Oleh: Muhaimin Iqbal
Otak manusia itu sangat lentur sehingga sebenarnya mudah untuk belajar segala sesuatu yang baru. Meskipun demikian mengapa lebih banyak orang yang suka menekuni satu bidang yang sama berpuluh tahun, mengapa orang bisa patah hati dan putus asa, orang bisa mengalami kesedihan yang berlebihan dan lain sebagianya – karena tidak memanfaatkan kelenturan otak itu. Sebaliknya bila kita bisa memanfaatkan kelenturan otak kita atau yang disebut brain plasticity secara optimal – maka dengan mudah kita bisa belajar berbagai skills yang baru, beradaptasi dengan situasi yang berbeda dlsb. Bagaimana caranya ?
Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya dalam tulisan Menghafal Ilmu dan Membangun Skills ,
otak manusia itu awalnya terdiri dari sel-sel syaraf (neurons) yang
acak tidak tersambung satu sama lain. Ketika kita bayi, kita mendengar
dan melihat segala sesuatu – tetapi sangat sulit merangkainya menjadi
informasi yang melahirkan ilmu.
Ketika
kita beranjak dewasa dan kita mulai belajar sesuatu, sel-sel syaraf
tersebut mulai terhubung satu sama lain dengan apa yang disebut synapses
dan membentuk neural pathways atau jalan setapak diantara belantara sel
syaraf.
Pelajaran
yang terus-menerus diulang dan apalagi dilakukan, akan membentuk jalan
setapak yang menjadi semakin permanen seperti jalan yang dicor. Pada
tahap ini kita bisa melakukan apa saja tanpa harus mengingat-ingat lagi
caranya. Kita bisa berjalan, bisa berbicara dengan begitu banyak kosa
kata dlsb karena jalan yang telah dicor tersebut.
Ketika
sesorang melakukan pekerjaan yang sama berpuluh tahun, sejatinya dia
seperti mengecor jalan setapak tersebut di dalam otaknya. Saking kuatnya
cor-coran jalan ini, membuat dia tidak siap untuk mengantinya dengan
jalan yang lain. Itulah mengapa 9 dari 10 pensiunan tidak siap ketika
masa pensiun tiba, padahal rata-rata orang pensiun masih berada pada
puncak kematangan usia produktifnya 55 tahun – usia dimana Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memulai perang besar pertamanya.
Proses
pengecoran jalan itu juga tidak harus berjalan berpuluh tahun, bisa
berjalan sangat singkat – tetapi bila pengalaman itu begitu kuat
membekas – dia sudah menjadi jalan setapak yang dicor.
Contohnya
adalah seorang yang jatuh cinta, meskipun sangat singkat tetapi karena
otaknya dipenuhi dengan segala sesuatu tentang orang yang dicintainya –
maka dia sejatinya telah membangun secara kilat jalan setapak itu. Maka
ketika yang dicintainya meninggalkannya, dia bisa putus asa , patah hati
dan lain sebagainya – karena tidak bisa memikirkan ada jalan setapak
lain yang bisa dibangunnya.
Namun
sebagaimana dampak negative dari brain plasticity ketika kita tidak
menggunakannya, bila sebaliknya kita bisa menggunakan brain plasticity
kita secara optimal – berbagai dampak positif akan dapat kita alami.
Kita
akan dengan mudah belajar berbagai skills baru atau memperluas koleksi
skills yang sudah ada, kita dengan mudah bisa recover dari kesedihan
ketika ditinggalkan orang yang kita cintai, bahkan kita bisa menterapi
diri kita untuk sembuh dari berbagai penyakit dlsb.
Bagaimana
caranya ? ya dengan memahami cara kerja otak kita tadi, seperti orang
yang jatuh cinta tadi. Mengapa dia bisa membangun jalan setapak yang
dicor sangat kuat meskipun dalam waktu yang singkat ? Karena ketika dia
jatuh cinta, dia memenuhi otaknya dengan apa saya yang terkait dengan
cintanya.
Dalam
kaitannya dengan skills baru yang kita pelajari, kita bisa menguasainya
dengan sangat cepat bila kita bisa ‘jatuh cinta’ pada skills tersebut.
Siang malam kita pikirkan , dan bahkan dalam tidur sekalipun kita
bermimpi dengannya – maka dalam waktu yang cepat kita akan menguasi
skills baru tersebut.
Siapa
yang mengajarkan cara ini ? bukan para ahli syaraf. Lebih dari 1400
tahun sebelum para ahli syaraf mengetahi cara kerja otak kita ini, kita
sudah diajari oleh Allah melalui Al-Qur’an – bahwa untuk menjadi ahli
dalam setiap inti persoalan atau yang disebut ulil albab – kita harus
terus memikirkan atau mengingatnya tanpa henti baik ketika kita sedang
berdiri (beraktifitas) , sedang duduk atau bahkan sedang tidur.
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulil albab),
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS 3:190-191)
Mengingat
atau dzikr adalah keyword yang digunakan oleh Allah dalam berbagai
urusan lainnya, karena dengan mengingat – yang dampaknya kita menjadi
hafal – itulah sesungguhnya jalan setapak antar sel syaraf di otak kita
dibangun.
Maka ketika hati kita lagi galau, pikiran ruwet dan sejenisnya – cara menenangkannya juga dengan mengingat Allah :
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS 13:28)
Banyak-banyak mengingat Allah juga menjadi kunci keberuntungan, seperti di ayat berikut :
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS 62:10).
Bahkan
dengan menginat Allah banyak-banyak, kita juga akan bisa merubah segala
persoalan yang kita hadapi menjadi peluang bagi kita untuk menjadi
khalifah di muka bumi – memimin dunia di bidang yang kita miliki :
“Atau
siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila
ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang
menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping
Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).” (QS 27:62)
Lantas
apa hubungan mengingat atau dzikr ini dengan skills baru yang bisa
menjadi sangat mudah untuk dipelajari – bahkan kita bisa menjadi ahlinya
dalam waktu cepat ? Karena orang yang banyak-banyak berdzikir otaknya
menjadi fokus atau khusu’ , seperti belantara yang sudah dibersihkan
dengan land clearing – tinggal membangun jalannya – jalan setapak apa
saja yang kita ingin taruh diatasnya akan mudah terbangun. Itulah
mengapa banyak sekali ulama-ulama dahulu yang menguasai berbagai bidang
ilmu dan keahlian yang sangat luas.
Dalam
profesi (baru) yang kita bangun – jalan setapak tersebut juga akan
mudah sekali terbangun bila kita benar-benar melaksanakannya di
lapangan, bukan sekedar teori. Tahun 1980-an Center for
Creative Leadership mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa hanya 10 %
saja pendidikan formal itu berkontribusi pada leadership skills
seseorang.
Selebihnya
20 % berasal dari exposure atau interaksi dengan orang lain yang sudah
ahli di bidangnya, dan selebihnya yang paling dominan 70% oleh
experience yang dia lakukan sendiri. Mengapa demikian ? karena melakukan
adalah cara yang paling mudah dan cepat dalam membangun jalan setapak
di otak kita tersebut.
Sekali
Anda bisa berenang – seterusnya Anda bisa berenang, sekali bisa naik
sepeda – seterusnya Anda bisa naik sepeda. Anda tidak bisa berenang
hanya dengan membaca buku terbaik tentang teori renang, Anda juga tidak
bisa bersepeda – hanya dengan memahami cara kerja sepeda.
Itulah skills, dia menuntut tangible exercises
– yang dalam bahasa agama adalah Amal. Yang akan memimpin dubia di
bidangnya masing-masing adalah orang yang memiliki skills – yaitu orang
yang beramal shalih – bukan orang yang bergelar atau yang pandai
berteori. Dan ini adalah janji Allah – siapa yang lebih menepati janji
selain dari pada Dia ?
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada
dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik.” (QS 24:55)
Lantas apa yang bisa kita lakukan agar tidak terjebak pada sekedar teori atau wacana ? Ya dengan melakukan tangible exercises atau amal nyatanya di lapangan itu tadi. Itulah inti dari project Skills Whiz
yang digagas Startup Center untuk bisa menyediakan solusi web-based
ataupun aplikasi – yang diaharapkan dapat menjadi platform bagi
tumbuhnya berbagai skills baru secara terstruktur, sistematis dan
massive di negeri ini – karena kita butuh tambahan skilled-worker yang
sangat banyak (58 juta orang sampai 2030) dan dengan masing-masing
produktifitas yang meningkat 60%. InsyaAllah kita bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar