Oleh: Muhaimin Iqbal
Delta (Δ-huruf besar atau δ-huruf kecil) adalah huruf keempat dalam aksara Yunani yang biasa digunakan untuk menyingkat kata diaphora yang berarti perbedaan atau perubahan. Simbol ini banyak sekali digunakan dalam rumus-rumus ilmiah untuk mewakili adanya selisih, perubahan atau perbedaan dari sesuatu dengan sesuatu lainnya. Dalam kehidupan ini keberadaan kita seharusnya juga untuk membuat Δ positif atau perbaikan-perbaikan yang mampu kita lakukan.
Masing-masing
kita tentu punya pilihan di bidang apa kita ingin membuat perubahan
itu. Bahkan Allah perintahkan langsung kepada kita untuk membuat
perubahan itu :
“Yang
demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali
tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka
sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS 8:53)
Jadi
yang akan membuat perubahan terhadap nikmat berupa apapun yang kita
terima, itu adalah dimulai dari diri kita sendiri yang mau merubahnya –
lalu Allah-pun merubahnya sesuai dengan yang kita lakukan.
Sekitar
12 tahun lalu saya terlibat dalam iring-iringan sejumlah tokoh
masyarakat dan (calon) pejabat keliling Jawa Barat dan Banten, berangkat
menyusuri pantai utara dan pulangnya lewat selatan. Saat itu saya masih
menyaksikan ribuan atau bahkan puluhan ribu pohon-pohon sawit dan juga
kelapa yang masih produktif.
Kemarin
saya melakukan perjalanan yang nyaris sama – dan yang saya saksikan
adalah adanya dua delta atau dua perubahan dari yang saya saksikan
sebelumnya. Delta pertama adalah dalam kondisi kebun-kebun sawit yang
ribuan atau puluhan ribu hektar tersebut – kini tidak lagi berproduksi
secara ekonomis. Mungkin sudah lewat masa produktifnya, dan
pohon-pohonnya sudah terlalu tinggi untuk dipetik buahnya.
Akibatnya
para pemilik kebun tersebut – konon dahulunya dimiliki oleh masyarakat
dengan pola inti plasma – lebih membiarkan saja kebun sawitnya menua
tanpa bisa memetik hasilnya.
Delta
kedua adalah dari sisi kepemilikan lahan, tokon masyarakat yang menemai
saya keliling seolah hafal betul nama-nama pemilik kebun-kebun yang
sangat luas tersebut kini. Ada dari kalangan pengusaha tentu saja, ada
kalangan politikus yang kini sebagiannya di dalam sel, ada dari kalangan
selebritis dan yang banyak adalah dari kalangan menengah atas Jakarta.
Mereka
membuat delta di atas kertas – yaitu merubah kepemilikan lahan dari
masyarakt – menjadi milik-milik mereka, tentu dengan membelinya secara
legal. Tetapi di lapangan para pemilik ini rupanya belum membuat delta
apa-apa. Lahan-lahan dibeli untuk dimiliki dan bukan dibeli untuk
dimakmurkan.
Daerah
tersebut menjadi area perburuan tanah orang-orang Jakarta yang memiliki
uang karena di sekitar daerah itulah telah dibangun Kawasan Ekonomi
Khusus, rencana jalan tol baru dan bahkan rencana lapangan terbang baru.
Delta
yang dibuat oleh pemerintah dengan berbagai rencana tersebut, tentu
memberi peluang delta besar bagi masyarakat yang bisa mengambil peluang
untuk menikmatinya. Siapa yang paling banyak ? ya orang-orang yang
beruang dan mampu membeli lahan-lahan tersebut.
Bagaimana
dengan masyarakat lainnya ? Dalam hitungan saya mayoritas masyarakat
belum akan memperoleh manfaatnya sampai bertahun-tahun kedepan, ketika
rencana-rencana tersebut bener-bener terimplementasi dan lapangan kerja
baru bermunculan di daerah itu.
Sementara
itu yang terjadi sekarang dan sampai beberapa tahun kedepan adalah
hilangnya lapangan kerja dari puluhan ribu hektar kebun sawit yang
sekarang tidak lagi berproduksi ini. Mayoritas masyarakat hidup dengan
perubahan atau delta negative yang nyata yang terjadi saat ini – karena
mereka kehilangan lapangan pekerjaannya secara perlahan tetapi pasti.
Tentu
baik bagi pemerintah untuk membuat perencanaan jauh kedepan – seperti
yang mereka rencanakan untuk daerah tersebut. Tetapi pada saat yang
bersamaan juga harus diantisipasi masalah-masalah yang timbul dari
rencana jangka panjang semacam ini.
Tanpa
disadari oleh banyak pihak, setiap rencana pengembangan suatu daerah –
tanah-tanah di daerah pengembangan tersebut menjadi ajang spekulasi
untuk dikuasai oleh mereka-mereka yang memiliki uang. Saat itulah
hamparan tanah luas menjadi terbengkalai, karena hanya ditunggu naik
harganya saja.
Saya menyaksikan kondisi seperti ini bukan hanya di Banten dan Jawa
Barat tersebut, tetapi juga di daerah-daerah rencana pengembangan di
Jawa Tengah dan Jawa Timur – sangat mungkin terjadi juga di wilayah lain
Indonesia. Banyak sekali tanah-tanah yang dahulu produktif untuk sumber
pangan, kini dianggurkan oleh pemiliknya karena hanya untuk dinikmati
kenaikan harganya.
Lantas
delta apa yang mestinya bisa kita lakukan agar rencana-rencana jangka
panjang pemerintah tersebut tidak justru berdampat buruk bagi ekonomi
masyarakat setempat saat ini ?
Saya
ambilkan contoh kasus kondisi Banten tersebut di atas. Mungkin masih
perlu waktu satu atau dua pemerintahan lagi sebelum Kawasan Ekonomi
Khusus, jalan tol dan lapangan terbang baru benar-benar menggerakkan
ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang besar di daerah tersebut.
Saat
ini yang sudah ada adalah puluhan ribu kebun sawit tua yang tidak lagi
produktif. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan resources yang
begitu besar ini menjadi penggerak ekonomi kawasan tersebut sekarang
juga – sambil menunggu program-program pemerintah yang terkait
benar-benar terimplementasi.
Siapa-pun
pemilik lahan-lahan tersebut kini, pasti sebagian besarnya mereka juga
pingin kebunnya lebih produktif ketimbang sekedar spekulasi tanah.
Lantas apa yang bisa dilakukan dengan kebun sawit tua – yang untuk
menebangnyapun membutuhkan pekerjaan yang luar biasa berat ?
Solusinya
kurang lebih begini, lagi-lagi kebun sawit tersebut meskipun tidak
berbuah – tetapi kan mengandung biomassa yang sangat besar. Maka
industri biomassa inilah yang mestinya bisa dilakukan saat ini juga.
Pohon
sawit beserta daun-taunnya memang tidak kuat untuk bangunan langsung,
tetapi ketika pohon-pohon beserta daunnya tersebut dilumatkan menjadi
bubur cellulose. Maka bubur cellulose ini bisa setidaknya berpeluang
menjadi 5 bahan yang berguna yaitu Fuel (briket bahan bakar), Fiber
(untuk kertas dlsb), Feedstock (untuk bahan biocomposites), Fodder (
dengan fermentasi jadi pakan ternak) dan Fertilizer (pupuk).
Tinggal
para insinyur bioproses mengoptimalkan mana yang paling tinggi delta
nilainya antara nilai barang yang dihasilkan dengan biaya untuk mengolah
pohon-pohon sawit yang sudah tua tersebut. Katakanlah delta nilainya
sangat kecil sekalipun atau bahkan nol – bisa jadi upaya ini masih
berharga untuk dilakukan. Mengapa ?
Setelah
pohon-pohon sawit yang tidak produktif tersebut diambil dan diproses,
puluhan ribu hektar lahan tersebut kembali bisa dijadikan kebun-kebun
produktif. Bila ditanami pisang atau buah-buah lainnya bisa menghentikan
impor aneka buah yang kini cenderung melonjak. Bila ditanami kedelai
akan mengurangi impor kedelai – yang berarti juga mengurangi konsumsi
kedelai GMO. Lahan-lahan yang semula tidak lagi produktif ini, bisa
menjadi sumber kekuatan baru dalam membangun ketahanan pangan di daerah
maupun nasional.
Yang
akan lebih dasyat adalah efek lapangan kerja yang akan ditimbulkannya
sekarang dan yang akan datang. Mulai dari menebang pohon tua,
mengolahnya, mengganti tanaman baru, mengolah hasilnya sampai
memperdagangkan hasilnya – semuanya bisa dimulai dalam waktu dekat –
asal semua pihak yang berkepentingan mau membuat perubahan atau delta
tersebut. Kalau yang ditanam kedelai, dalam beberapa bulan sudah akan
panen. Bila yang ditanam pisang , satu tahun sudah panen dst.
Kita
bisa melihat sekarang, bahwa tugas pemerintah adalah membuat
rencana-rencana besar dan mengimplementasikannya. Mereka akan akan
membuat delta besar dalam jangka panjang. Tetapi masyarakat jangan
menjadi korban delta negative jangka pendeknya, masyarakat juga harus
bisa menikmati delta positif saat ini juga – dengan membuat
perubahan-perubahan yang bisa dilakukannya. InsyaAllah kita bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar