Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika mendengar pengajian dari guru saya yang mengingatkan bahwa ‘… hari esuk senantiasa lebih buruk bagi orang yang terlibat dengan riba…’, saya tidak langsung bisa melihat buktinya di lapangan. Sampai saya membaca detil laporan resmi Nota Keuangan Dan Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2014 - atau yang lebih dikenal dengan APBN-P 2014. Di situ nampak jelas visualisasi angka-angka yang menunjukkan hari esuk yang lebih buruk itu ! Bisakah ini diubah ?
Dalam
lima tahun terakhir beban bunga itu mengalami pertumbuhan rata-rata 8
%, yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi kita yang rata-ratanya
hanya 6 %. Ingat bahwa uang sebesar Rp 136 trilyun dan mengalami
pertumbuhan rata-rata 8 % ini baru untuk membayar bunga saja ! lha terus pokok pinjamannya seperti apa ? akan dibayar dengan apa ?
Dalam
konteks negeri ribawi, nampaknya tidak ada konsep untuk membayar pokok
hutang yang jelas. Hutang bisa terus menggelembung asal masih bisa
membayar bunganya – mungkin begitu pemikirannya. Hal ini juga nampak
dari pembiayaan negara kita untuk tahun 2014 yang saya baca dari laporan
resmi tersebut di atas.
Ketika kita ngos-ngosan
sekedar untuk membayar bunga pinjaman yang nilainya mencapai Rp 136
trilyun tersebut, pada saat yang bersamaan kita meminjam lagi dengan
jumlahnya yang hampir 2 kali lipat. Tahun 2014 ini kita akan meminjam
sebesar Rp 263 trilyun lagi untuk membiaya belanja negara kita.
Lantas to be realistic,
apakah bisa negeri ini membayar pokok hutangnya dan kemudian
menghindarkan pembiayaan ribawi untuk belanja negaranya ? ingat bahwa
pinjaman ribawi itu mengalir sampai jauh, sampai gaji-gaji pegawai dan
pejabat dari pusat sampai daerah, dari eksekutif, judikatif sampai
legislatif – semuanya bercampur baur dengan riba.
Jadi
riba memang harus dihentikan bila kita ingin hari esuk yang lebih baik,
tetapi bagaimana caranya ? dari mana sumber-sumber dana untuk membiaya
belanja negeri ini ?
Negeri
ini memang bukan atau belum menjadi negara Islam, tetapi tidak ada
salahnya belajar dari negeri Islam – khususnya di awal pemerintahan
Islam terbentuk di Madinah yang kemudian dilanjutkan pada era-era
sesudahnya. Ada sejumlah sumber pendanaan yang sangat besar untuk
memakmurkan rakyat tanpa melibatkan hutang dan tanpa bersandar
berlebihan pada pajak – yang buntutnya menjadi beban rakyat juga.
Mari kita teliti satu per satu beberapa sumber pendapatan atau pembiayaan negeri Islam yang penting
– yang sekiranya cocok untuk mengatasi problem pendapatan kita saat ini
– yaitu problem pendapatan yang tidak cukup untuk membiayai belanja.
Pertama adalah ghonimah
atau pendapatan dari perang. Dasarnya adalah surat Al-Anfaal 41 dimana
secara spesifik menyebutkan 1/5 dari ghanimah adalah untuk Allah dan
RasulNya. Di jaman ini berarti ini untuk negara yang bisa
dipakai untuk menutupi berbagai keperluannya. Tetapi karena negeri ini
tidak sedang berperang dengan negeri lain, maka pendapatan dari ghanimah ini tidak ada untuk saat ini.
Kedua adalah fai’ yaitu
pendapatan dari penaklukan negeri lain tanpa melalui peperangan,
dasarnya adalah surat Al-Hasr ayat 6 dan 7. Seluruhnya adalah untuk
Allah dan RasulNya, keluarga Rasul, anak yatim, orang miskin dan orang
dalam perjalanan. Berarti ini juga untuk negara yang bisa dipakai untuk
membiayai kebutuhan-kebutuhannya terutama untuk mensejahterakan rakyat.
Tetapi lagi-lagi, kita tidak sedang menaklukkan negeri lain tanpa
peperangan – jadi untuk saat ini pendapatan dari fai’ ini juga tidak ada.
Ketiga adalah kharaj,
yaitu pajak atau tepatnya sewa atas tanah-tanah yang dikuasai oleh kaum
muslimin – melalui perang ataupun tidak – tetapi tanah tersebut tetap
digarap oleh non-muslim. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wasalllam atas tanah-tanah Fadak, Khaibar
dan eks tanah Banu Nadhir. Pendapatan kharaj dari tanah-tanah tersebut dipakai untuk membiayai perang, menyantuni fakir miskin, orang dalam perjalanan dlsb.
Hal
yang sama dilakukan ketika di jaman Khalifah Umar bin Khattab banyak
melakukan penaklukan demi penaklukan. Tanah-tanah Iraq, Syria, Mesir
dlsb. yang ditaklukkannya – tidak kemudian dibagi sebagai pendapatan ghanimah. Tanah-tanah tersebut menjadi milik pemerintahan kaum muslimin dan tetap digarap pemiliknya semula, tetapi mereka membayar kharaj ke pemerintahan Islam.
Kita memang bukan negeri Islam dan tidak memiliki tanah kharajiyah
ini, tetapi negeri ini punya banyak lahan yang tidak atau kurang
produktif – atau menggunakan istilah Al-Qur’an adalah tanah yang mati.
Tanah-tanah seperti ini ini tetap milik negara dan sebenarnya bisa
disewakan saja ke siapa saja yang bisa memakmurkannya – pendapatan sewa
inilah yang bisa mengambil dari inspirasi kharaj dari negeri muslim di masa lampau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar