Oleh: Muhaimin Iqbal
Bila riba begitu dilarang dalam Islam, pastilah karena riba sangat banyak menimbulkan mudharat – sampai-sampai kenaikan harga cabe, kelangkaan bahan pangan dan berbagai produk kebutuhan lainnya-pun bisa karena riba. Tetapi Dia Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, pasti tidak akan membiarkan hambanya begitu saja terlilit dengan riba tanpa memberinya solusi. Dan solusi dariNya itu begitu efektif sehingga satu solusi kadang menyelesaikan begitu banyak masalah sekaligus. Untuk mengatasi riba ini saya melihat adanya solusi 3 in 1-nya, satu solusi untuk mengatasi tiga pilar ekonomi sekaligus yaitu pasar, produksi dan modal.
Sebelum
menguraikan 3 in 1 solusi riba ini, saya berikan contoh dahulu betapa
satu solusi di Al-Qur’an mengatasi 3 masalah sekaligus yaitu kemiskinan,
kekeringan dan ketiadaan keturunan (kemandulan) – satu solusi untuk ini
adalah Istighfar (QS 71: 10-12).
Sedangkan
dalam masalah riba, riba meruntuhkan tiga pilar ekonomi tersebut di
atas. Di pasar, Umar bin Khattab dahulu sebagai muhtasib (pengawas
pasar) sering berdiri di gerbang pasar dan berteriak ‘tidak
boleh jual beli di pasar kecuali yang tahu syariat jual beli, (bila
tidak) saya khawatir kalian terlibat dalam riba tanpa mengetahuinya’.
Dalam
hal produksi, hampir di setiap barang yang kita konsumsi dan kita
gunakan sehari-hari saat ini menjadi mahal karena riba menyusup di
ongkos produksinya. Di bidang sandang, pakain yang kita produksi menjadi
mahal karena produsen menghitung beban bunga. Di pangan cabe dan daging
dlsb menjadi mahal karena bersaing dengan beban bunga. Di papan, rumah
menjadi tidak terjangkau karena harga rumah sudah memperhitungkan beban
bunga. Pendek kata seluruh kebutuhan kita di sandang, pangan, dan papan
semuanya dibebani dengan biaya bunga.
Dalam
hal modal-pun masalahnya sama yaitu riba ini. Karena adanya riba suku
bunga bank 6% misalnya, orang yang hendak memutar hartanya harus
bersaing dengan bunga 6 % yang dijamin pemerintah dan rakyatnya ini.
Efeknya
menjadi lebih serius karena bank yang mengelola dana masyarakat akan
mengambil margin yang kurang lebih sama dengan yang diberikan ke para
penabungnya. Bila ke masyarakat bunga yang diberikan 6%, ditambah jumlah
yang sama untuk bank-nya – maka kalau Anda hendak pinjam ke bank untuk
usaha – Anda terkena beban bunga sekitar 12 % per tahun.
Usaha
dengan tingkat hasil 10 % per tahun sudah merupakan usaha yang sangat
baik untuk standar dunia, dengan tingkat hasil 20 % per tahun adalah
usaha yang extra ordinary – luar biasa. Tetapi meskipun Anda berkinerja
sangat baik, hasilnya belum cukup untuk membayar bunga bank. Dengan
kinerja extra ordinary, lebih dari separuh hasil Anda hanya untuk
membayar bunga bank.
Inilah
sebabnya, jalan satu –satunya untuk negeri ini bisa memakmurkan
rakyatnya adalah bila kita bisa membebaskan diri dari belenggu riba.
Sulitkah ini ? mestinya tidak – karena ada petunjuknya yang sangat
terperinci, detail, urut – yang direnceng oleh Allah dalam 9 ayat mulai
dari Surat Al-Baqarah 275 sampai 283.
Begitu
Allah memperingatkan ancaman riba, Allah langsung memberikan solusinya
yaitu jual beli (QS 2:275), maka hanya melalui menghidup-hidupkan jual
beli inilah kita bisa menghilangkan riba. Salah satu jenis jual beli
yang mengandung rukhsah –
kemudahan dari Allah seperti jual beli dengan akad salam misalnya, sudah
akan bisa mengatasi tiga masalah tersebut di atas sekaligus – yaitu
masalah pasar, produksi dan modal.
Dengan
akad salam, di pasar akan ada jaminan ketersediaan produk sehingga
terhindar dari kelangkaan yang mendorong harga naik seperti kasus
mahalnya harga cabe dan daging. Di produksi akan ada aliran modal yang
membiayainya, sehingga produksi bisa optimal dalam kwalitas dan
kwantitas.
Mengapa
Apple Washington mulus-mulus dan bisa membanjiri pasar ini sekuat daya
beli kita – ya karena suku bunga riba di negeri itu jauh lebih rendah
dari kita hanya 1.35%. Mengapa daging dan perbagai produk turunannya
dari New Zealand dan Australia bisa membanjiri pasar ini, ya antara lain
karena suku bunga di negeri itu kurang lebih hanya separuh dari suku
bunga di negeri ini.
Bayangkan
kalau kita bisa menghilangkan riba, petani dan produsen kita akan
kebanjiran modal, tenaga-tenaga dengan skills terbaik akan menyerbu
sektor ini, dan bukan hanya kebutuhan pangan dalam negeri yang bisa
diatasi tetapi juga kita akan mampu bersaing secara global.
Tentu
tidak fair kalau hanya menyalahkan riba yang menjadi semua penyebab
kekacauan ekonomi ini, tetapi dengan upaya meninggalkan riba – yang
merupakan bentuk ketaatan kita – Allah akan memudahkan kita untuk
memperoleh ilmunya (QS 2:282) yang lain dalam mengatasi berbagai
persoalan yang kita hadapi.
Untuk
melawan riba, awalnya kita disuruh berdagang (QS 2:275) – karena dengan
itulah umat ini akan memiliki kekuatan untuk bersedekah – menolong yang
kurang mampu– yang dengan itulah riba akan dimusnahkanNya (QS 2:276).
Kalau kita sendiri yang kurang mampu, bagaimana bisa menolong orang lain
? yang tidak memiliki tidak bisa memberi – itulah mengapa solusi
berdagang oleh Allah ditaruh ditempat yang sangat awal – yaitu begitu
Allah mengingatkan bahaya riba – kita sudah langsung diberi solusi
berdagang ini.
Solusi
itu begitu detil dan antisipatif – sehingga permasalahan yang timbul
dari perdagangan inipun sudah diberikan solusinya oleh Allah dalam
rangkian ayat tersebut. Pada saat saya memperkenalkan konsep jual beli salam ini
pada tulisan sebelumnya, ada pertanyaan tentang bagaimana kalau petani
gagal memproduksi hasil pertanian yang sudah dibeli dengan akad salam
misalnya.
Saya
tidak langsung menjawabnya – karena inilah realita di lapangan, benar
bahwa hasil panen bisa gagal atau tidak memberikan seperti yang
diharapkan. Lantas apa solusinya bila terjadi yang demikian ? Ternyata
jawabannya juga sudah disitu-situ juga, yaitu di ayat lanjutannya.
Petani
atau produsen yang gagal berproduksi seperti yang dijanjikannya,
posisinya seperti orang yang berhutang. Orang yang berhutang biasanya
lebih lemah dari yang memberi hutangan, maka yang memberi hutangan
di-encouraged oleh Allah untuk memberi kelonggaran waktu, dan bahkan
lebih baik lagi kalau mau mensedekahkannya ( QS 2:280).
Bagaimana
kalau pembeli akad salam ini ngotot ingin barangnya harus sempurna
seperti yang dijanjikan dan tepat pada waktunya ? diapun berhak
melakukan ini karena itulah yang ada di perjanjikan, dan muslim terikat
dengan apa yang diperjanjikannya. Lantas apa solusinya bagi
petani/produsen ? dari mana dia bisa memenuhi kewajibannya ? dari mana
dia akan punya modal untuk memberikan barang pengganti sekaligus modal
untuk menenanam atau memproduksi kembali ?
Itulah
perlunya umat ini bersyirkah, berasosiasi atau berjamaah dalam
pekerjaan besar ini. Masalah seperti ini-pun muncul di era-era Islam
menguasai peradaban dunia, maka ada yang disebut naqabah atau guild – integrasi horizontal dan vertical untuk pelaku produksi sejenis.
Karena
produsen barang sejenis saling bahu membahu melayani pasarnya
bersama-sama – bukan saling bersaing dan saling mematikan seperti
persaingan di era kapitalisme – maka masalah seperti gagalnya produksi
satu produsen bisa ditanggung rame-rame dan ditolong oleh produsen
lainnya.
Di
era modern ini, konsep tersebut selain bisa diwujudkan melalui
menghidupkan kembali konsep naqabah, bisa juga melalui konsep takaful
atau taawun – yang dikelola oleh risk manager yang professional di
bidangnya.
Maka
kalau kami akan menghadirkan akad salam di jaman ini misalnya,
insyaAllah kami juga akan ajak teman-teman asuransi syariah untuk
mengembangkan produk yang sesuai untuk mem-back-up resiko yang timbul.
Bahkan
kami juga akan melibatkan teman-teman di bank syariah untuk pencatatan
transaksi keuangannya seperti yang diamanahkan di surat Al-Baqarah 282.
Selama kita masih menggunakan uang kertas, maka kita tetap butuh bank
untuk mengelola uang tersebut karena kita tidak mungkin menumpuk uang di
bawah bantal atau di celengan – yang justru mati tidak berputar.
Tetapi dari kebutuhan (dzarurat) akan hadirnya bank ini, patut juga kita renungkan hadits berikut :
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (gandum)
dengan sya’ir(gandum), kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka
jumlahnya (takaran atau timbangan) harus sama dan dari tangan ke tangan
(tunai). Jika jenis barang berbeda, maka silakan mempertukarkannya sesukamu, namun harus dilakukan dari tangan ke tangan (tunai).” (HR. Muslim)
Artinya
ketika jual beli sudah bisa dilakukan dengan begitu canggihnya, jual
beli bisa dilakukan dengan mempertukarkan kembali barang dengan barang
seperti hadits tersebut di atas – keberadaan bank tidak lagi menjadi
suatu keharusan, dan inipun dimungkinkan di era Financial Technology
(Fintech) ini.
Bentuknya
seperti apa ? Wa Allahu A’lam tetapi dunia memang sedang berlomba untuk
me –redefine – mendefinisikan ulang konsep uang ini, dan mestinya juga
harus ada sebagian dari umat ini yangn ancang-ancang di titik start
terdepan – siap adu lari kencang dengan yang lain. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar