Oleh: Muhaimin Iqbal
Mungkin karena kita terlalu terspesialisasi dalam hidup ini dan hidup terkotak-kotak dalam disiplinnya masing-masing, sehingga ketika ada sesuatu yang besar yang menuntut disiplin ilmu yang luas – kita menjadi tidak melihatnya. Seperti berada dalam hutan, kita hanya melihat pohon satu per satu tetapi tidak bisa melihat hutannya sendiri. Di negeri ini ada hal yang haram – yang sebentar lagi menjadi kewajiban seluruh warga negara untuk mengikuti yang haram tersebut – tetapi kita tidak tahu, kok bisa ?
Kewajiban
untuk mengikuti yang haram itu tersusun dalam serangkain undang-undang
dan perpres yang sangat rapi yang disiapkan dalam 10 tahun terakhir – yet umat Islam tidak menyadarinya – sehingga terjebak menjadi wajib mengikuti yang haram tersebut.
Saya
masih berprasangka baik sehingga masih mungkin diluruskan meskipun
waktu kita kurang dari dua bulan – bila ada kemauan yang besar,
insyaAllah bisa.
Prasangka
baik itu adalah ketika awalnya pemerintah ingin memberikan jaminan
kesehatan bagi seluruh penduduknya. Maka lahirlah undang-undang no 40
tahun 2004 tentang SJSN, yang kemudian diikuti UU no 36 tahun 2009
tentang Kesehatan.
Diantara pasalnya di UU no 36 tersebut berbunyi : “ Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan sosial. ” (Pasal 13 , ayat 1). Kemudian “Program jaminan kesehatan sosial sebagimana dimaksud ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” (Pasal 13 , ayat 1).
Rankaian
undang-undang tersebut kemudian disusuli dengan Peraturan Presiden yang
baru keluar tahun ini yaitu Peraturan Presiden no 12/2013, yang antara
lain berbunyi : “ Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan dilakukan secara bertahap sehingga mencakup seluruh penduduk” (pasal 6, ayat 1).
Pentahapan
tersebut dimulai dari tanggal 1 januari 2014 dan batas akhirnya ketika
seluruh penduduk sudah harus menjadi peserta Jaminan Kesehatan ini
adalah tanggal 1 januari 2019. (Pasal 6, ayat 2).
Sampai disini saya masih melihat ini adalah niat baik pemerintah untuk mengelola kesehatan dari rakyatnya.
Masalahnya
kemudian timbul ketika turun pada siapa yang akan mengelola dana
kesehatan tersebut dan bagaimana dikelolanya. PT. Askes yang dipercaya
untuk mengelola jaminan kesehatan ini untuk dua tahun pertama misalnya,
saya tidak melihat mereka memiliki kemauan maupun kemampuan untuk
mengelola dana umat ini secara syariah.
Sampai
laporan keuangan mereka terakhir yaitu tahun 2012, sekitar 40 % aset
lancar mereka dikelola secara ribawi di bank-bank konvensional dalam
berbagi bentuknya. Dalam jumlah yang kurang lebih sama, dikelola dalam
reksadana. Jadi lebih dari 80% aset lancar mereka adalah aset ribawi,
bisakah mereka mengelola dana umat secara syar’i ?
Seluruh
bank-bank yang menjadi rekanan , maupun seluruh pengelola reksadananya
yang mereka pakai – semuanya konvensional yang mengandung maisir, gharar dan riba (magrib).
Jadi nampaknya Askes masih sepenuhnya mengelola dana masyarakatnya
secara konvendional dan belum nampak untuk membangun kemauan dan
hubungan dengan industri keuangan syariah – yang sebenarnya sudah mulai
marak di negeri ini.
Lho riba tho
asuransi konvensional ini ? inilah yang umat mayoritas ini tidak
menyadari keharaman riba yang dilakukan oleh asuransi, koperasi,
reksadana dslb. Padahal fatwa MUI no 1 tahun 2004 jelas-jelas
menyatakaan keribaan seluruh bunga yang diperoleh oleh lembaga-lembaga
keuangan non bank ini, sama dengan keribaan bunga bank.
“1.Praktek
pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada
zaman Rasulullah Saw, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek
pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram
hukumnya.
2.
Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh
bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan
lainnya maupun dilakukan oleh individu.” (Fatwa MUI no 1 Tahun 2004
Tentang Bunga)”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar