Oleh: Muhaimin Iqbal
Konon Islam masuk ke pulau Jawa dan menyebar dengan sangat pesat melalui dakwah para wali. Meskipun sejarahnya banyak yang kemudian dibumbui dengan berbagai dongeng, harus diakui bahwa memang orang-orang sekelas wali-lah yang bisa meng-Islamkan orang begitu banyak sehingga pulau yang dahulu didominasi oleh perbagai agama nenek moyang itu – kini Alhamdulillah mayoritas penduduknya Islam. Tetapi siapakah wali itu ? Sudah berakhirkah tugas mereka ?
Inilah
yang menarik dan relevan untuk saat ini. Bila wali dipahami hanya
sembilan (wali songo) seperti yang selama ini kita kenal, maka tugas itu
seolah telah selesai. Setelah mayoritas penduduk pulau Jawa dan juga
negeri ini beragama Islam, maka itupun dianggap cukup – bahkan kemudian
juga ada kecenderungan menurun (kembali) dalam sisi prosentase penduduk
muslim terhadap keseluruhan penduduk negeri ini.
Padahal
Allah sendiri memberi batasan kewalian seseorang itu dengan begitu
jelas, sifatnya terbuka dan bisa siapa saja yang memenuhi kriterianya. “Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS 10 : 62-63).
Kemudian Allah-pun memberi jalan bagi siapa saja yang ingin mencapai derajat para wali-Nya melalui hadits Qudsi : Dari Abu Hurairah RadhiyAllahu ‘Anhu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :"Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman: "Barangsiapa
yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya.
HambaKu tidak mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku
sukai dari pada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan sunnat-sunnat sampai Aku mencintainya.
Apabila Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya untuk
mendengar, menjadi penglihatannya untuk melihat, menjadi tangannya
untuk memukul dan menjadi kakinya untuk berjalan. Jika ia memohon
kepadaKu, pasti Aku benar-benar memberinya. Jika ia memohon perlindungan
kepadaKu, pasti Aku benar-benar melindunginya". (HR Bukhari)
Jadi
kriteria wali itu jelas yaitu iman dan takwa, jalannya jelas yaitu
selalu melaksanakan yang wajib dan melaksanakan pula yang sunnah.
Indikatornya juga jelas, dia tidak kawatir (takut) maupun bersedih hati.
Bagi
mereka kabar gembira untuk kehidupannya di dunia maupun di akhirat (QS
10:64), dan mereka tentu juga bukan sembarang orang – mereka adalah
orang-orang yang sangat tinggi derajatnya karena dapat mendengar dengan
telinga Allah, melihat dengan mata Allah, berbuat dengan tangan Allah
dan berjalan-pun dengan kaki Allah. Mereka adalah orang-orang yang
dikabulkan do’anya dan senantiasa dilindungi olehNya.
Orang-orang
yang melihat dengan mata Allah, dia bisa melihat sesuatu yang tidak
dilihat orang lain, dia bisa berfikir yang tidak terpikirkan oleh orang
kebanyakan (think the unthinkable), dia bisa berbuat melampaui
kompetensinya. Nabi Nuh bukanlah ahli kapal, tetapi dia bisa membuat
kapal yang sempurna dan menyelamatkan umatnya dari musibah yang sangat
besar. Dia bisa melakukan ini karena dia melihat dengan mata (supervisi)
Allah “bi a’yuninaa wa wahyinaa” (QS 11:37 dan QS 23:27).
Meskipun
tidak ada yang menyebut wali sekalipun, orang seperti Muhammad Al-Fatih
yang bisa menaklukkan konstantinopel dengan cara-cara yang tidak
terpikirkan oleh para pemimpin pasukan sebelumnya – mestinya dia juga
sangat memenuhi kriteria para wali Allah kalau kita pelajari riwayat
hidupnya yang tidak pernah meninggalkan yang wajib, dan selalu
melaksanakan yang sunnah baik itu shalat sunnah rawatib maupun qiyamul
lail – sejak dia baligh !.
Pasti
juga bukan kebetulan, bila negeri seperti negeri kita ini untuk bisa
memperoleh keberkahan dari langit maupun dari bumi – syarat penduduknya
sama dengan persyaratan untuk para wali yaitu iman dan takwa. “Jika
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS 7 : 96)
Dari
ayat tersebut jelas, bahwa keberkahan akan datang dari langit dan dari
bumi bila penduduk negeri ini beriman dan bertakwa – atau dengan kata
lain bila para penduduk negeri ini pada menjadi wali Allah sebagaimana
kriteria di QS 10:63 di atas.
Jadi bila belum turun keberkahan dari langit dan dari bumi di negeri ini, ya wajar saja lha wong
kita-kita penduduknya juga pada belum menjadi para wali. Ini sama
dengan ketika seorang santri mengeluhkan kesusahan dan kesedihan kepada
kyainya, jawab sang kyai : “Susah, sedih, takut itu wajar karena kamu belum menjadi wali”. Kemudia Pak Kyai membacakan tiga ayat di Surat Yunus : 62-64 di atas.
Menjadi
wali adalah suatu proses, secara pribadi kita tidak bisa tahu sampai di
sana atau tidak karena hanya Allah-lah yang tahu keimanan dan ketakwaan
kita itu. Tetapi ibarat suatu perjalanan panjang, tujuannya jelas ,
petunjuk jalannya jelas demikian pula milestones (batu tanda jarak) yang menjadi tanda-tanda pencapaian – pun juga jelas.
Lantas
mengapa bukan jalan itu yang kita tempuh untuk menghadirkan keberkahan
dari langit dan dari bumi untuk negeri ini ? bukan jalan itu untuk
menghilangkan kekhawatiran dan kesedihan kita ? bukan jalan itu untuk
memperoleh kabar gembira di dunia maupun akhirat ? Pilihannya ada pada
diri kita semua InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar