Oleh: Muhaimin Iqbal
Setiap musim haji seperti ini ratusan ribu umat muslimin Indonesia menunaikan ibadah haji, dan di antara tempat yang selalui diziarahi jamaah haji atau umrah adalah gunung Uhud. Juga di dekatnya, menghadap gunung Uhud ini dengan skala yang jauh lebih kecil adalah yang disebut bukit para pemanah. Di antara dua tempat ini, pernah terjadi peristiwa yang luar biasa – yang bila umat ini bisa belajar dari peristiwa tersebut – umat ini akan bener-bener bisa menjadi umat yang tertinggi dalam segala bidang. Kok bisa ?
Inilah janji Allah dalam Surat Ali Imran ayat 139 : “Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman.”
Derajat yang paling tinggi ini tidak datang begitu saja, dia bersyarat – yaitu syarat yang ada di ayat sebelumnya : “(Al Qur'an) ini adalah penjelasan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS 3:138)
Derajat
paling tinggi adalah untuk orang yang beriman dan bertakwa – yang
keberadaannya bahkan akan mengundang keberkahan suatu negeri (QS 7:96) –
tetapi siapa orang-orang ini ? Itulah orang-orang yang menjadikan
Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pelajaran di QS 3 : 138 tersebut.
Di ayat yang sama diungkapkan bahwa bagi seluruh manusia (linnaas)
Al-Qur’an itu adalah penjelasan – seluruh manusia bisa membaca dan
memahaminya cukup jelas Al-Qur’an itu meskipun dari terjemahannya.
Tetapi dia menjadi petunjuk dan pelajaran hanya bagi orang yang bertakwa
(lilmuttaqiin). Lantas apa pelajarannya ?
Di
antara pelajarannya yang sangat penting bagi umat ini adalah 40 ayat
yang diletakkan oleh Allah tepat sesudah janjiNya untuk menjadikan umat
ini umat yang paling tinggi derajatnya (QS 3:139). Apa isi 40 ayat
tersebut ? Dari QS 3: 140-179 Allah berkisah tentang perang Uhud, perang
yang terjadi di antara Gunung Uhud dan bukit para pemanah yang selalu
diziarahi oleh hampir seluruh jamaah haji dan umrah tersebut di atas.
Perang
ini dipimpin langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan
diikuti oleh generasi terbaik yaitu sahabat-sahabat beliau dari kaum
Muhajirin dan kaum Anshar, terjadinya hanya sekitar 1 tahun dari perang
sebelumnya – dimana kaum muslimin memperoleh kemenangan yang sangat
gemilang – yaitu perang Badar. Tetapi di perang Uhud ini kaum muslimin
kalah! Kok bisa ? Rasul bersama
generasi terbaik bisa kalah ? Apakah Allah tidak lagi menolong RasulNya
dan generasi terbaik yang mendampinginya ?
Allah tetap menolong RasulNya, bahkan ketika posisi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terpojok – dalam moment yang sangat kritis – sahabat yang ada di samping Nabi waktu itu hanya ada Sa’d
bin Abi Waqqas dan Talhah bin ‘Ubaidillah – sementara musuh dengan
kekuatan besar sudah sangat dekat dengan pencapaian tujuan mereka yaitu
ingin sekali membunuh Nabi, saat itulah Sa’d menyaksikan pertolonganNya
secara langsung.
Seperti diriwayatkan dalaam sbuah hadits : “Saya
melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada Hari Uhud dengan
dua orang – berpakaian putih-putih berjuang keras melindungi beliau –
saya tidak pernah melihat keduanya sebelum dan sesudah Uhud”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam versi Sahih Bukhari lainnya disebutkan bahwa dua ‘orang’ tersebut adalah Jibril dan Mikail.
Artinya
Allah amat sangat mampu memenangkan kaum muslimin dalam perang
tersebut, tetapi Allah ingin menjadikan ini kekalahan yang menjadi
pelajaran . Ini diungkapkanNya melalui ayat : “Jika
kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir)
itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran);
dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan
orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur
sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang lalim.” (QS 3:140)
Juga Ada tujuan lain dari Allah yang diungkapkan di akhir kisah 40 ayat tersebut : “Allah
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik)
dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih
siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu
berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan
bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS 3:179)
Jadi
kekalahan kaum muslimin di perang Uhud adalah untuk menjadi pelajaran
dan untuk membersihkan barisan kaum muslimin dari kaum munafik –
wajahnya Islam tetapi hatinya membeci Islam dan kaum Muslimin.
Pelajaran
lain dari perang Uhud ini adalah – betapa generasi terbaik-pun bisa
lalai dengan perintah Nabi untuk bertahan di posisinya dan tetap
mengemban tugasnya – apapun yang terjadi. Apa yang bisa dengan mudah
melalaikan generasi terbaik sekalipun ini ? Itulah kenikmatan duniawi
berupa ghanimah. (QS 3:152)
Bayangkan
sekarang kalau kisah dalam ayat-ayat tersebut tersebut bisa kita
jadikan petunjuk dan pelajaran di segala bidang kehidupan kita, maka
janji Allah yang akan menjadikan kita paling tinggi derajatnya –
insyaAllah akan terpenuhi.
Di
bidang politik misalnya, mengapa umat yang mayoritas ini tidak bisa
memenangkan ‘peperangan’-nya ? ya karena banyaknya ‘pejuang-pejuang’
yang lalai dan tergoda untuk memburu kenikmatan duniawi sesaat – keburu
memburu ghanimah padahal perang belum dimenangkannya.
Betapa
banyak tokoh-tokoh umat yang seharusnya bertahan ditempatnya – mengawal
umat dengan ‘panah-panah’nya agar tidak dibantai oleh musuh, tetapi
mereka justru ramai-ramai turun meningalkan posisi yang seharusnya untuk
ikutan berburu ghanimah.
Di
bidang aktivitas sosial dan ekonomi-pun kurang lebih demikian. Betapa
banyak project-project keumatan yang cemerlang, kemudian redup atau
bahkan terpecah justru setelah mencapai keberhasilan di awalnya. Ini
adalah ciri-ciri kemenangan ‘perang Badar’ tetapi kemudian gagal
mengambil pelajaran di ‘perang Uhud’ karena dilalaikan oleh kenikmatan
duniawi sesaat.
Padahal
seandainya toh kita berhasil melalui tahap ‘perang Uhud’ ini (3H),
jalan menuju kemenangan yang sempurna juga masih panjang. Masih ada
‘Bani Nadhir’ dan kaum munafik yang harus dibersihkan dari lingkungan
perjuangan kita (4 H), masih ada perang dingin atau perang urat syaraf
“Al Ahzab” yang harus kita menangkan (5 H), masih perlu sakinah untuk
kemenangan diplomasi seperti di Hudaibiyah (6 H), masih perlu
menaklukkan ‘Khaibar’ (7 H), kemudian menaklukkan ‘Mekkah’ yang segera
harus diikuti pula untuk bisa lolos dari ujian ‘Hunain’ ketika kita
menjadi besar (8 H), dan kemudian ovensif merintis kepemimpinan dunia
dengan proaktif membungkam kekuatan musuh di perbatasan mereka sendiri
seperti di Tabuk (9 H). Baru setelah itulah Allah sempurnakan nikmat itu
seperti pada Haji Wada’ (10 H).
Dari rangkain pelajaran tersebut – yang detilnya ada di tulisan sebelumnya-
kita seharusnya bisa memetakan sampai dimana perjalanan perjuangan di
bidang kita masing-masing saat ini. Apakah kita sudah melalui ‘perang
Badar’ yang kita menangkan ?,
apakah kita sudah melalui ‘kekalahan perang Uhud’ dan kita bisa
mengambil pelajaran darinya ? maka hanya dengan itulah insyaAllah kita
akan memahami roadmap yang
jelas untuk menuju kemenangan yang sempurna itu – dalam bentuk
ditinggikanNya derajat umat ini dalam segala bidang kehidupannya.
InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar