Oleh: Muhaimin Iqbal
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan kaum Muhajirin hijrah ke Madinah, ekonomi masyarakat Madinah berada dalam cengkeraman kaum Yahudi. Mereka menguasai perdagangan antar kota/negara, pertanian, perdagangan pakaian, tenun, perdagangan emas lengkap dengan industri kerajinan dari emas maupun besi. Yang lebih-lebih mencekik penduduk sampai para pemuka masyarakat Madinah adalah industri keuangan mereka saat itu – yaitu peminjaman uang dengan bunga/riba yang sangat tinggi. Sounds familiar isn’t it ?
Tentu saja kondisi tersebut familiar dengan kita yang hidup dijaman ini, lha wong
apa yang terjadi di Madinah pra Hijrah tersebut memang sangat mirip
dengan system ekonomi yang kita hadapi saat ini. Bedanya saat itu Yahudi
hadir secara fisik di Madinah dan mencengkeram penduduknya dengan
kekuatan ekonomi mereka.
Sedangkan kita di negeri ini saat ini, bukan Yahudi fisik yang mencengkeram kita – cukup systemnya saja yang di-adopt
di sana-sini – maka itupun cukup untuk menyandra ekonomi kita dalam
genggaman ‘system’ mereka. Kemiripan situasai Madinah pra Hijrah
tersebut dengan situasi kita saat ini dapat saya sarikan dari
penjelasannya Abul A’la Al-Maududi dalam The Meaning of the Qur’an sebagai berikut :
“Secara
ekonomi orang Yahudi jauh lebih kuat dari orang-orang Arab (Madinah pra
Hijrah). Mereka datang dari negeri yang lebih maju dari sisi budaya
seperti Palestina dan Syria, mereka mengetahui banyak ketrampilan yang
saat itu belum dikuasai oleh penduduk Madinah.
Mereka menguasai perdagangan dengan dunia luar, mereka bisa mendatangkan biji-bijian ke Yathrib dan Hijaz , juga mengekspor kurma kering ke negeri-negeri lainnya.
Peternakan
unggas dan perikanan juga mereka kuasai, demikian pula dengan
per-tenun-an. Mereka menguasai perdagangan emas serta kerajinannya, juga
kerajinan besi.
Dari
semua ini ini Yahudi memperoleh keuntungan yang sangat tinggi, namun
lebih dari itu – pekerjaan utama merekalah yang paling menjerat
masyarakat Arab Madinah dan sekitarnya. Pekerjaan utama mereka ini
adalah meminjamkan uang dengan bunga yang sangat tinggi.
Para
kepala suku dan tetua Arab-pun hidup dalam kemegahan – dengan uang
pinjaman Yahudi yang penuh dengan bunga berbunga - yang tentu saja
menjadi sangat sulit diselesaikan.”
Kondisi
ini masih berlangsung sampai beberapa saat pasca Hijrahnya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan kaum Muhajirin ke Madinah. Puncaknya
ada dua kejadian yang kemudian menjadi titik balik penguasaan Ekonomi
di Madinah.
Kejadian
pertama adalah pasca perang Badr ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam mengunjungi pasar terbesar di Madinah saat itu yaitu pasarnya
Bani Qainuqa’; Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diejek mereka dengan
ucapan mereka : “ Wahai
Muhammad, jangan tertipu dengan kemenanganmu, karena itu (perang Badar)
lawan orang yang tidak berengalaman dalam perang, maka kamu bisa unggul
karenanya. Tetapi demi Tuhan, bila kami berperang dengan engkau maka
engkau akan tahu bahwa kamilah yang perlu engkau takuti”. (Dikutip dari Buku Muhammad, karya Abu Bakr Siraj al-Din).
Kejadian kedua
adalah ketika seorang wanita Muslimah dilecehkan di pasar Bani Qainuqa’
yang sama. Akibatnya terjadi perkelahian yang hebat antara Yahudi dan Muslim yang membantu wanita tersebut. Kejadian inilah yang berujung pada pengusiran Bani Qainuqa’ dari Madinah.
Kedzaliman ekonomi di pasar yang dikuasai oleh (system)
Yahudi yang juga berujung pada pelecehan harga diri kaum muslimin
seperti in tentu tidak bisa dibiarkan berlama-lama, maka waktunyalah
kaum muslimin juga berjaya di pasar. Tetapi bagaimana caranya ?
Cara terbaiknya tentu juga mengikuti persis yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan para sahabatnya dari kaum Muhajirin
maupun Anshar. Bagaimana dibawah kepemimpinan dan tauladan dari beliau,
posisi kaum Muslimin bisa berbalik 180 derajat. Dari orang Arab yang
semula lemah dan terbelenggu ekonomi dhalim dan ribawinya Yahudi,
menjadi orang-orang yang perkasa bukan hanya di medan perang tetapi juga
di lapangan ekonomi.
Minimal
ada dua hal yang sangat relevan untuk kita contoh di jaman ini yang
insyaAllah juga akan mengunggulkan umat ini di lapangan ekonomi pasar
jaman ini.
Yang pertama adalah menyadarkan umat ini bahwa alasan kita diciptakan oleh Allah hanyalah agar kita mengabdi kepadaNya semata. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS 51:56).
Karena
kita diciptakanNya hanya untuk beribadah kepadaNya semata, maka seluruh
aspek kehidupan kita adalah dalam konteks ibadah. Dari sinilah kemudian
muncul konsep bekerja juga merupakan ibadah, konsep ini pula yang
kemudian membangun etos kerja yang kuat bagi para Sahabat beliau baik
kaum Muhajirin maupun Anshar.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terus mendorong etos kerja para sahabatnya seperti sabda beliau: “Tidak
ada seorang yang memakan suatu makananpun yang lebih baik dari makanan
hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya nabi Allah Daud Alaihi
Salam memakan makanan dari hasil usahanya sendiri” (Shahih Bukhari)
Kemudian juga hadits : “ Tidaklah
seorang muslimpun yang bercocok tanaman atau menanam suatu tanaman lalu
tanaman itu dimakan burung atau manusia atau hewan melainkan itu
menjadi shadaqah baginya”. ( Shahih Bukhari)
Ini
semua menjadi pemicu kerja keras muslim yang kemudian menguasai segala
bidang keahlian yang dibutuhkan untuk membangun kekuatan ekonomi – tanpa
terperdaya oleh kepentingan jangka pendek duniawi semata.
Hal
yang kedua adalah contoh nyata yang diberikan langsung oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam mengatasi masalah-masalah yang
dihadapi oleh umatnya. Kedhaliman dan kesombongan yang berpusat di pasar
yang dikuasai oleh Yahudi dalam contoh tersebut di atas misalnya,
mendorong Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk survey langsung
kondisi pasar-pasar pada umumnya dan langsung pula memberikan solusinya.
“Diceritakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pergi ke pasar Nabaith
kemudian beliau melihatnya dan bersabda : “Bukan seperti ini pasar
kalian”. Kemudian beliau pergi ke pasar lain lagi dan melihatnya,
beliaupun bersabda : “Bukan seperti ini pasar kalian”. Kemudian beliau
kembali lagi ke pasar, beliau berputar mengelilinginya dan bersabda :
“Ini adalah pasar kalian, jangan dipersempit dan jangan dibebani””. (Sunan Ibnu Majah, hadits no 2224).
Ada setidaknya tiga hal utama yang menjadi pembeda antara pasar Yahudi dengan pasar kaum muslimin, pertama pasar kaum muslimin tidak dipersempit (falaa yuntaqashanna), kedua tidak dibebani dengan berbagi pungutan ( wa laa yudhrabanna) dan
ketiga adalah adanya pengawas pasar yang disebut Muhtasib atau
lembaganya disebut Al-Hisbah. Tiga hal inilah yang kemudian selain
menjadi pembeda juga menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi umat Islam
saat itu.
Pasar
yang tidak dipersempit maksudnya adalah pasar yang tidak dikurangi
luasnya dengan berbagai bangunan yang menjadi hak orang-orang tertentu
saja, umat yang kaya maupun yang miskin harus mempunyai kesempatan yang
sama untuk bisa berdagang di pasar. Tidak boleh menghalangi orang yang
akan masuk kepasar, tidak boleh pula mendorong orang keluar dari pasar.
Pasar
yang tidak dibebani adalah agar tidak ada beban pajak ataupun
pungutan-pungutan lain yang memberatkan para pedagang. Agar para
pedagang lebih banyak bisa memutar hartanya, yang kemudian juga berarti
memutar ekonomi secara luas. Meningkatkan kemakmuran bukan hanya untuk
dirinya sendiri tetapi juga masyarakat luas melalui ekonomi yang
berhasil diputarnya.
Sedangkan
fungsi Al-Hisbah adalah untuk menjaga agar syariat jual beli ditaati
oleh seluruh pelaku pasar sehingga keteraturan dan keadilan terjadi di
pasar. Begitu pentingnya peran pengawasan pasar ini sehingga di
awal-awal perkembangan masyarakat Islam di Madinah, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri yang terjun langsung sebagi
Muhtasib mengawasi pasar. Baru belakangan tugas ini diteruskan oleh Umar
bin Khattab (yang mulai mengawasi pasar bahkan ketika Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup) dan kemudian diikuti oleh
khalifah-khalifah sesudahnya.
Pertanyaan
berikutnya adalah, lantas hal konkrit apa yang bener-bener bisa kita
lakukan di jaman ini untuk bisa mengembalikan kejayaan umat ini –
seperti umat Islam di Madinah pasca Hijrahnya Nabi dan kaum Muhajirin
kesana ?
Dahulu
orang-orang Arab Madinah pra hijrahnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, terpuruk dan terbelenggu ekonominya oleh penguasaan pasar dan
praktek ribawinya Yahudi. Kemudian dibebaskan dan diunggulkan dengan
tauhid yang sempurna, bahkan sampai bekerja-pun dalam konteks ibadah. Juga
dilengkapi dengan contoh amal nyata yang dibutuhkan sesuai jamannya –
yaitu antara lain penyiapan pasar bagi kaum muslimin yang menjadi akses
kemakmuran bagi umat yang luas.
Maka
saat inipun tetap relevan bagi umat yang hidup di jaman ini untuk
mencontoh langsung solusi yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam tersebut di atas.
Kita
perlu menanamkan makna yang lebih tinggi dalam seluruh aktivitas kita
sehari-hari, termasuk ketika kita bekerja, bertani maupun berdagang.
Bahwa ini semua adalah semata hanya dalam konteks beribadah kepadaNya.
Ibadah
inipun kemudian perlu dilengkapi dengan amal nyata yang menjadi solusi
jaman ini. Bila prakteknya pasar yang ada kini tidak satupun yang
memenuhi syarat falaa yuntaqashanna walaa yudrabanna,
sedangkan pasar yang seperti ini sangat dibutuhkan agar umat ini bisa
memenuhi kebutuhannya secara adil, tidak terdholimi dan terlecehkan oleh
(system) Yahudi atau sejenisnya – maka sesuatu yang dibutuhkan umat ini
menjadi fardhu kifayah bagi pemimpin negeri ini atau orang yang mampu untuk menyediakannya.
Kami sudah pernah mencoba menghadirkan pasar yang memenuhi kriteria falaa yuntaqashanna, dalam
bentuk pasar fisik Bazaar Madinah di Depok. Kendalanya adalah sangat
sulit mencontoh pasar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut di atas
karena dari sisi ukuran saja, pasar Nabi yang luasnya sekitar 5 ha (500
m x 100 m) – agar bisa menampung semua orang yang perlu datang ke pasar
– perlu kekuatan besar untuk pengadaannya.
Di
tempat-tempat strategis di sekitar Jabodetabek, dibutuhkan dana yang
luar biasa besar untuk menghadirkan pasar fisik yang bisa menampung
semua orang tersebut. Bila di Jaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
saja dibutuhkan 5 ha pasar, bisa dibayangkan berapa luasan pasar yang
kita butuhkan sekarang agar semua orang punya akses pasar yang sama ?.
Di pasar fisik jaman ini, kriteria walaa yudrabanna
juga ternyata tidak mudah diterapkan. Dana untuk sekedar mengelola
kebersihan dan keamanan-pun ternyata perlu ijtihad tersendiri.
Walhasil exercise pertama kami untuk menghadirkan pasar fisik yang memenuhi kriteria falaa yuntaqashanna walaa yudrabanna tidak begitu berhasil, rencana copy paste-nya
ke daerah-daerah lain lebih terkendala lagi implementasinya karena
kembali terbentur dua hal tersebut di atas yaitu modal awal untuk
pengadaan lahan dan biaya pengoperasiannya.
Namun Subhanallah
kebenaran Islam itu terbukti untuk sepanjang jaman. Di jaman modern
dengan harga tanah selangit seperti sekarang ini, ternyata pasar fisik
yang memenuhi kriteria falaa yuntaqashanna walaa yudrabanna sepenuhnya-pun dapat
diwujudkan dengan bantuan teknologi, dan tidak perlu membutuhkan dana
yang terlalu besar. Asal mau saja, setiap muslim bisa terlibat dalam
pengadaaan pasar bagi umat ini.
Pasar
atau tempat bertemunya penjual dan (calon) pembeli bisa dibantu dengan
teknologi, untuk kemudian mereka bertemu dan bertransaksi secara fisik
di tempat atau lokasi yang disepakati bersama. Bisa pembeli datang ke
penjual atau sebaliknya.
Konsep inilah yang kemudian telah kami konkritkan menjadi project Location Based Marketplace yang kami sebut lastfeet.com dan sudah mulai kami perkenalkan kepada para pembaca melalui tulisan kami kemarin (04/11/13). Dalam
momentum tahun baru Hijriyah 1 Muharram 1435 ini, selain introduksi
dalam tulisan kemarin, tulisan ini hari ini, insyaAllah masih akan ada
serangkain tulisan lain yang akan memperjelas dan membumikan konsep
Hijrah Ekonomi itu.
Untuk
mengunggulkan umat ini, contoh konkrit solusinya begitu jelas datang
dari Uswatun Hasanah kita. Prinsip dasar solusinya tetap sama yaitu
aqidah yang kemudian antara lain melahirkan amal shaleh yang sesuai
dengan kebutuhan jamannya. Tools-nya
saja yang bisa berbeda sesuai jamannya, bila dahulu pasar fisik itu ya
bener-bener fisik dari ujung ke ujung. Kini pasar fisik itu bisa tetap
fisik transaksinya sehingga seluruh syariat jual beli bisa dilaksanakan
secara sempurna seperti adanya khiyar-nya dlsb., namun pertemuannya antara penjual dan pembeli bisa saja difasilitasi atau diperkenalkan melalui teknologi.
Lantas
siapa yang menjadi Muhtasib dan mengawasi perdagangan modern seperti
dalam Lastfeet ini ? Di negeri ini memang sudah banyak yang mengawasi
pasar berupa departemen, institusi maupun dinas-dinas di pemerintahan
daerah. Namun tidak ada yang mengawasinya terkait dengan ketaatan
terhadap syariat. Riba misalnya jelas-jelas melanggar syariat, tetapi
tidak ada satupun institusi pengawas pasar negeri ini yang menindak pelaku riba.
Maka pengelola lastfeet.com
akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menjaga – agar tidak ada
pelanggaran syariat di dalam transaksi yang difasilitasi oleh Lastfeet
ini. Didalam ketentuan layanannya misalnya ada pasal yang berbunyi : “Para pengguna situs ini langsung maupun tidak langsung DILARANG KERAS untuk memanfaatkan system yang ada di Lastfeet.com
untuk kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum, melanggar
ketata-susilaan, norma agama, adat –istiadat, berbuat kecurangan,
menipu, menjual produk yang
terlarang baik oleh hukum positif ataupun oleh Agama maupun kegiatan
lain yang melanggar kepentingan orang lain. Pengelola Lastfeet.com
sepenuhnya berhak menghentikan layanan apabila disinyalir pengguna
mengggunakan untuk kegiatan yang DILARANG tersebut. Penghentian layanan
ini tidak memerlukan pembuktian tertentu, namun pengguna yang merasa
dirugikan dapat meminta untuk diaktifkan kembali layananannya apabila
dia berhasil membuktikan sebaliknya bahwa kegiatannya tidak termasuk
yang DILARANG”.
Jadi dengan bantuan teknologi seperti yang antara lain sudah kami siapkan di lastfeet.com ini Andapun
insyaAllah bisa menghadirkan Pasar Madinah itu di lingkungan Anda
masing-masing. Anda bisa menjadi stilumalator kebangkitan ekonomi umat
dalam upaya membebaskan umat dari kedhaliman, ketidak adilan pasar dan
dari lilitan ekonomi kapitalisme ribawi – yang telah membelenggu
umat-umat di dunia hampir seabad terakhir ini.
Kondisi
yang dihadapi umat ini saat ini hanya bisa diperbaiki dengan cara
sebagaimana umat ini dahulu diperbaiki. Maka bila masyarakat Madinah
bisa diperbaiki dari keterpurukan menjadi masyarakat pemenang dan
masyarakat pembebas dunia pasca terjadinya Hijrah, dengan fondasi tauhid
yang sama dan amal Islami yang mencontoh petunjuk yang sama – mestinya
umat di jaman inipun bisa diunggulkan kembali. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar