereka di Asia, Afrika dan kemudian juga Amerika Selatan menjadi negeri-negeri yang miskin. Contoh klasiknya adalah kita di Indonesia yang bahkan pernah menjadi korban tanam paksa oleh kolonial tersebut.

Di paruh akhir dari abad ke 20 dan di awal abad 21 ini, lain lagi pengelola pangan bagi dunia itu. Pengelola pangan bukan lagi negara atau bangsa atau umat, tetapi segelintir pemain yang mengatas namakan perdagangan atau pasar bebas – yang mereka rela mengeksploitasi bangsanya sendiri sekalipun.

Demi keuntungan segelintir orang inilah berbagai produk dan hasil pertanian didatangkan dari negeri-negeri yang jauh sekalipun asal bisa memberikan keuntungan bagi (kelompok) mereka. Produksi bahan pangan dalam negeri-pun terkendala oleh sumber-sumber produksi berupa bibit, pupuk, bahan kimia sampai pakan ternak yang dikuasai oleh segelintir kelompok usaha tertentu. Motif produksi dan peredaran bahan pangan sudah bukan lagi memenuhi kebutuhan bagi umat manusia, tetapi mengejar keuntungan semata.

Pengelolaan produksi dan distribusi bahan pangan yang demikian itu hingga kini telah menimbulkan ketimpangan dan ironi yang luar biasa. Negeri-negeri miskin dengan daya beli penduduknya yang rata-rata rendah justru harus membeli bahan pangan dari negeri maju – yang mengeruk keuntungan dari ekspor bahan pangan mereka itu. Petani dan peternak miskin harus membeli bibit, pupuk, obat-obatan dan bahkan pakan ternak dari konglomerasi tertentu.

Di dunia saat ini ada sekitar 41 negara net exporters bahan pangan (kalori), mayoritasnya adalah negeri kaya seperti Amerika, Kanada, Australia, New Zealand, Perancis dlsb. Sementara itu yang menjadi net importers kalori adalah negeri yang pas-pas-an seperti Indonesia, India, Pakistan dan bahkan juga negeri-negeri miskin di Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Tengah.

Ironi lain adalah ketimpangan distribusi bahan pangan dunia-lah yang telah menyebabkan sekitar 870 juta orang kekurangan gizi sementara ada 1 milyar orang di dunia kelebihan berat badan, 475 juta diantaranya bahkan sampai pada tingkatan obesitas.

Pengelolaan bahan pangan dunia gaya kapitalisme juga membuat dunia tidak aman, rawan gejolak sosial, revolusi dan bahkan juga  perang.  Krisis di Meksiko dengan Huru- Hara Tortilla awal 2007 bisa menjadi pelajaran bagi para pemimpin negeri yang suka mengandalkan impor untuk solusi kebutuhan pangannya. Demikian juga yang dialami negeri-negeri Afrika Utara dan Arab beberapa tahun terakhir.

Instabilitas keamanan pangan mudah menjadi pemicu kerawanan yang ditimbulkan oleh hiperinflasi harga pangan melalui setidaknya tiga trigger. Pertama adalah ketika negara produsen tiba-tiba membutuhkan sendiri hasil panenannya untuk berbagai keperluan sendiri dengan berbagai alasan – seperti kasus Tortilla di Meksiko tersebut.

Kedua, sekitar 45 % penduduk dunia berada di 5 negara besar Asia yang produksi bahan pangannya pas-pasan. Mereka ini adalah China, India, Indonesia, Pakistan dan Bangladesh. Karena kebutuhan pangannya yang sangat besar, kegagalan swasembada pangan negara-nagara ini mudah untuk memicu gejolak harga pangan di seluruh dunia. Kenaikan kebutuhan jagung dan kedelai oleh China misalnya, akan dengan mudah melambungkan harga jagung dan kedelai di pasaran dunia – itupun kalau masih tersedia.

Ketiga, ketika negeri-negeri panik dalam memenuhi kebutuhan pangannya – mereka cenderung memacu produksi dengan agak ngawur – tidak berfikir dampak jangka panjang. Hutan-hutan dibabat untuk menjadi lahan pertanian yang mengakibatkan krisis air kemudian, padahal air ini sangat dibutuhkan untuk pertanian itu sendiri. Ketika untuk intensifikasi pertanian, lahan-lahan digerojok dengan pupuk-pupuk dan obat-obatan kimia – maka ini hanya mempercepat penurunan kwalitas dan kesuburan lahan  - yang dampaknya secara gradual justru juga malah menurunkan hasil pertanian jangka panjang.

Satu saja dari triggers tersebut bekerja sudah cukup membuat Huru Hara Tortilla di Meksiko, bagaimana bila dua atau tiga  triggers tersebut aktif bekerja secara bersamaan ?  Maka risiko krisis pangan bagi dunia itu adalah imminent – mungkin bisa terjadi dalam waktu dekat.

Lantas pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa proaktif mencegah krisis itu terjadi ? Bagaimana kita bisa mencari solusi agar negeri ini bisa selamat dari potensi krisis pangan tersebut ? Bagaimana kita bukan hanya mengatasi krisis untuk negeri sendiri tetapi juga menjadi solusi bagi negeri lain – seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf ‘Alaihi Salam ? Bagaimana kita bisa menjadi bagian dai solusi dunia dan bukan malah menjadi bagian dari masalahnya ? InsyaAllah bersambung ke tulisan berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar