Oleh: Muhaimin Iqbal
Hari-hari ini harga minyak mentah dunia jatuh ke titik terendah dalam 11 tahun terakhir, saat ini sudah dibawah US$ 30/barrel. Sedikit yang kita bisa rasakan adalah adanya penurunan harga BBM, namun dampak ekonomi secara keseluruhan tidaklah sederhana. Bukan hanya para pekerja di sektor perminyakan yang terancam pekerjaannya, tetapi di berbagai sektor lain juga bisa terseret dengan kejatuhan harga minyak ini. Ada yang perlu kita waspadai agar tidak ikut menjadi korban berikutnya dari trend yang satu ini.
Pertama
yang ikut turun drastis dari anjloknya harga minyak adalah komoditi
substitusinya seperti minyak sawit. Harga minyak sawit dunia kini berada
pada kisaran angka US$ 500/MT atau kurang dari separuh dari harga
minyak sawit dunia pada titik tertingginya tahun 2008 di kisaran angka
US$ 1,150/MT.
Di
Indonesia ada sekitar 11 juta hektar kebun sawit dan lebih dari 4 juta
orang tenaga kerja, bisa dibayangkan dampak seriusnya penurunan harga
minyak dunia tersebut pada industri sawit dan tenaga kerjanya bila
penurunan harga tersebut terus berlangsung.
Padahal
industri sawit bukan hanya satu-satunya yang terkena, bahkan harga
beras dunia-pun ikut jatuh mengikuti jatuhnya harga minyak. Harga beras
dunia yang pernah mencapai US$ 1,000/MT di bulan April-Mei 2008, kini harganya hanya di kisaran US$ 350/MT.
Bukankah
ini baik untuk kita yang makan beras dan sebagian beras kita masih
diimpor ? Tidak juga karena harga beras dunia yang hanya di
kisaran separuh dari harga pokok beras dalam negeri bisa mengancam
kelangsungan kehidupan petani beras kita. Padahal di sektor ini ada
sekitar 13 juta hektar sawah yang digarap, kalau diambil rata-rata 2
orang pekerja saja per ha/nya – ada 26 juta orang bekerja di sektor
per-berasan.
Komoditi
pertanian secara umum juga terkena dampak dari penurunan harga minyak
dunia tersebut, hanya sedikit sekali komoditi atau hasil pertanian yang
sejauh ini tidak terkena dampaknya. Di sektor buah yang tidak
terpengaruh sejauh ini adalah buah pisang yang harganya di pasarn dunia
masih di kisaran US$ 930/MT, dan di sektor daging yang tidak terpengaruh
adalah daging ayam yang masih bertengger di kisaran angka US$ 2,300/MT.
Bagaimana
dengan emas ? ketika komoditi-komoditi umumnya jatuh, harga emas juga
ikut turun. Tetapi penurunan harga emas tidak sedrastis penurunan
komoditi lainnya, ini membuktikan ketahanan daya beli emas selama tiga
dasawarsa terakhir. Tiga puluh tahun lalu harga 1 troy ounce emas setara
dengan 1 metric ton minyak sawit, kini 1 troy ounce emas setara dengan 2 metric ton minyak sawit.
Terhadap
minyak mentah lebih meningkat lagi daya belinya, tiga puluh tahun lalu 1
troy ounce emas setara 12 barrel minyak mentah, kini 1 troy ounce emas
yang sama mendapatkan sekitar 30 barrel minyak mentah. Sedangkan
terhadap pisang yang harganya terus meningkat, daya beli emas relatif
stabil di kisaran 1.1 ton pisang untuk 1 troy ounce emas.
Terhadap
kebutuhan pokok kita beras di pasar internasional, daya beli emas juga
meningkat tajam ketika harga beras jatuh seperti saat ini. Setelah
berpuluh tahun 1 troy ounce emas setara kisaran 1.4 ton beras, kini
cukup untuk membeli sampai 3 ton beras di pasar internasional.
Pertanyaannya
adalah apakah trend kedepan akan terus berlangsung rezim harga minyak
yang rendah yang ikut membahayakan sejumlah sektor ini ? Harga minyak
mentah dunia tidak pernah berhenti pada sektor ekonomi. Pergerakan liar
harganya juga sangat dipengaruhi oleh situasi geopolitik para
negara-negara produsennya.
Kita
tahu bahwa harga minyak yang rendah bisa digunakan untuk melemahkan
kekuatan ekonomi negara-negara produsennya, sedangkan top 10 produsen
minyak dunia adalah negara-negara yang saat ini saling bersengketa dan
berebut pengaruh – maka bisa dibayangkan apa saja yang sudah dan akan
mereka lakukan dengan minyaknya.
Di
antara Top 10 negara produsen minyak ini setidaknya 7 diantaranya
termasuk yang saya sebut sedang bersengketa satu sama lain atau sedang berebut
pengaruhnya, yaitu Saudi Arabia, Iran, Iraq, UAE, Amerika, Russia dan
China. Tanpa kita sadari pertengkaran diantara mereka bisa membahayakan
lapangan kerja kita di sektor perminyakan dan bahkan juga merembet ke
sebagian sektor pertanian.
Di
sisi lain, harga minyak tentu juga dipengaruhi oleh kepentingan bisnis.
Ketika para produsen berebut pangsa pasar atau setidaknya berusaha
mempertahankan pangsa pasarnya – sementara permintaan lagi rendah, maka
perebutan pasar yang berdarah-darah di red ocean terus memberi dorongan
kuat untuk turunnya harga minyak.
Lantas apa yang bisa kita lakukan bila trend penurunan harga minyak tersebut terus memburuk ?
Bagi
para pemimpin dan pengambil keputusan, rendahnya harga minyak mentah
dunia ini tidak boleh melenakan mereka dari terus pencarian dan
penyiapan energi baru dan terbarukan (EBT). Investasi baru di bidang
energi tentu kurang menarik dilakukan saat ini karena rendahnya nilai
jual energi secara keseluruhan, tetapi bila ini tidak dilakukan – kita
akan mengalami seperti ketika terjadi huru hara tortilla di Meksiko – bila harga minyak tiba-tiba melonjak kembali karena satu dan lain hal.
Bagi
masyarakat awam seperti kita-kita, juga jangan terlena dengan rendahnya
harga BBM saat ini. Harga BBM bisa saja kembali melonjak setiap waktu
dan juga bahkan bisa mengalami kelangkaan. Maka kita harus mulai
berfikir beyond fossil-based economy, yang sudah kita rintis melalui
situs ini – baik pemikiran dan exercises-nya adalah mulai membangun
kompetensi di bidang bioeconomy – yang bukunya-pun Alhamdulillah sudah kita released untuk bisa di download secara gratis.
Bila aktivitas di sektor riil bioeconomy inipun
belum bisa kita lakukan, maka apa yang sudah kita lakukan bersama
selama 8 tahun terakhir yaitu menggunakan emas atau Dinar sebagai
proteksi nilai – terbukti dari berbagai statistik di atas – efektif
untuk mempertahankan daya beli kita.
Mudah-mudahan
hal kecil ini bisa menjadi salah satu persiapan kita untuk bisa survive
bila konspirasi harga minyak dunia tersebut terus berkembang menjadi bola liar yang berdampak kemana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar