Oleh: Muhaimin Iqbal
Sebenarnya sejak sekolah SMP dahulu kita sudah diajari mengenal barang ekonomi (economic goods) – yaitu barang atau jasa yang supplynya lebih kecil dari demand atau kebutuhannya. Dalam prakteknya bangsa ini secara kumulatif seperti lebih bodoh dari keledai yang tidak terjatuh di lubang yang sama dua kali. Setiap tahun kita teriak harga bahan bakar/energi yang semakin mahal, tetapi pada saat yang bersamaan begitu banyak energi ter(di)buang percuma. Setiap saat kita teriak kekeringan, dalam beberapa bulan lagi kita akan membuang air ke laut begitu saja dengan dalih pengendalian banjir.
Sungguh ini adalah kalimat Al-Qur’an yang mengatakan manusia lebih buruk dari keledai dan sebangsanya : “Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7:179)
Siapa
yang dikatakan lebih sesat dari binatang ternak tersebut ? adalah orang
yang tidak menggunakan hati (akal), mata dan telinganya untuk memahami
ayat-ayatNya. Sebaliknya orang-orang yang setiap saat selalu memikirkan
ayat-ayat pada ciptaanNya ketika
berdiri, duduk, maupun tidur – mereka dipuji Allah sebagai orang-orang
yang memahami setiap inti persoalan -ulul albab (QS 3:190-191), dan
orang-orang inilah yang akan diberi kebaikan yang banyak – yaitu hikmah
(QS 2 :269).
Jadi
termasuk yang mana kita ? secara umum melihat gejala yang ada – setiap
tahun ada musibah asap, banjir, kekeringan yang silih berganti –
nampaknya kita belum memahami dengan baik ayat-ayatNya itu.
Dua
musibah yang saat ini terjadi adalah musibah asap yang setiap tahun
semakin memburuk, juga musibah kekeringan – yang konon karena efek
El-Nino bisa berlangsung sampai akhir tahun. Keduanya tidak menjadi
musibah seandainya kita bisa memahami ayat-ayatNya.
Yang
sekarang ter(di)bakar menimbulkan musibah asap yang luar biasa itu
sesungguhnya kan salah satu kekayaan negeri ini yang berupa biomassa.
Seandainya kita memahami ayatnya ‘…Rabbanaa maa khalakta haadzaa baatila …’
(QS 3:190), kita pasti bisa melihat manfaat besar dari biomassa
tersebut – pasti bisa diarahkan penggunaannya minimal salah satu “F”
dari setidaknya “7F” penggunaannya.
Katakanlah lahan harus dibersihkan untuk bercocok tanam, seluruh bio massa yang menutupi lahan tersebut – mayoritasnya cellulose
– kan bisa digiling halus kemudian dicetak menjadi briket bahan bakar
(fuel) atau bahkan sebagai bahan bangunan (feedstock). Saya yakin pasti
ada insinyur-insinyur bio proses terbaik negeri ini yang bisa mengolah
begitu banyak biomassa tersebut agar tidak terbakar percuma dan menjadi
musibah asap.
Demikian
pula masalah kekeringan, tidak akan menjadi musibah seandainya kita
bisa memahami ayat-ayatNya dengan baik. Indonesia adalah negeri besar
yang memiliki curah hujan terbesar di dunia.
Dengan
curah hujan rata-rata yang mencapai sekitar 2,700 mm/tahun – ini tiga
kali lebih tinggi dari rata-rata dunia yang hanya 900 mm/tahun. Ini
lebih tinggi pula dari India (1,080 mm), Amerika (715 mm), China
(645mm), Brasil (1,750 mm), Argentina (591 mm) dan bahkan Thailand
(1,625 mm) – yang secara bersama-sama mereka membanjiri negeri ini
dengan produk-produk pertaniannya. Dalam hal curah hujan ini, kita hanya
kalah dari dua negara tetangga kita yaitu Malaysia (2,875 mm) dan
Papua Nugini ( 3,140 mm).
Bahkan
kita harus sangat bersyukur diberi berkah hujan yang begitu banyak –
yang tidak terbayangkan banyaknya bila kita bandingkan dengan
negara-negara seperti Jordan (111 mm), Qatar (74 mm), Arab Saudi ( 59
mm) dan Mesir yang hanya mendapatkan curah hujan 51 mm per tahun !
Sekering-keringnya
wilayah Indonesia yang tergolong kering seperti Gunung Kidul,
masyarakatnya masih mendapat rata-rata 1,950 mm/tahun curah hujan. Sumba
Timur yang sangat kering-un masih mendapatkan rata-rata 1,000 mm/tahun.
Bandingkan ini misalnya dengan Spanyol yang hanya memiliki curah hujan
rata-rata 640 mm/tahun tetapi bisa menjadi pusat revolusi pertanian di
Abad pertengahan dan masih menjadi penghasil zaitun terbesar dunia
hingga kini. Masyarakat Gaza yang curah hujannya hanya di kisaran 430
mm/tahun, kecukupan pangannya tidak mempan diganggu oleh boikot Zionis
Israel yang sudah hampir satu dekade berjalan.
Hujan
adalah berkah, di mayoritas ayat yang membahas tanaman di Al-Qur’an –
Allah memulainya dengan hujan. Artinya jumlah hujan mestinya berkorelasi
langsung dengan kemakmuran atau minimal kecukupan pangan. Bila
kenyataannya tidak demikian, maka pasti ada hal yang sangat serius yang
harus dibenahi di negeri ini – khususnya dalam menyikapi dan mengelola
air hujan ini.
Masihkah
kita mengeluh kurang air sekarang ? padahal beberapa bulan lagi setelah
hujan tiba kita akan segera melupakan kekeringan rutin ini dan kembali
membuang air hujan yang sangat bersih dan tawar ke laut. Padahal Gunung
Kidul saja bisa menjadi pusat revolusi pertanian yang lebih dasyat dari
Spanyol abad pertengahan, atau Sumba yang bisa menjadi lebih menarik
potensi pertaniannya melebihi rata-rata negeri Mediterania ?
Sebegitupun
kita melalaikan karunianya yang melimpah berupa sumber energi dan air
yang selama ini kita sia-siakan - Dia Yang Maha pengasih masih terus
memberi kita jalan keluarNya. Dan untuk musibah asap dan kekeringan
panjang itu jalan keluarnya sama – yaitu kita disuruh ber-istigfar !
“Maka
aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya
Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu
dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan
untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu
sungai-sungai.”” (QS 71:10-12)
Istighfar
tentu tidak sebatas ucapan kemudian setelah itu kita membakar hutan
lagi dan membuang air hujan ke laut lagi. Setelah kita beristigfar kita
harus mengubah pola sikap dan tindak kita terhadap biomassa yang
merupakan karunia terbanyak di negeri ini, dan juga berkah dari hujan
yang juga termasuk yang terbanyak diberikan ke negeri yang besar ini.
Untuk
musibah asap, bersamaan dengan ber-istigfar banyak-banyak – kita juga
harus menghentikan membakar hutan atau mencegah terjadinya kebakaran
hutan – dengan mengerahkan segenap ilmu pengetahuan dan teknologi yang
kita miliki untuk berikhtiar mengolah biomassa yang ada menjadi salah
satu dari 7F (Food, Fuel, Fiber, Fodder, Feedstock, Fertilizer atau
Favor) atau kombinasi beberapa diantaranya.
Dengan
demikian seluruh biomassa yang ada di hutan kita akan bermanfaat
sebagaimana petunjukNya di ayat-ayat tersebut di atas, dan tidak ada
lagi yang terbakar percuma yang menimbulkan musibah asap.
Dalam
hal air juga demikian, sekering-kering daerah kering di Indonesia –
pasti masih lebih banyak hujannya dibandingkan dengan saudara-saudara
kita yang tinggal di Jordan, Qatar, Arab Saudi, Palestina dan
Mesir tersebut di atas. Dengan sedikit upaya saja insyaAllah kita akan
bisa mengelola air hujan yang ada kemudian menggunakannya secara bijak
sepanjang tahun.
Agar
pemikiran semacam ini tidak berhenti di tataran wacana semata, kami di
Sartup Center selalu membuka kesempatan bagi yang ingin mengelaborasi
solusi-solusi tersebut di atas menjadi peluang usaha serta amal nyata
bagi umat manusia keseluruhan.
Untuk
mengolah seluruh biomassa yang ada menjadi salah satu dari 7F, yang
kami pikirkan adalah mesin pelumat yang efektif (ball mill) – yang bisa
melumat biomassa apa saja menjadi semacam pulp. Dari sini nanti bisa
diubah menjadi apa saja – utamanya menjadi bahan bakar (fuel) dan juga
bahan bangunan (feedstock).
Untuk
menampung air hujan yang ada, di setiap keluarga atau lahan dibuat
penampungan kecil – kecil sehingga tidak usah menunggu pemerintah
membuatkan waduk – karena mahal dan sulit merata. Kemudian dari
tampungan air hujan ini bisa digunakan secara hemat selain untuk
keperluan sehari-hari juga untuk keperluan tanaman yang efisien
penggunaan airnya. Contoh waduk tadah hujan ukuran sedang – cocok untuk
suatu perkampungan – sudah pernah kami buat di Jonggol dengan ukuran
sekitar 6,000 m2 yang bisa menampung air sekitar 15,000 m3.
Untuk
yang terakhir ini bahkan kami telah merasakan manfaatnya untuk tetap
bisa bercocok tanam di setiap puncak musim kemarau yang sudah berjalan 4
tahun ini. Ketika penampungan air hujan itu kini kami sempurnakan
dengan penghematan penggunaan air dengan teknik drip irrigation – maka
insyaAllah secara keseluruhan akan luar biasa dampaknya bagi pengelolaan
air hujan yang sangat efektif.
Dengan
teknik tersebut, kami telah menerapkannya untuk tanaman zaitun di
wilayah yang paling kering se Jabodetabek – yaitu wilayah Jonggol.
Dengan teknik yang sama pula Alhamdulillah kami sudah bisa mulai menanam
pisang tanpa harus menunggu hujan turun – seperti yang kami lakukan
dengan project iGrow pisang di Blitar.
Teknik
Drip Irrigation ini sederhana dan juga tidak mahal, terjangkau oleh
petani kecil sekalipun – namun efektivitas dampaknya bisa sangat
berpengaruh besar dalam pertanian suatu negara. Majalah terkemuka dunia Fortune
edisi bulan ini memuat 50 perusaahaan yang membuat perubahan-perubahan
besar di seluruh dunia – salah satunya adalah perusahaan India yang
memperkenalkan konsep Drip Irrigation yang tepat guna bagi para petani
India dari skala yang paling kecil sampai raksasa-raksasa industri
pertaniannya.
InsyaAllah bersama-sama kita bisa membuat perubahan, kita bisa mulai dengan dua
hal ini yaitu pertama beristigfar banyak-banyak – kemudian bersamaan
dengan itu juga berikhtiar secara terus menerus tanpa mengenal lelah.
Ini bisa kita mulai lakukan pada tingkat individu, dan insyaAllah akan
menjadi seperti bola salju bila kita ajak-ajak orang lain untuk
melakukan hal yang sama. Insyaallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar