Oleh: Muhaimin Iqbal
Selama berabad-abad kaum Yahudi tinggal di kota kecil Yastrib sebelum menjadi Madinah. Mereka berbahasa Arab, berpakaian seperti orang Arab sehingga sulit dibedakan dengan orang Arab pada umumnya. Hanya saja ketika beraktifitas ekonomi, baru karakter asli mereka nampak. Mereka melilit orang Arab dengan pinjaman berbunga tinggi – sedemikian tinggi sehingga tidak bisa dibayar. Melalui cara inilah mereka sedikit demi sedikit menguasai bumi orang Arab. Kapitalisme ribawi yang merupakan penjelmaan praktek tersebut di jaman kita ini, bahkan lebih kejam dari yang dilakukan kaum Yahudi di jaman tersebut. Bagaimana cara system ini mengambil bumi kita ?
Yahudi
Yastrib masih memerlukan modal awal untuk menguasai lahan-lahan orang
Arab. Modal awal ini dikumpulkan melalui produksi barang dan menguasai
pasar, hasil keuntungan dari penguasaan produk dan pasar inilah yang
kemudian dipakai untuk memberi pinjaman berbunga tinggi – yang akhirnya
tidak terbayar kecuali dengan tanah orang Arab yang disita.
Kapitalisme
ribawi yang ada sekarang lebih kejam karena sumber uang yang dipakai
untuk mengambil tanah-tanah kita tersebut tidak lagi harus dari produksi
barang dan penguasaan pasar. Sumber uangnya justru dari kita-kita juga,
yaitu ketika uang hasil jerih payah kita berpuluh tahun terkumpul dalam
tabungan, deposito, dana pensiun , tunjangan hari tua dan asuransi.
Dimana dana-dana tersebut berada ? siapa yang menggunakan dan untuk apa ? hampir
pasti kita tidak bisa menjawabnya semua. Dana-dana tersebutlah yang
kemudian dipinjam oleh para pengusaha yang memiliki akses pinjaman skala
besar ke perbankan dan pasar modal – yang dana besarnya datang dari
institusi asuransi, dana pensiun dan sejenisnya - yang kemudian oleh
mereka dipakai untuk mengembangkan kota-kota baru yang sekarang
mengepung Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Sehingga
kalau kita melihat deretan perkantoran menjulang ke langit di kota-kota
besar, komplek-komplek perumahan kota mandiri raksasa ribuan hektar,
kawasan industri dlsb. siapa pemiliknya ? yang jelas saat ini bukan
milik umat. Lantas milik siapa ? tanpa menyebut nama orang-per orang,
pemiliknya adalah system kapitalis tadi. Pemiliknya adalah orang-orang
atau perusahaan yang memiliki akses modal, baik melalui perbankan maupun
pasar modal tersebut di atas.
Untuk
adilnya, kita juga tidak bisa menyalahkan mereka saja tanpa
instrospeksi ke dalam diri kita sendiri. Apa salah kita sehingga bumi
Allah yang luas ini belum diwariskan untuk kita ? padahal Allah berjanji
“Dan sungguh telah Kami tulis
di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam az-Zikra(Lauh Mahfuz), bahwa
bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamaKu yang Sholeh”. (QS 21 :105)
Janji
Allah tersebut benar ketika diturunkan, kota Yastrib yang lahan-lahan
utamanya dikuasai Yahudi – kembali ke tangan umat ketika kota tersebut
menjadi kota Nabi – Madinah – dalam waktu kurang dari 10 tahun. Janji
tersebut pasti benar juga saat ini bahkan hingga akhir jaman nanti.
Bahwasanya saat ini umat belum menguasai bumi ini, bisa jadi karena prasyaratnya yang belum terpenuhi. Secara individu tentu banyak orang-orang sholeh di sekitar kita, tetapi secara masyarakat
realitasnya ternyata lebih dari 95 % dana masyarakat masih ada di
institusi-intitusi keuangan kapitalis ribawi. Dan dari sinilah uang itu mengusir kita dari tanah-tanah kita !
Bahkan
lahan-lahan yang menjadi instrumen riba itu, sebagian justru
difasilitasi oleh institusi yang berwenang tanpa disadari oleh para
penggagas programnya sendiri. Di suatu daerah yang saya kenal misalnya,
masyarakatnya dahulu sama sekali tidak mengenal bank – mereka miskin
tetapi tidak memiliki hutang di bank.
Kemudian
pemerintah berusaha membantu mereka dengan memberikan sertifikat gratis
atas tanah-tanah yang mereka kuasai, alasannya supaya masyarakat miskin
ini bisa memiliki akses modal. Apa yang kemudian terjadi ? betul si
miskin kini memiliki akses modal – yaitu menggadaikan sertifikat
lahannya !
Tetapi
karena tanpa didukung dengan skills yang memadai, jadi apa tanah-tanah
yang digadaikan tersebut ? jadi motor, televisi, kulkas, hp dan berbagai
barang konsumtif lainnya. Setelah memiliki motor, punya televisi dan HP
– masyarakat malah ketagihan nonton sinetron dan melihat hedonisnya
kehidupan kota.
Walhasil
mereka semakin tidak bersemangat ke sawah, lahannya semakin tidak
produktif, hutangnya menjadi ridak terbayar – dan tidak sedikit yang
harus dijual untuk membayari hutangnya. Dahulu mereka miskin, tetapi
masih punya lahan dan tidak memiliki hutang. Ketika mereka punya akses
modal dari system kapitalisme ribawi dengan berbekal lahan yang
bersertifikat, mereka malah menjadi orang miskin yang berhutang dan
akhirnya kehilangan lahannya.
Lantas
bagaimana seharusnya kita mengatasi masalah penguasaan lahan dan
kemiskinan ini ? kembali mengikuti janji Allah dalam surat Al-Anbiya
tersebut di atas, yaitu menjadi orang sholeh - karena bumi Allah akan
diwariskan kepada orang-orang yang sholeh ! Tinggal caranya sekarang
bagaimana menjadi orang sholeh ini ?
Petunjuknya yang jelas juga ada di Al-Qur’an, antara lain ada di rangkaian ayat berikut : “Mereka
tidak seluruhnya sama. Di antara ahli kitab ada golongan yang jujur
(yang kemudian memeluk Islam), mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam
hari dan mereka juga bersujud (shalat). Mereka beriman kepada Allah dan
hari akhir, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah yang mungkar dan
bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang
yang shaleh.” (QS 3:113-114)
Jadi
perwujudan kesholehan, keimanan dan ketakwaan ini juga tercermin dalam
lehidupan di masyarakat itu sendiri. Ketika generasi itu baik, seperti
jaman Nabi Sahllallahu ‘Alihi Wasallam hidup bersama para sahabat
beliau, janji Allah tersebut benar-benar diberikan dalam kurang dari 10
tahun. Demikian pula di generasi-generasi sesudahnya, satu demi satu
wilayah di bumi jatuh ke tangan umat ini.
Ini juga sejalan dengan janji Allah lainnya di surat An-Nur ayat 55 : “Allah
telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan
beramal sholeh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa…” (QS 24:55).
Maka
tantangan untuk pembuktian keimanan dan keshalehan kita itu bener-bener
ada di depan mata sekarang. Sebelum Pemilu 2019 targetnya dari ujung ke
ujung pulau Jawa akan tersambung oleh jaringan jalan tol, dengan
infrastruktur ini seharusnya ekonomi bisa berputar lebih cepat dan
rakyat harusnya lebih makmur – karena lebih dari 57 % tinggal di Jawa.
Saat
itu Jawa – bumi para wali ini - akan berpenduduk sekitar 157 juta atau
sekitar 57.5 % dari penduduk Indonesia yang mencapai 272 juta orang.
Dari sisi jumlah penduduk, Jawa saja saat itu akan lebih besar dari
Jepang, lebih besar dari Mexico dan bahkan juga lebih besar dari Rusia.
Saat itu penduduk Jawa sekitar 5 kali penduduk Saudi Arabia ! Nilai
ekonomi yang terkait dengan kebutuhan pangan saja akan berada di kisaran
US$ 200 Milyar, belum yang terkait dengan consumers goods lainnya.
Maka
tidak mengherankan bila bumi para wali ini menjadi seperti kue yang
lezat yang diperebutkan oleh para politikus untuk menggalang
dukungannya, para marketer untuk menguasai market share-nya dan tidak
ketinggalan para pengusaha real estate-real estate raksasa untuk menjadi
stok land bank mereka yang dari waktu ke waktu terus melonjak harganya.
Itulah
yang terjadi ketika orang-orang sholeh tidak turun gunung menyelesaikan
langsung masalah-masalah keumatan, sepanjang pulau jawa lahan-lahan
tersebut akan jatuh ke tangan system kapitalisme ribawi. Ada yang jadi
pabrik, ada yang jadi perumahan, perkantoran , pertokoan dan sejenisnya
tetapi umat hanya sebagai pekerja dan pasarnya !
Kalau
saja sumber kekuatan umat yang begitu besar di depan mata – yaitu pasar
– bisa balik ke tangan umat, kalau saja kita bisa rame-rame
meninggalkan riba dan menggunakan dana-dana yang ada untuk menggerakkan
perdagangan sesama umat – karena lawannya riba hanya jual-beli , maka
insyaallah kita akan bisa
setidaknya menjaga agar penguasaan bumi para wali ini tetap di tangan
umat – tentu bukan hanya sekedar dikuasai tetapi juga dimakmurkan –
karena itulah sesungguhnya tugas kita (QS 11:61).
Saat
dari ujung ke ujung pulau Jawa tersambung jalan tol dua tahun lagi –
insyaAllah, setiap lahan yang diproduktifkan akan memiliki akses pasar
yang jauh lebih mudah. Buah segar yang diproduksi di kebun kita di
Tanjung Lesung – ujung barat Jawa misalnya, insyaallah bisa sampai di
Jakarta dalam dua jam – dan tanah-tanah di Tanjung Lesung ini masih
mungkin kita selamatkan sekarang , agar tetap menjadi tanah-tanah
pertanian – bukan melulu menjadi daerah wisata.
Saat itu Gunung Kidul – yang ada di tengah pulai Jawa – tetapi memiliki curah hujan yang relatif
rendah, masih dapat menjadi sentra produksi biji-bijian yang tahan
tanah kering seperti sorghum – untuk mensupply kebutuhan industri pakan
ternak sepanjang Jawa. Banyuwangi – ujung timur Jawa - yang banyak
memiliki kebun-kebun yang indah akan menjadi daerah yang mudah
dijangkau, sehingga bukan hanya industri wisatanya tumbuh – dia bisa
menjadi penyangga produksi buah dan sayur bagi wilayah Jawa lainnya.
Demikian
pula daerah sepanjang pantai selatan Jawa – yang dahulu belum
tersinggahi oleh perjalanan para wali yang lebih banyak menyisir pantai
utara – era tol lingkar selatan Jawa akan memungkinkan untuk menjadi
sumber kemakmuran baru, lagi-lagi bila penduduknya tetap dalam kondisi
beriman dan bertakwa – hanya takut kepada Allah dan bukannya takut ke nyi Roro Kidul !
Inilah bumi Jawa – bumina para wali (wali songo) – yang seperti bagian bumi lainnya dijanjikan
oleh Allah akan diwariskan kepada hambanya yang beriman dan beramal
sholeh. Tidakkah kita ingin menjadi bagian dari umat yang akan mewarisi
ini ? InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar