Agar Hari Esuk Tidak Lebih Buruk…

Senin, 23 Juni 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika mendengar pengajian dari guru saya yang mengingatkan bahwa ‘… hari esuk senantiasa lebih buruk bagi orang yang terlibat dengan riba…’, saya tidak langsung bisa melihat buktinya di lapangan. Sampai saya membaca detil laporan resmi Nota Keuangan Dan Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran  2014  - atau yang lebih dikenal dengan APBN-P 2014. Di situ nampak jelas visualisasi angka-angka yang menunjukkan hari esuk yang lebih buruk itu ! Bisakah ini diubah ?


Trend Beban Biaya Bunga RI
Sebagian indikator yang menunjukkan trend hari esuk yang lebih buruk itu dapat dilihat dari membengkaknya data pembayaran bunga dari hutang kita. Beban bunga saja bagi negeri ini yang harus dibayar tahun lalu baru senilai Rp 113 trilyun, tahun ini membengkak menjadi Rp 136 trilyun atau naik sekitar 20 %.

Dalam lima tahun terakhir beban bunga itu mengalami pertumbuhan rata-rata 8 %, yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi kita yang rata-ratanya hanya 6 %. Ingat bahwa uang sebesar Rp 136 trilyun dan mengalami pertumbuhan rata-rata 8 % ini baru untuk membayar bunga saja ! lha terus pokok pinjamannya seperti apa ? akan dibayar dengan apa ?

Dalam konteks negeri ribawi, nampaknya tidak ada konsep untuk membayar pokok hutang yang jelas. Hutang bisa terus menggelembung asal masih bisa membayar bunganya – mungkin begitu pemikirannya. Hal ini juga nampak dari pembiayaan negara kita untuk tahun 2014 yang saya baca dari laporan resmi tersebut di atas.

Ketika kita ngos-ngosan sekedar untuk membayar bunga pinjaman yang nilainya mencapai Rp 136 trilyun tersebut, pada saat yang bersamaan kita meminjam lagi dengan jumlahnya yang hampir 2 kali lipat. Tahun 2014 ini kita akan meminjam sebesar Rp 263 trilyun lagi untuk membiaya belanja negara kita.

Beban Bunga Yang Melampaui Pertumbuhan
Itulah mengapa melalui berbagai tulisan saya di situs ini, saya ‘teriak-teriak’ agar umat Islam menggunakan kekuatannya untuk ‘menekan’ agar siapapun yang terpilih nanti – atau siapapun yang didukungnya dalam pilpres kali ini – setidaknya mereka harus punya rencana untuk menghentikan riba ini, agar hari esuk kita tidak semakin buruk.

Lantas to be realistic, apakah bisa negeri ini membayar pokok hutangnya dan kemudian menghindarkan pembiayaan ribawi untuk belanja negaranya ? ingat bahwa pinjaman ribawi itu mengalir sampai jauh, sampai gaji-gaji pegawai dan pejabat dari pusat sampai daerah, dari eksekutif, judikatif sampai legislatif – semuanya bercampur baur dengan riba.

Jadi riba memang harus dihentikan bila kita ingin hari esuk yang lebih baik, tetapi bagaimana caranya ? dari mana sumber-sumber dana untuk membiaya belanja negeri ini ?

Negeri ini memang bukan atau belum menjadi negara Islam, tetapi tidak ada salahnya belajar dari negeri Islam – khususnya di awal pemerintahan Islam terbentuk di Madinah yang kemudian dilanjutkan pada era-era sesudahnya. Ada sejumlah sumber pendanaan yang sangat besar untuk memakmurkan rakyat tanpa melibatkan hutang dan tanpa bersandar berlebihan pada pajak – yang buntutnya menjadi beban rakyat juga.

Mari kita teliti satu per satu beberapa sumber pendapatan atau pembiayaan negeri Islam yang  penting – yang sekiranya cocok untuk mengatasi problem pendapatan kita saat ini – yaitu problem pendapatan yang tidak cukup untuk membiayai belanja.

Pertama adalah ghonimah atau pendapatan dari perang. Dasarnya adalah surat Al-Anfaal 41 dimana secara spesifik menyebutkan 1/5 dari ghanimah adalah untuk Allah dan RasulNya. Di jaman ini berarti ini untuk negara yang  bisa dipakai untuk menutupi berbagai keperluannya. Tetapi karena negeri ini tidak sedang berperang dengan negeri lain, maka pendapatan dari ghanimah ini tidak ada untuk saat ini.

Kedua adalah fai’  yaitu pendapatan dari penaklukan negeri lain tanpa melalui peperangan, dasarnya adalah surat Al-Hasr ayat 6 dan 7. Seluruhnya adalah untuk Allah dan RasulNya, keluarga Rasul, anak yatim, orang miskin dan orang dalam perjalanan. Berarti ini juga untuk negara yang bisa dipakai untuk membiayai kebutuhan-kebutuhannya terutama untuk mensejahterakan rakyat. Tetapi lagi-lagi, kita tidak sedang menaklukkan negeri lain tanpa peperangan – jadi untuk saat ini pendapatan dari fai’ ini juga tidak ada.

Ketiga adalah kharaj, yaitu pajak atau tepatnya sewa atas tanah-tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin – melalui perang ataupun tidak – tetapi tanah tersebut tetap digarap oleh non-muslim. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wasalllam atas tanah-tanah Fadak, Khaibar dan eks tanah Banu Nadhir. Pendapatan kharaj dari tanah-tanah tersebut dipakai untuk membiayai perang, menyantuni fakir miskin, orang dalam perjalanan dlsb.

Hal yang sama dilakukan ketika di jaman Khalifah Umar bin Khattab banyak melakukan penaklukan demi penaklukan. Tanah-tanah Iraq, Syria, Mesir dlsb. yang ditaklukkannya – tidak kemudian dibagi sebagai pendapatan ghanimah. Tanah-tanah tersebut menjadi milik pemerintahan kaum muslimin dan  tetap digarap pemiliknya semula,  tetapi mereka membayar kharaj ke pemerintahan Islam.

Kita memang bukan negeri Islam dan tidak memiliki tanah kharajiyah ini, tetapi negeri ini punya banyak lahan yang tidak atau kurang produktif – atau menggunakan istilah Al-Qur’an adalah tanah yang mati. Tanah-tanah seperti ini ini tetap milik negara dan sebenarnya bisa disewakan saja ke siapa saja yang bisa memakmurkannya – pendapatan sewa inilah yang bisa mengambil dari inspirasi kharaj dari negeri muslim di masa lampau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar