Oleh: Muhaimin Iqbal
Riil atau nyata lawan katanya adalah semu, jadi bila dalam bidang ekonomi kita mengenal sektor riil – diluar sektor riil ini berarti bisa disebut sektor semu ? Aneh kita mendengarnya – tetapi inilah yang sebenarnya nampak jelas dalam beberapa hari terakhir. Semua perusahaan dan kegiatan sektor riil berjalan normal apa adanya, tetapi di dunia yang semu – Rupiah jatuh dan demikian pula bursa saham di seluruh dunia. Anehnya energi kita begitu banyak terbuang untuk merespon yang semu ini ketimbang menggerakkan yang nyata.
Di
hari jatuhnya Rupiah menembus angka Rp 14,000/US$ dan harga saham juga
jatuh, para pemimpin negeri ini dan pelaku usaha top berkumpul untuk
berusaha menyelamatkan Rupiah dan pasar saham. Bahkan menteri BUMN serta
merta menggerakkan kekuatan yang ada adalam kendalinya – yaitu para
BUMN untuk menggelontorkan minimal Rp 10 trilyun untuk menyelamatkan
bursa saham.
Tapi
apa maknanya ini ? kalau toh para BUMN memiliki dana lebih begitu
besar, apakah benar penggunaannya untuk menyelamatkan 1 atau 2 % IHSG
yang memang sedang mengalami trend menurun bersama bursa-bursa saham
dunia lainnya ? Apalah artinya 1- 2 % ini dibandingkan dana yang 10 trilyun tersebut ?
Mengapa
tidak misalnya bila ada dana ngganggur yang begitu besar dipakai untuk
menggerakkan sektor riil yang kini lagi haus modal ? Dunia pertanian
kita yang tidak kunjung swasembada apalagi bersaing dengan industri
pertanian negeri-negeri lain karena antara lain akses modal yang
terbatas.
Kenapa
tidak dipakai untuk membiayai pembibitan sapi – yang begitu banyak
dagingnya dibutuhkan tetapi sangat-sangat sedikit yang mau melakukan
pembibitan ini karena merupakan mata rantai peternakan sapi yang paling
kecil margin keuntungannya – tetapi harus ada yang melakukannya.
Mengapa
tidak dipakai untuk membuka lahan pertanian buah yang kita masih juga
terus impor dengan laju yang semakin meningkat ? mengapa tidak untuk
membiayai UKM yang justru menjadi andalan ekonomi ketika dunia lagi
gonjang-ganjing ?
Pendek
kata sangat banyak sektor riil yang bisa digerakkan dengan dana Rp 10
trilyun ini, belum lagi pada efek penciptaan tenaga kerjanya. Sementara
ketika dana tersebut ditaburkan ke bursa saham yang memang lagi turun
trend-nya, seperti menggarami lautan – nyaris tanpa efek. Kita mungkin
hanya bisa sedikit berbangga bahwa bursa saham kita tidak seburuk bursa
saham di negeri-negeri lainnya.
Tetapi
dana Rp 10 trilyun-nya BUMN tersebut sebenarnya hanyalah puncak gunung
es dari miss orientasi penggunaan dana publik. Dari dunia perbankan
bulan Agustus ini saja ada ekses likwiditas sebesar Rp 240 trilyun –
sampai-sampai Bank Indonesia harus menambah instrumen baru yaitu SBI
yang bertenor 9-12 bulan untuk menyerap ekses likwiditas tersebut.
Bayangkan
situasi ini, ketika ekonomi sedang terengah-engah, lapangan pekerjaan
terancam, infrastruktur belum banyak mengalami kemajuan, pasar dibanjiri
barang impor, harga daging mahal dlsb – sementara ada modal yang begitu
besar terkunci di brankas-nya BI sampai 9-12 bulan kedepan ?
Itu
baru dana dari uang Anda yang ada di bank, bagaimana dengan dana
pensiun Anda, uang asuransi Anda, dana hari tua Anda –semuanya bernasib
sama – yaitu kalau tidak untuk nguyahi segoro pasar modal, ya tersimpan di deposito bank yang berujung di SBI tersebut.
Inilah
akibatnya ketika kita terbius dengan ekonomi yang semu, kita teralihkan
dari sesuatu yang nyata. Dampaknya adalah sementara para pemimpin
ekonomi sibuk mempertahankan citra dan nilai semu Rupiah, setelah 70
tahun merdeka, 7 presiden berganti masih ada 27 juta lebih rakyat kita
miskin dan bahkan menurut FAO 19.4 jutanya masih lapar.
Mengapa
tidak fokus dana lebih BUMN, ekses likwiditas perbankan dan industri
keuangan lainnya diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan dan mencegah
kelaparan ini ? Sektor riil itu dipandang beresiko tinggi dari kacamata
para pengelola dana tersebut, maka wajar mereka memilih yang aman saja
yaitu menaruh dananya di Deposito dan SBI.
Yang
salah kembali ke rakyat kayak kita-kita juga sebenarnya, mengapa kita
terlalu mengandalkan mereka untuk mengelola uang kita. Kebanyakan
masyarakat kita lebih memilih menabung di bank, reksadana, unit link,
asuransi, dana pensiun dlsb – yang notabene menyerahkan dana kita untuk
dikelola di sektor yang semu, ketimbang untuk belajar membangun usaha
sendiri, belajar menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan dan
mencegah kelaparan di sekitar kita.
Maka Allah-pun mempertanyakan : “Maka
tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki
lagi sukar ? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu ?
(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari
kelaparan, …” (QS 90 :11-14)
Bagi
Anda yang tertarik untuk belajar menempuh jalan yang mendaki lagi sukar
ini, kami menyediakan beberapa sarananya. Diantaranya adalah Anda bisa
belajar jungkir balik merintis usaha sendiri bersama kami di Startup
Center – Depok, atau berpanas-panas ria belajar bertani di puncak
kemaraunya – Jonggol/Bogor nan gersang – di Madrasah Al-Filaha.
Tidak
ada yang mudah memang, itulah sebabnya Allah sendiri menyebutnya jalan
yang mendaki lagi sukar. Meskipun demikian kita rela dengan ikhlas
menempuhnya karena kita hanya berharap akan ridloNya untuk kemudian
menaruh kita di golongan kanan (QS 90:18). Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar