Oleh: Muhaimin Iqbal
Beberapa hari lalu saya dihubungi oleh teman lama dari dunia financial di Inggris. Yang mengejutkan saya adalah warga Inggris yang non-muslim ini mengontak saya karena sedang menangani project dari perusahaan Hongkong yang beroperasi di Thailand. Projectnya sendiri terkait dengan penanaman pohon gaharu dalam skala besar, yang pendanaannya dilakukan secara global dengan instrumen pembiayaan syariah. Mengapa ini mengusik hati saya ?
Pertama ini adalah pohon gaharu yang mestinya Indonesia-lah yang memiliki keunggulan di bidang ini. Kedua
pembiyaannya dari dunia Islam dengan akad pembiayaan syariah, lagi-lagi
mestinya kita di negeri dengan penduduk muslim mayoritas inilah yang
lebih dekat kepada dunia Islam lainnya dalam menarik investasi mereka.
Karena
saya orang Indonesia dan saya muslim, maka teman dari dunia lama saya
di industri financial London tersebut langsung berasumsi saya tahu
gaharu dan saya tahu syariah – itulah alasan dia pertama mengontak saya.
Lantas mengapa industri raksasa dari hulu sampai hilir parfum berbasis
gaharu yang didanai dengan pembiayaan syariah ini adanya di Thailand ?
Arah-arah
investasi petrodollar dari negeri-negeri kaya minyak yang dahulu
fokusnya ke Eropa, Amerika dan Jepang – kini mulai memburu bentuk-bentuk
investasi ke pusat-pusat perkembangan ekonomi baru sperti China, India,
Brasil, Afrika dan seharusnya juga Indonesia.
Lantas
mengapa investasi besar di industri hulu sampai hilir di bidang gaharu
tersebut larinya tidak ke Indonesia ? yang notabene lebih mudah memahami
gaharu dan aspek syariah yang mulai menjadi perhatian para investor
dari negeri-negeri petrodollar tersebut ?
Antara
lain jawabannya adalah ada di datanya World Bank tentang kemudahan
usaha – yang posisi terkininya disebut Doing Business 2014. Berdasarkan
ranking kemudahan usahanya, Thailand berada di urutan 18 sedangkan
Indonesia berada di urutan 120. Semakin besar nomor urut ini
menggambarkan persepsi dunia tentang semakin sulitnya berusaha di negara
tersebut.
Dalam
era Global Tilt ketika arus dana dari perbagai penjuru negeri-negeri
maju di utara menuju potensi-potensi pertumbuhan ekonomi di selatan,
yang dibutuhkan adalah ketajaman (incisiveness) dalam melihat peluang,
pengambilan keputusan usaha yang tepat dan cepat (business acumen) dan
bahkan juga imaginasi tentang sesuatu yang belum ada – belum terbentuk
wujudnya – tetapi tanda-tanpa kemunculannya sudah nampak.
Tiga hal tersebut yaitu incisiveness, business acumen dan imagination terganggu
atau terhambat untuk melahirkan suatu peluang dan potensi ekonomi yang
konkrit manakala – untuk mewujudkannya – berbagai kendala menghadang di
lapangan.
Indonesia
yang ranking umumnya adalah 120 tersebut, ranking kemudahan untuk
memulai usahanya berada pada urutan no 175 dari 189 negara atau masuk
dalam urutan no 14 tersulit dari 189 negara !.
Bisa
saja kredibilitas ranking semacam ini kita pertanyakan, tetapi
masalahnya adalah karena yang mengeluarkan ranking tersebut adalah
sekelas International Financial Corporation-nya The World Bank – maka
dunia di luar sana cenderung mempercayainya.
Maka
inilah tugas pemerintahan baru kita kedepan – siapapun presidennya, dia
harus bener-bener bisa memangkas habis jalur-jalur birokrasi perijinan
yang menjadikan kita di nomor urut buntut dalam kemudahan memulai usaha
di dunia tersebut.
Ini
mutlak harus dilakukan sebelum berjuta pohon yang menjadi kekayaan
keaneka-ragaman hayati kita – tinggal catatan belaka, industrinya
sendiri ada di negeri lain. Hal yang sama juga perlu dilakukan dari sisi
syariahnya, bila negeri gajah putih yang sangat sedikit penduduk
muslimnya – bahkan mereka cenderung offensive terhadap muslim saja –
begitu bicara kepentingan ekonomi, serta merta mereka menerima solusi
syariah, mengapa kita yang penduduk muslimnya mayoritas malah seolah
belum terlalu peduli pada yang syariah ini ?
Industri
pertanian adalah industri dengan nilai tambah yang sangat tinggi.
Minyak dari kayu gaharu nilainya di pasar internasional sekarang sekitar
US$ 20,000 per liter (Rp 240 juta per liter). Setelah menjadi eude
parfume Arab seperti yang saya lihat di Dar al Oud (Rumah Gaharu !),
harganya menjadi US$ 135 per 100 cc – padahal untuk membuat 100 cc
parfum ini hanya dibutuhkan beberapa tetes minyak gaharu asli.
Tetapi
nilai tambah dari ujung ke ujung tersebut memang harus ‘direbut’ dengan
kerja cerdas, kerja keras dan kerja ikhlas dari seluruh pelaku ekonomi
negeri ini, bukan hanya oleh pemerintahannya saja. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar