Oleh: Muhaimin Iqbal
Waktu seolah berjalan begitu cepat sehingga kita sudah sampai pada bulan Ramadhan lagi. Di awal Ramadhan tahun lalu saya mengajak pembaca untuk membuat niat besar “…Memberi Makan Dunia…”, antara lain dengan serangkaian pelajaran untuk membibit kurma sendiri. Apa kabarnya program ini ? adakah yang menjalankannya ? seperti apa hasilnya ? Bagi yang ikut menjalankannya, insyaAllah sudah akan bisa merasakannya bahwa waktu Anda tidak berlalu begitu saja.
Setahun untuk usia pohon kurma memang masih terlalu sedikit,
tetapi setahun waktu kita – bila terlewat begitu saja - sungguh terlalu
banyak. Usia pohon-pohon kurma yang kita tanam tersebut insyaAllah jauh
lebih panjang dari kita, dia akan bisa ‘bercerita’ panjang kepada dunia
jauh setelah kita tidak ada.
Pohon kecil tersebut adalah hasil pembibitan persis seperti yang kami ajarkan melalui tulisan sebelumnya yaitu “Mencari Kebahagiaan Dengan Membibit Sendiri Kurma”. Bagi Anda yang mengikuti teknik pembibitan tersebut, seperti inilah hasilnya setelah satu tahun bila pembibitan Anda berhasil.
Keberhasilan
pembibitan kurma itu ditandai dengan banyaknya daun dan munculnya daun
keras yang menandakan dia siap turun ke tanah. Bila setelah satu tahun
bibit Anda belum seperti ini – belum muncul daun kerasnya, berarti masih
ada yang perlu diperbaiki. Kemungkinan besar adalah kurang sinar
matahari, atau media tanamnya yang kurang memadai.
Bayangkan bila bibit kurma yang sekarang masih kecil tersebut kelak insyaAllah bisa berusia ratusan tahun, bayangkan pula bila dia ‘bisa’ bercerita. Ceritanya mungkin akan dimulai dengan pembuka seperti ini :
“...dahulu
saya dilahirkan di atap rumah si fulan, dia bukan petani kurma dan sama
sekali tidak punya pengalaman menanam kurma. Namun karena niatnya yang
sangat kuat, dibenihkannyalah aku hingga aku terlahir di container
plastic – tempat makan anaknya.
Setelah
aku terlahir, dipindahkan ke media tanam yang satu ke yang lain,
disiraminya aku hampir setiap hari. Aku lihat wajah bahagianya setiap
kali melihat aku, dibelainya daunku satu demi satu seolah ingin bicara
dengan aku.
Disingkirkannya
semua penghalang yang menutupi aku dari sinar matahari, seolah dia
ingin memanjakan aku dengan sinar matahari penuh dari terbit sampai
terbenamnya. Dengan kemanjaan inilah aku bisa tumbuh perkasa dan melalui rintangan hidup di berbagai masa hingga kini...”.
Pohon yang diberkahi ini insyaAllah usianya bisa jauh lebih panjang dari
pohon kurma, bisa ribuan tahun. Maka cerita hidupnya akan lebih menarik
lagi. Seandainya cerita itu bisa dituturkan ke kita, mungkin mulainya
akan seperti ini :
“…Aku
dilahirkan di laboratorium rumahannya si fulan. Dia bukan petani
apalagi petani zaitun. Dia belum pernah menanam atau membibitkan zaitun,
dan dia tidak bisa belajar dari cara-cara pembibitan zaitun seperti
yang dialami nenek moyang kami di negeri Mediterania.
Di Mediterania zaitun dibibitkan dengan cara stek dari cabang
atau ranting yang panjangnya 1 meter dengan diameter lebih dari 1 cm.
Di nusantara tidak bisa dengan cara ini karena pohon zaitunnya saja
masih sangat jarang, pohonnya siapa yang bisa di stek 1 meter ?
Maka
di laboraorium sederhana si fulan tersebut cara baru untuk melahirkan
aku ditempuhnya. Aku dilahirkan dengan stek mikro namanya, yaitu
potongan kecil dari ranting muda yang panjangku hanya sekitar 6 cm dan
diameterku tidak lebih dari 4 mm.
Dengan
tubuhku yang masih sangat-sangat kecil tersebut sebenarnya sangat kecil
pula peluangku untuk bisa hidup dan tumbuh membesar. Tetapi si fulan
tidak menyerah, ditaruhnya aku di dalam incubator – konon sama dengan
incubator yang biasa dipakai untuk anak manusia bila dia terlahir
prematur.
Dalam
kondisi kritis yang berlangsung lebih dari satu bulan ini, aku melihat
si fulan menengokku hampir setiap hari. Dia menjaga kelembabanku,
menjaga suhu tubuhkan dan bahkan juga mengatur banyaknya sinar matahari
yang boleh mengenaiku ketika batangku masih sangat lemah.
Aku
melihat mulutnya mengucapkan sesuatu setiap kali melihat aku, aku tidak
mengerti ucapannya, tetapi aku bisa merasakannya. Dia berdo’a kepada
tuhannya dan juga tuhanku, karena hanya Dialah yang sesungguhnya bisa
menghidupkanku atau mematikan aku.
Aku
tidak bisa berbicara dengan si fulan yang sangat menyayangiku, tetapi
seolah dia mengerti bahasaku. Ketika pucuk daun-daun perdanaku layu, dia
mengerti bahwa ujung akarku yang berada di dalam tanah sedang
bermasalah dengan kelembaban yang berlebihan.
Ketika
aku ingin tumbuh perkasa dengan banyak cabang dan ranting, dia-pun
mengerti dengan memotong ujung-ujung cabang dan rantingku yang sudah
terlalu panjang – agar aku tidak hanya tumbuh ke satu arah.
Dengan masa kecil yang penuh perhatian inilah aku bisa tumbuh dan berkembang secara perkasa, jauh melampaui usia manusia yang dahulu merawatku sejak lahir dengan penuh kasih sayangnya….”
Mumpung kita memasuki bulan suci Ramadhan lagi, mari mulai kita bangun
cerita-cerita indah berikutnya. Berbagai kegaduhan di luar sana, jangan
sampai mengganggu kekhusukan kita beribadah puasa, jangan sampai
mengganggu tali silaturahim kita bersama. Dan lebih dari itu, jangan
sampai melalaikan kita dari waktu yang terus berlalu dengan sangat cepat
– jangan sampai waktu itu berlalu tanpa karya dan tanpa cerita !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar