Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika Abdurrahman bin ‘Auf ditawari modal oleh saudaranya Sa’ad bin A-Rabi’ al-Anshari dengan separuh hartanya, dia menolaknya dengan baik - dan hanya minta ditunjukinya pasar. Ada pelajaran penting dari kisah ini bagi yang ingin mendalami atau terjun di dunia usaha. Bahwa pengetahuan tentang pasar dan penguasaannya, ternyata lebih utama ketimbang ketersediaan modal. Tidak adanya modal tidak menjadi hambatan bagi yang mau berusaha, tetapi tidak adanya pengetahuan tentang pasar bisa fatal akibatnya.
Mindset yang mengutamakan modal sebagai seolah-olah menjadi prasyarat utama
untuk berusaha dan prasyarat untuk pertumbuhan ekonomi, telah membuat
negeri ini minim pengusaha dan kebijakan ekonominya tidak tentu arahnya.
Di
tataran individu, paradigm yang menganggap pentingnya modal tersebut
telah membuat mayoritas orang sibuk mengumpulkan modal dahulu sebelum
benar-benar terjun ke dunia usaha. Kemudian ketika tidak jadi terjun,
dia beralasan karena tidak adanya modal.
Di
tataran kebijakan ekonomi, betapa banyak effort pihak yang terkait
untuk mengurusi bank, nilai tukar Rupiah, pasar modal dlsb. tetapi pada
saat yang bersamaan berapa banyak masalah pasar sektor riil mendapatkan
perhatian ?
Bahkan
kinerja pemerintah, hasil PEMILU dlsb. seolah hanya diukur dari naik
turunnya harga saham di pasar modal – bukan naik turunnya harga
kebutuhan pokok masyarakat dan ketersediaan supply-nya di pasar yang sesungguhnya.
Rangkaian
pesta demokrasi masih akan panjang, bahkan setelah pemerintahan yang
baru terbentuk-pun saya tidak yakin mereka akan menaruh perhatian besar
pada pasar untuk kita-kita, maka mindset untuk menguasai pasar kita sendiri itulah yang harus bisa kita bangun.
Pasar
itu seperti lokomotif yang minimal akan menarik dua gerbong sekaligus.
Gerbong pertama adalah gerbong produksi, karena setelah adanya pasar
orang bisa memproduksi apa saja yang dibutuhkan pasar. Gerbong kedua
adalah modal, dengan adanya pasar yang jelas orang akan tertarik menaruh
modal untuk pengembangan pasar dan modal untuk memproduksi
barang-barang yang dibutuhkan di pasar.
Pasar
juga tidak harus berupa pasar fisik yang dibatasi ruang dan waktu –
beroperasi di lokasi tertentu dan waktu tertentu. Pasar bisa berupa virtual marketplace yang
tidak berbatas ruang dan waktu, dia bisa ada di mana saja dan
beroperasi kapan saja. Teknologi kini telah memungkinkan penjual dan
pembeli bisa bertransaksi dimana saja dan kapan saja.
Baik
pasar fisik maupun pasar virtual tetap harus dikuasai, bila kita ingin
berperan dalam ekonomi di jaman ini. Tetapi bagaimana cara kita
membangun pengetahuan dan kemudian menguasai pasar ini, bila kita belum
memiliki modal ?
Sekali
lagi perhatikan kisah Abdurrahman bi ‘Auf tersebut, mengapa dia hanya
minta ditunjuki pasar ? mengapa dia tidak terima tawaran modal
saudaranya ? ya karena pengetahuan dan kemudian penguasaan pasar inipun
cukup untuk menggerakkan produksi dan mengalirkan modal.
Pengetahuan
dan penguasaan pasar adalah tameng bagi kekuatan ekonomi baik skala
negara maupun skala usaha individu. Pengetahun dan penguasaan pasar ini
setidaknya terdiri dari tujun elemen sebagai berikut :
Pertama
tentu saja adalah pengetahuan tentang pasar itu sendiri, siapa-siapa
‘pedagang’ pemainnya, siapa-siapa pembelinya, barang apa yang ada dan
diperdagangkan, barang apa yang tidak ada tetapi dibutuhkan, peraturan
atau norma apa yang berlaku di pasar dlsb.
Kedua adalah tentang distribution channel – saluran distribusi, yaitu siapa-siapa yang bisa membawa produk kita sampai ke pasar. Bisakah
kita sendiri atau pegawai kita yang membawakannya ?, atau harus
orang/pihak lain dengan profesi dan ijin tertentu ? Kalau bisa keduanya,
mana yang lebih efektif ? dst.
Ketiga adalah customer relationship,
adalah bagaimana kita mengelola hubungan dengan para pembeli produk
kita. Siapa-siapa mereka ? akankah mereka membeli kembali produk kita ?
bagaimana kita bisa terus menjalin komunikasi dengan mereka dst.
Keempat adalah value proposition,
yaitu ditengah pasar yang bisa jadi sangat banyak produk sejenis – apa
kelebihan produk atau dagangan kita ? mengapa orang membeli produk kita
bukan produk orang lain ? Akankah orang mencari produk kita atau sekedar
membeli karena kebetulan kelihatan di depan mata mereka ? dst.
Kelima adalah
aset-aset kita, yaitu apa saja yang diperlukan untuk kita bisa memiliki
produk atau dagangan yang uniqe di poin keempat. Aset ini bisa mulai
dari diri kita sendiri, pabrik
atau unit produksi, team riset dlsb. Bila yang Anda miliki hanya diri
Anda sendiri sekalipun, jangan kawatir – bayangkan saja diri Anda adalah
Abdurrahman bin ‘Auf di hari pertamanya masuk pasar. Punya keahlian apa
kira-kira dia ?
Keenam adalah aktifitas atau hal-hal yang kita lakukan untuk bisa menguasai pasar. Yang ini juga jangan dibayangkan yang njlimet-njlimet
bila Anda pemain baru, lagi-lagi bayangkan diri Anda Abdurrahman bi
‘Auf di hari pertamanya di pasar, apa yang kira-kira dia lakukan ?
Bicara dengan para penjual yang ada, apa yang sekiranya bisa dibantu
jualkan ? Demikian pula dengan orang yang lalu lalang di pasar, bicara
dengan sopan ke mereka apa-apa kebutuhan mereka yang sekiranya bisa
dibantu untuk mencarikan ? dst.
Ketujuh
adalah kekuatan hubungan kita dengan mitra-mitra dan pihak-pihak diluar
diri atau institusi kita. Tidak semua hal harus kita lakukan sendiri,
hal-hal terbaik umumnya dilakukan/diproduksi oleh para ahlinya. Maka
kita-pun harus tahu who’s who
–nya pasar yang kita tuju. Bila mereka terlalu kuat untuk dilawan,
mengapa tidak menjadikan mereka partner saja – sejauh tidak bertentangan
dalam nilai-nilai yang akan kita kembangkan sendiri di pasar.
Karena
pentingnya penguasaan pasar inipula maka yang termasuk dibangun
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di awal pembanguan ekonomi
masyarakat Madinah adalah pasar, bukan lembaga permodalan – karena yang
terakhir ini mestinya hanya penunjang saja dari apa yang terjadi di
pasar.
Jadi kuasailah pasar, modal akan mengikuti. InsyaAllah !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar