Kisah Gaharu dan Ekonomi Syariah Di Thailand

Rabu, 22 Juni 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal
Beberapa hari lalu saya dihubungi oleh teman lama dari dunia financial di Inggris. Yang mengejutkan saya adalah warga Inggris yang non-muslim ini mengontak saya karena sedang menangani project dari perusahaan Hongkong yang beroperasi di Thailand. Projectnya sendiri terkait dengan penanaman pohon gaharu dalam skala besar, yang pendanaannya dilakukan secara global dengan instrumen pembiayaan syariah. Mengapa ini mengusik hati saya ?


Pertama ini adalah pohon gaharu yang mestinya Indonesia-lah yang memiliki keunggulan di bidang ini.  Kedua pembiyaannya dari dunia Islam dengan akad pembiayaan syariah, lagi-lagi mestinya kita di negeri dengan penduduk muslim mayoritas inilah yang lebih dekat kepada dunia Islam lainnya dalam menarik investasi mereka.

Karena saya orang Indonesia dan saya muslim, maka teman dari dunia lama saya di industri financial London tersebut langsung berasumsi saya tahu gaharu dan saya tahu syariah – itulah alasan dia pertama mengontak saya. Lantas mengapa industri raksasa dari hulu sampai hilir parfum berbasis gaharu yang didanai dengan pembiayaan syariah ini adanya di Thailand ?

Indonesia yang (seharusnya) berada di pusat Global Tilt !
Penjelasan yang saya peroleh dari sumber lain adalah dunia sedang mengalami Global Tilt – pergeseran titik berat keseimbangan bisnis dari dahulu fokus pada belahan utara bumi, kini menuju ke lebih selatan bumi. Tetapi batas utara dan selatannya bukan lagi katulistiwa, tetapi garis yang membentang seperti dalam ilustrasi di samping.

Arah-arah investasi petrodollar dari negeri-negeri kaya minyak yang dahulu fokusnya ke Eropa, Amerika dan Jepang – kini mulai memburu bentuk-bentuk investasi ke pusat-pusat perkembangan ekonomi baru sperti China, India, Brasil, Afrika dan seharusnya juga Indonesia.

Lantas mengapa investasi besar di industri hulu sampai hilir di bidang gaharu tersebut larinya tidak ke Indonesia ? yang notabene lebih mudah memahami gaharu dan aspek syariah yang mulai menjadi perhatian para investor dari negeri-negeri petrodollar tersebut ?

Antara lain jawabannya adalah ada di datanya World Bank tentang kemudahan usaha – yang posisi terkininya disebut Doing Business 2014. Berdasarkan ranking kemudahan usahanya, Thailand berada di urutan 18 sedangkan Indonesia berada di urutan 120. Semakin besar nomor urut ini menggambarkan persepsi dunia tentang semakin sulitnya berusaha di negara tersebut.

Dalam era Global Tilt ketika arus dana dari perbagai penjuru negeri-negeri maju di utara menuju potensi-potensi pertumbuhan ekonomi di selatan, yang dibutuhkan adalah ketajaman (incisiveness) dalam melihat peluang, pengambilan keputusan usaha yang tepat dan cepat (business acumen) dan bahkan juga imaginasi tentang sesuatu yang belum ada – belum terbentuk wujudnya – tetapi tanda-tanpa kemunculannya sudah nampak.

Tiga hal tersebut yaitu incisiveness, business acumen dan imagination terganggu atau terhambat untuk melahirkan suatu peluang dan potensi ekonomi yang konkrit manakala – untuk mewujudkannya – berbagai kendala menghadang di lapangan.

Indonesia yang ranking umumnya adalah 120 tersebut, ranking kemudahan untuk memulai usahanya berada pada urutan no 175 dari 189 negara atau masuk dalam urutan no 14 tersulit dari 189 negara !.

Bisa saja kredibilitas ranking semacam ini kita pertanyakan, tetapi masalahnya adalah karena yang mengeluarkan ranking tersebut adalah sekelas International Financial Corporation-nya The World Bank – maka dunia di luar sana cenderung mempercayainya.

Maka inilah tugas pemerintahan baru kita kedepan – siapapun presidennya, dia harus bener-bener bisa memangkas habis jalur-jalur birokrasi perijinan yang menjadikan kita di nomor urut buntut dalam kemudahan memulai usaha di dunia tersebut.

Ini mutlak harus dilakukan sebelum berjuta pohon yang menjadi kekayaan keaneka-ragaman hayati kita – tinggal catatan belaka, industrinya sendiri ada di negeri lain. Hal yang sama juga perlu dilakukan dari sisi syariahnya, bila negeri gajah putih yang sangat sedikit penduduk muslimnya – bahkan mereka cenderung offensive terhadap muslim saja – begitu bicara kepentingan ekonomi, serta merta mereka menerima solusi syariah, mengapa kita yang penduduk muslimnya mayoritas malah seolah belum terlalu peduli pada yang syariah ini ?

Industri pertanian adalah industri dengan nilai tambah yang sangat tinggi. Minyak dari kayu gaharu nilainya di pasar internasional sekarang sekitar US$ 20,000 per liter (Rp 240 juta per liter). Setelah menjadi eude parfume Arab seperti yang saya lihat di Dar al Oud (Rumah Gaharu !), harganya menjadi US$ 135 per 100 cc – padahal untuk membuat 100 cc parfum ini hanya dibutuhkan beberapa tetes minyak gaharu asli.

Tetapi nilai tambah dari ujung ke ujung tersebut memang harus ‘direbut’ dengan kerja cerdas, kerja keras dan kerja ikhlas dari seluruh pelaku ekonomi negeri ini, bukan hanya oleh pemerintahannya saja. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar