Ketika Yang Haram Diwajibkan…

Kamis, 14 November 2013
Oleh: Muhaimin Iqbal
Mungkin karena kita terlalu terspesialisasi dalam hidup ini dan hidup terkotak-kotak dalam disiplinnya masing-masing, sehingga ketika ada sesuatu yang besar yang menuntut disiplin ilmu yang luas – kita menjadi tidak melihatnya. Seperti berada dalam hutan, kita hanya melihat pohon satu per satu tetapi tidak bisa melihat hutannya sendiri. Di negeri ini ada hal yang haram – yang sebentar lagi menjadi kewajiban seluruh warga negara untuk mengikuti yang haram tersebut – tetapi kita tidak tahu, kok bisa  ?


Kewajiban untuk mengikuti yang haram itu tersusun dalam serangkain undang-undang dan perpres yang sangat rapi yang disiapkan dalam 10 tahun terakhir – yet umat Islam tidak menyadarinya – sehingga terjebak menjadi wajib mengikuti yang haram tersebut.

Saya masih berprasangka baik sehingga masih mungkin diluruskan meskipun waktu kita kurang dari dua bulan – bila ada kemauan yang besar, insyaAllah bisa.

Prasangka baik itu adalah ketika awalnya pemerintah ingin memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduknya. Maka lahirlah undang-undang no 40 tahun 2004 tentang SJSN, yang kemudian diikuti UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Diantara pasalnya di UU no 36 tersebut berbunyi : “ Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan sosial. ” (Pasal 13 , ayat 1). Kemudian “Program jaminan kesehatan sosial sebagimana dimaksud ayat  (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” (Pasal 13 , ayat 1).

Rankaian undang-undang tersebut kemudian disusuli dengan Peraturan Presiden yang baru keluar tahun ini yaitu Peraturan Presiden no 12/2013, yang antara lain berbunyi : “ Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan dilakukan secara bertahap sehingga mencakup seluruh penduduk” (pasal 6, ayat 1).

Pentahapan tersebut dimulai dari tanggal 1 januari 2014 dan batas akhirnya ketika seluruh penduduk sudah harus menjadi peserta Jaminan Kesehatan ini adalah tanggal 1 januari 2019. (Pasal 6, ayat 2).

Sampai disini saya masih melihat ini adalah niat baik pemerintah untuk mengelola kesehatan dari rakyatnya.

Masalahnya kemudian timbul ketika turun pada siapa yang akan mengelola dana kesehatan tersebut dan bagaimana dikelolanya. PT. Askes yang dipercaya untuk mengelola jaminan kesehatan ini untuk dua tahun pertama misalnya, saya tidak melihat mereka memiliki kemauan maupun kemampuan untuk mengelola dana umat ini secara syariah.

Sampai laporan keuangan mereka terakhir yaitu tahun 2012, sekitar 40 % aset lancar mereka dikelola secara ribawi di bank-bank konvensional dalam berbagi bentuknya. Dalam jumlah yang kurang lebih sama, dikelola dalam reksadana. Jadi lebih dari 80% aset lancar mereka adalah aset ribawi, bisakah mereka mengelola dana umat secara syar’i ?

Seluruh bank-bank yang menjadi rekanan , maupun seluruh pengelola reksadananya yang mereka pakai – semuanya konvensional yang mengandung maisir, gharar dan riba (magrib). Jadi nampaknya Askes masih sepenuhnya mengelola dana masyarakatnya secara konvendional dan belum nampak untuk membangun kemauan dan hubungan dengan industri keuangan syariah – yang sebenarnya sudah mulai marak di negeri ini.

Lho riba tho asuransi konvensional ini ? inilah yang umat mayoritas ini tidak menyadari keharaman riba yang dilakukan oleh asuransi, koperasi, reksadana dslb. Padahal fatwa MUI no 1 tahun 2004 jelas-jelas menyatakaan keribaan seluruh bunga yang diperoleh oleh lembaga-lembaga keuangan non bank ini, sama dengan keribaan bunga bank.

1.Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.” (Fatwa MUI no 1 Tahun 2004 Tentang Bunga)”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar