Loyalty on Quality

Kamis, 5 Juni 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal
Di dunia komersial kita mengenal adanya loyalitas pada kwalitas, produk-produk yang baik akan terus dibeli konsumen dan produk tersebut akan ditinggalkan konsumen manakala kwalitasnya menurun atau ada produk lain sejenis yang kwalitasnya lebih baik. Sayangnya loyalitas pada kwalitas ini belum ada di dunia olah raga, sosial dan politik kita. Di jalanan orang bisa berantem hanya karena perbedaan warna atau nomor kaos !

 
 Bulan lalu ada dua iring-iringan pendukung sepakbola yang sebenarnya tidak saling mengenal satu sama lain, keduanya bertemu di jalan tol menuju arena pertandingan – lantas tidak ada hujan dan tidak ada angin mereka ujug-ujug berantem ! Mengapa ? Hanya karena rombongan yang satu berseragam/atribut biru dan rombongan yang lain berseragam/atribut orange. Betapa mudahnya bangsa ini dibelah oleh sekedar perbedaan warna kaos.
 Tidak ada kwalitas yang diperjuangkan, karena dari waktu ke waktu persepakbolaan kita jalan di tempat. Dalam sejarah Piala Dunia kita baru sekali mengirimkan team ke perhelatan bola dunia itu. Itupun terjadi ketika kita belum merdeka (1938) dan mayoritas pemainnya bukan anak negeri. Itupun kita kalah telak di pertandingan perdana melawan Hongaria (0-6).
 Bandingkan misalnya dengan negeri yang mirip alam katulistiwa-nya dengan kita yaitu Brazil, dari 19 kali World Cup mereka menjadi juara 5 kali diantaranya.  Padahal negeri tersebut mulai belajar sepakbolanya kurang lebih bareng dengan kita yaitu akhir abad 19.  Mereka belajar dari pekerja asing Scottish, kita belajar dari penjajah Belanda.
 Apa yang membedakan mereka  bisa begitu berkwalitasnya, sampai bisa mengirim lebih dari 10,000 pemain professionalnya ke seluruh dunia dan menjuarai begitu banyak kejuaraan – sedangkan kita nyaris tanpa prestasi yang berarti setelah hampir 7 dasawarsa kita merdeka ? karena yang satu ada loyalitas pada kwalitas, sedangkan yang lain loyalitas kedaerahan/ke club-an.
 Penonton kita loyal pada team daerahnya hingga tiba-tiba menganggap penonton dari team daerah lain musuh yang harus diperangi seperti kejadian di jalan tol tersebut di atas. Ketika loyalitas kita hanya semata karena faktor kedaerahan, tanpa koreksi berupa kritik-kritik yang membangun yang bisa meningkatkan kwalitas – maka nyaris tidak ada peningkatan dan kontrol kwalitas pada hampir keseluruhan team kita.
 Sayangnya kejadian loyalitas tanpa kwalitas ini juga terjadi di dunia sosial politik kita. Silaturahim jama’ah di masjid-masjid terganggu hanya karena perbedaan nomor di kaos atau baju. Yang satu menunjukkan eksistensinya dengan memakai atribut nomor 1 dan yang lain melakukan hal yang sama dengan memakai atribut no 2.
 Hanya karena perbedaan nomor atribut kita sudah seolah seperti musuh yang siap berperang, padahal kita masih sholat di masjid yang sama, dengan imam yang sama, membaca kitab yang sama dan yang lebih utama masih bersahadat dengan Rabb dan nabi yang sama.
 Seandainya pada  persepak bolaan tersebut di atas,  yang kita anut adalah loyalitas pada kwalitas – kita hanya mendukung yang berkwalitas – dari daerah manapun asalnya – maka bisa jadi kinerja kita tidak akan jauh-jauh dari kinerja team Brasil – karena akan ada perlombaan dari sisi kwalitas.
 Demikian pula dalam hal berpolitik, seandainya yang terjadi adalah loyalitas pada kwalitas – hanya mendukung  pada yang mengajak kepada kebaikan khususnya pada keimanan dan ketakwaan – maka negeri ini sudah makmur dari dahulu. Ini seuai dengan janjiNya : “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS 7:96)
 Lantas bagaimana kita tahu bahwa dukungan kita itu melibatkan kontrol kwalitas atau tidak ? cara yang mudah adalah dengan mengukur apakah kita bisa melihat kelemahan atau kekurangan pihak yang kita dukung – kemudian kita rela untuk mengakuinya dan kemudian mengkritisinya untuk kebaikan. Bukan malah sebaliknya membela habis-habisan apapun yang dilakukan pilihan kita, meskipun itu batil sekalipun.
 Kita semua bisa melakukan exercise yang sama untuk ini dengan salah satu tolok ukur keimanan – yaitu sikap terhadap riba sebagaimana disebutkan di ayat berikut misalnya :
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS 2:278)
 Nah sekarang kita bisa cek dengan pilihan kita masing-masing, apakah pilihan kita dalam pemilu mendatang  ada program untuk meninggalkan riba ini ? Kalau belum, bisakah kita sampaikan ke mereka – bahwa kita akan dukung tetapi mereka harus memiliki program untuk menghilangkan riba dari negeri ini ? Memang tidak akan mudah karena kita hidup di era global yang dipenuhi dengan system ribawi, tetapi setidaknya mencanangkan program untuk meninggalkan riba – dengan time frame tertentu misalnya - bisa menjadi tolok ukur terhadap keimanan itu sebagaimana ayat tersebut di atas.
 Bagaimana bila tidak ada pilihan yang bersedia menghilangkan riba dari negeri ini ? jawaban kita mestinya jelas sesuai dengan ayat berikut :
 “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS 2:279)
 Bayangkan kalau sikap umat yang lagi diperebutkan suaranya ini tegas sebagaimana tegasnya ayat-ayat tersebut diatas - maka mau tidak mau semua calon akan serius mendengarkan permintaan atau syarat umat ini. Tentu kita semua tidak ingin menjadi pihak atau menjadi pendukung dari pihak yang diperangi oleh Allah dan RasulNya bukan ?, nah inilah saatnya untuk kita dapat melakukan kontrol kwalitas terhadap kepemimpinan nasional itu. InsyaAllah !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar