Oleh: Muhaimin Iqbal
Lima tahun lebih pensiun dari mengurusi produk-produk asuransi syariah, saya merasa terpanggil untuk kembali menyumbangkan pikiran dan pengalaman saya (dahulu) untuk membantu mengatasi acakadut-nya pengelolaan kesehatan di negeri ini. Solusi kesehatan dari dunia kapitalisme nampaknya tidak akan jalan dengan nyaris default-nya Amerika gara-gara Obama Care. Bagaimana system Islam bisa mengatasi masalah ini ?
Pertama
yang membedakannya adalah niat dasar dalam setiap perbuatan. Di dunia
kapitalisme, semua didasarkan untuk mencari keuntungan maksimal –
termasuk dalam hal pengurusan kesehatan.
Dalam Islam dasar kita berbuat adalah agar Allah ridla, Agar Allah mengampuni kita dan agar Allah juga memberi kita karuniaNya. “Setan
menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu
berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan
daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (QS 2 :268).
Niat
ini yang seharusnya paling membedakan konsep ekonomi Islam dengan
kapitalisme dan juga lainnya. Yang kedua, niat ini-pun kemudian harus
diimplementasikan dengan cara-cara dan nilai-nilai yang sesuai atau
sejalan dengan niat tersebut. Maka ada dua cara untuk mengelola
kebutuhan seperti masalah kesehatan tersebut di atas, yang saya padukan
sesuai jamannya yaitu di jaman modern ini.
Dua
cara tersebut adalah Ta’awun dan Wakaf yang kemudian untuk pertama
kalinya ini saya perkenalkan istilah baru yaitu TAWAF – singkatan dari
Ta’awun dan Wakaf – sama seperti kita sudah lama mengenal istilah ZISWAF
dari Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf.
Mengapa
saat ini kita perlu memadukan Ta’awun dan Wakaf untuk mengatasi
kesehatan ?, karena meskipun industri asuransi syariah sudah sekitar dua
puluh tahun di Indonesia – dengan perbagai konsep ta’awun-nya di bidang
kesehatan – layanannya baru bisa dirasakan oleh masyarakat yang mampu
menjadi peserta asuransi kesehatan syariah. Masyarakat kebanyakan yang
bukan peserta – yang justru sangat membutuhkan bantuan – sama sekali
tidak mereka sentuh.
Dalam
konsep ta’awun yang dikelola asuransi syariah sampai kini, yang bukan
peserta ya tidak berhak atas layanan. Siapa lantas yang mengurusi
kesehatan mereka ?, ya seharusnya pemerintah – dan mudah-mudahan dengan
adanya system Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan berlaku sejak 1
Janurai 2014 nanti sebagian masalah kesehatan masyarakat ini bisa
teratasi.
Saya
katakan sebagian, karena melihat lembaga-lembaga yang dilebur untuk
mengelola JKN ini asalnya dari institusi konvensional – yang otomatis
mengelola dana jaminan kesehatannya secara ribawi. Masyarakat yang
hati-hati mungkin akan enggan dilayani dengan JKN karena bagaimana
mungkin pada saat kita sakit, do’a kita seharusnya dikabulkan oleh Allah
– tetapi bagaimana bila saat itu justru kita dirawat dengan uang riba ?
Masalah
lain adalah JKN kemungkinan besar hanya memberi pelayanan yang sifatnya
minimal. Misalnya orang sakit ya diobati sampai sembuh – itu thok, itupun sudah bagus – sudah mendingan ada yang mengobati.
Tetapi
bayangkan situasi begini : Anda seorang professional atau pekerja
mandiri. Anda hanya memiliki penghasilan apabila Anda bekerja. Ketika
sakit Anda tidak bisa bekerja, Anda tidak punya penghasilan – padahal
saat itu kebutuhan Anda meningkat. Jadi apa solusinya ? dalam system
pengelolaan kesehatan sekarang hal ini tidak terpecahkan.
Padahal dahulu masalah seperti ini sudah terselesaikan di jaman kejayaan Islam ketika system Bymaristan
berjalan. Orang yang sakit dirawat sampai sembuh, setelah sembuh diberi
baju baru dan beberapa uang Dirham sebelum dia pulang. Uang ini adalah
untuk pengganti kehilangan penghasilan dia selama dirawat di rumah
sakit, dan kehilangan penghasilan untuk beberapa hari kedepan sebelum
dia bisa pulih sepenuhnya dan bisa bekerja kembali. Canggih bukan ?
Masyalahnya
adalah dananya dari mana ? dahulu dana-dana pengelolaan kesehatan
semacam ini berasal dari baitul mal dan juga wakaf. Karena baitul mal
yang mengurusi masyarakat seperti dalam hal kebutuhan biaya kesehatan
seperti ini negeri ini belum punya, maka cara yang lain yang bisa kita
pakai – itulah yang saya sebut TAWAF yaitu gabungan antara Ta’awun dan
Wakaf.
Perusahaan-perusahaan
asuransi syariah serta jaringan distribusinya mendapatkan upah-nya
(ujroh) yang wajar, tetapi mereka bukan pemilik dana tabarru’ (dana
tolong-menolong) – para peserta secara kumulatiflah pemilik dana
tabarru’ itu. Ketika dana ini berlebih karena rendahnya biaya klaim atau
karena adanya hasil investasi syar’i yang baik, maka kelebihan dana
yang sesungguhnya merupakan hak para peserta tersebut – dapat dari awal
di-aqad-kan untuk wakaf.
Jadi
dalam TAWAF sumber dana wakaf itu ada dua yaitu dari surplus
(underwriting maupun investasi) dan dari wakaf langsung masyarakat. Dana
wakaf inilah yang selanjutnya dikelola oleh nazhir (pengelola) wakaf
yang masing-masing kompeten dibidangnya. Untuk kesehatan ya harus
kompeten dibidang pengelolaan kesehatan, seperti yayasan-yayasan yang
mengelola rumah sakit, klinik dlsb.
Lantas siapa yang akan mengimplementasikan konsep TAWAF ini ? karena saya sudah tidak lagi bekerja di industri asuransi lebih
dari lima tahun terakhir – maka produk generik TAWAF ini bisa
dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi syariah yang tertarik.
Baik itu asuransi syariah yang berlisensi jiwa ataupun umum – keduanya
secara legal – boleh mengeluarkan produk kesehatan semacam ini.
Yang sudah kami rancang bukan hanya produknya, tetapi juga saluran distribusinya yang saya sebut CDC – Common Distribution Channel – seperti yang sudah kami luncurkan sebelumnya yaitu www.lastfeet.com.
Bayangkan perusahaan asuransi syariah yang bergabung, tinggal jalan
semuanya sudah siap – mereka hanya perlu mengurus perijinan produk baru
ke Depkeu/OJK – tetapi seharusnya ini tidak lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar