Oleh: Muhaimin Iqbal
Di dunia komersial kita mengenal adanya loyalitas pada kwalitas, produk-produk yang baik akan terus dibeli konsumen dan produk tersebut akan ditinggalkan konsumen manakala kwalitasnya menurun atau ada produk lain sejenis yang kwalitasnya lebih baik. Sayangnya loyalitas pada kwalitas ini belum ada di dunia olah raga, sosial dan politik kita. Di jalanan orang bisa berantem hanya karena perbedaan warna atau nomor kaos !
Bulan
lalu ada dua iring-iringan pendukung sepakbola yang sebenarnya tidak
saling mengenal satu sama lain, keduanya bertemu di jalan tol menuju
arena pertandingan – lantas tidak ada hujan dan tidak ada angin mereka ujug-ujug
berantem ! Mengapa ? Hanya karena rombongan yang satu
berseragam/atribut biru dan rombongan yang lain berseragam/atribut
orange. Betapa mudahnya bangsa ini dibelah oleh sekedar perbedaan warna
kaos.
Tidak
ada kwalitas yang diperjuangkan, karena dari waktu ke waktu
persepakbolaan kita jalan di tempat. Dalam sejarah Piala Dunia kita baru
sekali mengirimkan team ke perhelatan bola dunia itu. Itupun terjadi
ketika kita belum merdeka (1938) dan mayoritas pemainnya bukan anak
negeri. Itupun kita kalah telak di pertandingan perdana melawan Hongaria
(0-6).
Bandingkan
misalnya dengan negeri yang mirip alam katulistiwa-nya dengan kita
yaitu Brazil, dari 19 kali World Cup mereka menjadi juara 5 kali
diantaranya. Padahal negeri tersebut mulai belajar sepakbolanya kurang lebih bareng dengan kita yaitu akhir abad 19. Mereka belajar dari pekerja asing Scottish, kita belajar dari penjajah Belanda.
Apa yang membedakan mereka bisa
begitu berkwalitasnya, sampai bisa mengirim lebih dari 10,000 pemain
professionalnya ke seluruh dunia dan menjuarai begitu banyak kejuaraan –
sedangkan kita nyaris tanpa prestasi yang berarti setelah hampir 7
dasawarsa kita merdeka ? karena yang satu ada loyalitas pada kwalitas,
sedangkan yang lain loyalitas kedaerahan/ke club-an.
Penonton
kita loyal pada team daerahnya hingga tiba-tiba menganggap penonton
dari team daerah lain musuh yang harus diperangi seperti kejadian di
jalan tol tersebut di atas. Ketika loyalitas kita hanya semata karena
faktor kedaerahan, tanpa koreksi berupa kritik-kritik yang membangun
yang bisa meningkatkan kwalitas – maka nyaris tidak ada peningkatan dan
kontrol kwalitas pada hampir keseluruhan team kita.
Sayangnya
kejadian loyalitas tanpa kwalitas ini juga terjadi di dunia sosial
politik kita. Silaturahim jama’ah di masjid-masjid terganggu hanya
karena perbedaan nomor di kaos atau baju. Yang satu menunjukkan
eksistensinya dengan memakai atribut nomor 1 dan yang lain melakukan hal
yang sama dengan memakai atribut no 2.
Hanya
karena perbedaan nomor atribut kita sudah seolah seperti musuh yang
siap berperang, padahal kita masih sholat di masjid yang sama, dengan
imam yang sama, membaca kitab yang sama dan yang lebih utama masih
bersahadat dengan Rabb dan nabi yang sama.
Seandainya pada persepak bolaan tersebut di atas, yang
kita anut adalah loyalitas pada kwalitas – kita hanya mendukung yang
berkwalitas – dari daerah manapun asalnya – maka bisa jadi kinerja kita
tidak akan jauh-jauh dari kinerja team Brasil – karena akan ada
perlombaan dari sisi kwalitas.
Demikian pula dalam hal berpolitik, seandainya yang terjadi adalah loyalitas pada kwalitas – hanya mendukung pada
yang mengajak kepada kebaikan khususnya pada keimanan dan ketakwaan –
maka negeri ini sudah makmur dari dahulu. Ini seuai dengan janjiNya : “Jika
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS 7:96)
Lantas
bagaimana kita tahu bahwa dukungan kita itu melibatkan kontrol kwalitas
atau tidak ? cara yang mudah adalah dengan mengukur apakah kita bisa
melihat kelemahan atau kekurangan pihak yang kita dukung – kemudian kita
rela untuk mengakuinya dan kemudian mengkritisinya untuk kebaikan.
Bukan malah sebaliknya membela habis-habisan apapun yang dilakukan
pilihan kita, meskipun itu batil sekalipun.
Kita
semua bisa melakukan exercise yang sama untuk ini dengan salah satu
tolok ukur keimanan – yaitu sikap terhadap riba sebagaimana disebutkan
di ayat berikut misalnya :
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS 2:278)
Nah sekarang kita bisa cek dengan pilihan kita masing-masing, apakah pilihan kita dalam pemilu mendatang ada
program untuk meninggalkan riba ini ? Kalau belum, bisakah kita
sampaikan ke mereka – bahwa kita akan dukung tetapi mereka harus
memiliki program untuk menghilangkan riba dari negeri ini ? Memang tidak
akan mudah karena kita hidup di era global yang dipenuhi dengan system
ribawi, tetapi setidaknya mencanangkan program untuk meninggalkan riba –
dengan time frame tertentu misalnya - bisa menjadi tolok ukur terhadap keimanan itu sebagaimana ayat tersebut di atas.
Bagaimana
bila tidak ada pilihan yang bersedia menghilangkan riba dari negeri ini
? jawaban kita mestinya jelas sesuai dengan ayat berikut :
“Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.” (QS 2:279)
Bayangkan
kalau sikap umat yang lagi diperebutkan suaranya ini tegas sebagaimana
tegasnya ayat-ayat tersebut diatas - maka mau tidak mau semua calon akan
serius mendengarkan permintaan atau syarat umat ini. Tentu kita semua
tidak ingin menjadi pihak atau menjadi pendukung dari pihak yang
diperangi oleh Allah dan RasulNya bukan ?, nah inilah saatnya untuk kita
dapat melakukan kontrol kwalitas terhadap kepemimpinan nasional itu.
InsyaAllah !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar