Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika seluruh elemen masyarakat negeri ini disibukkan oleh pesta demokrasi beberapa bulan terakhir dan masih akan berlangsung hingga setidaknya tiga bulan kedepan, lolos dari perhatian kita tentang adanya masalah serius yang seharusnya lebih utama untuk menjadi fokus seluruh pihak yang berkompeten. Masalah tersebut adalah darurat pangan, yang diindikasikan dengan impor pangan yang melonjak akhir-akhir ini.
Kwartal I tahun 2014 ini saja, kita mengimpor 4.69
juta ton bahan pangan dengan nilai US$ 2.36 miyar atau sekitar Rp 27
trilyun. Terbesarnya untuk biji gandum (US$ 519.55 juta), gula tebu (US$
397.53), kedelai (US$ 303.32 juta) dan susu (US$ 231.1 juta).
Kita
juga impor bahan-bahan pangan yang tidak terlalu penting dengan jumlah
impor yang menakjubkan. Misalnya kita impor tembakau (US$ 135.29 juta)
dengan nilai yang bahkan lebih besar dari nilai impor jagung (US$ 133.36
juta).
Kita
impor berbagai jenis cabe mulai dari yang kering tumbuk (US$ 6.03
juta), cabe awet sementara (US$ 1.2 juta) dan cabe segar dingin. Kita
bahkan masih juga impor beras, garam, minyak goreng, bawang putih,
kelapa, kentang, teh, kopi sampai ubi jalar !
Indonesia negeri katulistiwa, salah satu negeri yang paling kaya dari sisi biodiversity-nya. Sedangkan kekayaan biodiversity adalah modal utama untuk apa yang disebut ecosystem services – yaitu produk barang dan jasa yang tersedia di alam kita – yang kita perlukan agar kehidupan ini berkelanjutan.
Ecosystem services
ini terdiri dari penyediaan pangan, air, naungan/rumah, pakaian,
obat-obatan, perputaran iklim, kesuburan tanah, pengolahan limbah/polusi
dlsb.
Bukan hanya itu, konsentrasi kekayaan biodiversity
yang sangat tinggi di negeri kita – negeri katulistiwa ini, seharusnya
menjadi tanggung jawab dan amanah besar bagi kita untuk menjaganya.
Bukan untuk kepentingan kita saat ini saja, tetapi juga kepentingan
seluruh penduduk bumi hingga akhir jaman.
Pertanyaannya
adalah mengapa setelah 69 tahun merdeka yang terjadi justru sebaliknya ?
negeri ini terjebak dalam darurat pangan yang mengimpor apa saja yang
kita butuhkan ? ya karena selama ini kita tidak berperan positif dalam
menjaga ecosystem ini. Karena kita tidak menjaganya, malah yang terjadi justru sebaliknya – maka tidak banyak juga services yang bisa kita harapkan dari ecosystem yang rusak.
Lantas bagaimana kita bisa mengembalikan ecosystem ini agar dia bisa memberikan services-nya
secara maksimal ? Usia manusia yang terlalu pendek dan ilmunya yang
terlalu sempit – membuatnya sangat berisiko bila dia bereskperimen di
alam tanpa menggunakan petunjukNya. Para expert memperhitungkan bahwa
kecepatan kepunahan species di alam justru lebih dari 1,000 kali lebih
cepat sejak manusia mengesploitasi alam dengan caranya sendiri.
Padahal
di antara jutaan spesies di alam ini, manusia-lah yang diberi amanah
sebagai wakil Allah di muka bumi untuk memakmurkannya. Dan untuk ini
manusia dibekali dengan petunjukNya yang sangat detil untuk segala hal
yang diperlukannya. Ecosystem services
yang sempurna – yang berarti ketersediaan sumber-sumber pangan, obat,
air, udara bersih sampai papan dan sandang – hanya bisa dijaga
kelangsungannya bila manusia ini menggunakan petunjukNya.
Konkritnya
seperti apa ? salah satunya ya yang menjadi tema sentral tulisan di
situs ini dalam beberapa bulan terakhir dan sudah dibukukan menjadi dua
buku yaitu – Kebun Al-Qur’an dan The Mindset.
Ilmu-ilmu
baru insyaallah masih akan terus digali tiada hentinya dari sumber
segala sumber ilmu yang hak – yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, hanya dari
sanalah jawaban untuk segala persoalan kehidupan manusia itu tersedia.
Sebelum darurat pangan ini menjadi darurat kehidupan, kita perlu
mengembalikan ecosystem di alam – agar layanannya berupa ecosystem services dapat terus kita nikmati sampai anak-cucu kita hingga akhir jaman. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar