Oleh: Muhaimin Iqbal
Dua kali dalam sepekan ini saya bisa merasakan langsung apa yang diderita saudara-saudara kita di Riau dan sekitarnya – yaitu rasa ‘ditundukkan’ oleh asap. Pertama adalah ketika gagal terbang dari Pekanbaru ke Jakarta, sehingga harus menempuh jalan darat untuk bisa terbang dari Padang ke Jakarta. Kedua adalah kemarin ketika sebuah seminar di Universitas Andalas terpaksa dibatalkan, karena pesawat yang seharusnya membawa saya dengan moderatornya – tidak bisa terbang juga karena asap. Mengapa manusia yang sesungguhnya diberi kemampuan untuk menundukkan bumi dan langit, malah tunduk dengan ‘asap’ dan sejenisnya ini ?
Kata
tunduk saya gunakan untuk menggambarkan suasana dimana kita tidak punya
pilihan lain, kita tidak berdaya kecuali menerimanya. Masyarakat Riau
dan sekitarnya merasakan ketidak berdayaan dalam menghadapi asap itu,
sama dengan ketidak berdayaan rakyat Jakarta menghadapi banjir.
Bukan hanya ditundukkan oleh banjir, rakyat Jakarta juga ditundukkan oleh kemacetan lalu lintasnya. Bayangkan
suasana batin Anda ketika tempat tinggal Anda terkena banjir
berhari-hari dan selalu berulang setiap kali musim hujan tiba. Bayangkan
ketika Anda terjebak di kemacetan lalu lintas berjam-jam setiap hari hanya untuk pergi dan pulang dari kantor.
Rasa
tidak berdaya, nurut dengan keadaan yang harus dihadapi – itulah rasa
tunduk yang kita alami semua ketika harus berhadapan dengan asap,
kemacetan, banjir, maupun korupsi dari yang kecil sampai yang besar.
Korupsi yang kecil adalah ketika kita harus menyuap untuk berbagai
urusan, yang besar adalah kasus-kasus yang melibatkan petinggi institusi
maupun partai.
Kasus
korupsi saya rangkai dalam bahasan ketundukkan ini, karena
penanganannya di negeri ini yang sudah mulai menampakkan arah yang
memberi harapan.
Menariknya adalah Alah menggunakan kata menundukkan atau sakhara, ketika misalnya menundukkan hewan tunggangan terhadap majikannya. “…Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepadamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS 22 : 36).
Allah juga menggunakan kata sakhara yang sama untuk menggambarkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk kepentingan kita semua : “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (QS 31:20)
Kemudian juga digunakan untuk menundukkan laut untuk kita (QS 16 : 14), menundukkan malam dan siang, dan bahkan bumi dan bulan untuk kita semua (QS 14:33 dan QS 16:12).
Artinya
bumi seisinya dan bahkan juga langit, telah ditundukkan Allah untuk
kita semua – lantas mengapa kita tidak berdaya menghadapi musibah asap,
banjir, kemacetan dlsb ?
Salah
satu penyebabnya adalah kita tidak bersungguh-sungguh dalam upaya kita
untuk menempuh jalanNya itu. Bila kita bersungguh-sungguh menempuh
jalanNya – pasti Allah memberikan solusinya.
“Dan
orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS 29 : 69)
Kita bisa lihat buktinya, bahwa ketika ada sekelompok orang -
KPK, yang bersungguh-sungguh ingin mengatasi masalah korupsi di negeri
ini – yang telah menahun menundukkan masyarakat dalam ketidak
berdayaannya – mulai nampak hasilnya. Korupsi yang kakap yang melibatkan
petinggi partai berkuasa maupun institusi terhormat sekalipun, dibabat
habis oleh komisi yang satu ini.
Sayangnya
kesungguhan yang sudah mulai memberikan harapan hasil ini, kini
terganggu oleh kepentingan-kepentingan kuat di negeri ini yang tidak
menghendaki korupsi dibabat habis – terutama ketika kepentingan mereka
terganggu.
Namun
komisi semacam KPK, yang bersungguh-sungguh mengatasi masing-masing
masalah seperti banjir, asap, kemacetan dlsb. barangkali bisa menjadi
solusi dalam menghadapi ketundukan-ketundukan kita pada berbagai masalah
tersebut di atas.
Mengapa perlu komisi semacam ini ?, lha
karena institusi yang ada selama ini sudah nampak tidak berdaya
mengatasi masalah-masalah seperti asap, banjir, kemacetan dan
sejenisnya.
Bumi
seisinya dan bahkan langit yang sesungguhnya telah ditundukkan untuk
kepentingan manusia, tetapi kerena ketidak sungguhannya – manusia seolah
tidak berdaya mengelolanya untuk mengambil manfaat darinya, sebaliknya
malah menjadi musibah baginya.
Sebagai
contoh supply air bersih – berupa air hujan, yang disediakan cukup di
bulan Oktober sampai Maret, mestinya tinggal mengelolanya untuk
kebutuhan sepanjang tahun termasuk ketika mengatasi musim kering. Eh
malah air bersih ini dibuang ke laut begitu saja menjadi bercampur
dengan air asin yang tidak bisa diminum, dalam perjalanan ke laut-pun
membawa musibah bagi daerah-daerah yang harus dilaluinya.
Apakah
kita tidak memiliki ilmu untuk mengelolanya ? Ilmu insyaAllah cukup,
hanya tidak ada kesungguhan untuk menggunakan ilmu itu dalam mengatasi
masalah banjir ini.
Dengan
bumi seisinya yang ditundukkan Allah untuk kepentingan kita ini, bukan
hanya kita harus bisa menunddukkan masalah-masalah besar yang dihadapi
negeri ini – tetapi kita juga harus bisa mengeksplorasi peluang-peluang
besarnya.
Laut
yang telah ditundukkan Allah untuk kita misalnya, mestinya menjadi
karunia besar bagi kita karena dari 5.18 juta kilometer persegi wilayah
negeri ini, 63 %-nya adalah laut.
Tetapi
sama dengan ketika kita melihat hujan sebagai musibah padahal
seharusnya berkah, laut-pun dipandang demikian. “laut yang memisahkan
kita” adalah ungkapan yang keliru karena mestinya “laut yang
menghubungkan kita”.
Transportasi
yang paling efisien adalah transportasi laut. Di laut kita tidak perlu
membuat jembatan, tidak perlu mendaki bukit kemudian turun lagi, tidak
perlu membangun rel dan tidak perlu membangun terowongan bawah tanah
yang sangat mahal seperti yang sekarang sedang dibangun pemerintah DKI.
Tidak perlu disubsidi, tidak perlu di-encouraged – transportasi laut by nature-nya
sudah berupa transportasi massal. Bayangkan kalau Jakarta adalah sebuah
pulau yang terpisah dari Depok, Bekasi, Tangerang dan Banten – maka
transportasi satu-satunya ke Jakarta adalah menggunakan transportasi
massal berupa ferry, tidak perlu berjubel orang-orang sekitar Jakarta
setiap pagi memadati kota dengan mobil-mobil besar yang ditumpangi oleh
satu atau dua orang saja.
Maka
sesunggunya kita beruntung memiliki negeri dengan belasan ribu pulau
yang saling berdekatan, penghubung antar pulau berupa laut tersebut akan
membuat ekonomi negeri ini berjalan sangat efektif dan efisien
sebenarnya karena distribusi barang menggunakan ‘transportasi massal’
yang nyaris tidak memerlukan infrastruktur seperti jalan, jembatan,
terowongan dan sejenisnya.
Penggunaan bahan bakarnya juga sangat efisien karena kendaraan yang berjalan ‘berlayar’ di lautan selain tidak naik turun juga tidak mengalami gesekan yang besar seperti bila kendaraan jalan di darat.
Bayangkan
dampaknya bila kita mulai merubah visi ‘laut sebagai pemisah’ menjadi
‘laut sebagi penghubung’ saja, pertumbuhan ekonomi akan merata ke
seluruh pulau-pulau yang belasan ribu jumlahnya tersebut. Penduduk akan
menyebar mengikuti penyebaran pertumbuhan ekonomi. Jakarta akan menjadi
lengang seperti lengangnya musim lebaran, Jawa akan bisa moratorium
pembangunan industri sehingga bisa fokus untuk penanaman bahan pangan
seperti padi dlsb.
Bangsa
ini akan bisa menjadi bangsa yang besar bila kita bisa menundukkan
segala permasalahan yang kita hadapi, dan ini mestinya tidak akan
susah-susah amat karena semuanya sudah ditundukkan olehNya untuk kita.
Yang kita perlukan sekarang tinggal (kembali) secara sungguh-sungguh
mengikuti jalanNya. Insyaallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar