Oleh: Muhaimin Iqbal
Kali ini giliran si santri sengaja mencari waktu Pak Kyai untuk mengadukan kegalauannya setelah belajar di Silicon Valley - yang juga disebut Valley of Gods atau lembah para dewa. Sebenarnya di Amerika sendiri yang semula disebut Valley of Gods adalah Sandstone Valley, di San Juan County – Utah. Tetapi di jaman modern ini orang men-dewa-kan teknologi dan penguasaan ekonomi, maka penyebutan lembah para dewa itu beralih ke Silicon Valley. Karena disinilah bersemayam para ‘dewa-dewa’ modern itu. Lantas apa yang membuat si santri galau ?
Hampir
semua yang kita pakai di jaman ini bermuara di lembah ini. Dengan apa
kita berkomunikasi satu sama lain sekarang ? bukan lagi dengan menelpon –
telephone tidak lagi untuk menelpon, tetapi untuk chatting, social
media dlsb. Dengan apa kita berdakwah sekarang ? menggerakkan massa yang
jumlahnya tidak terbayangkan sebelumnya ? dengan WA, Facebook, Youtube
dlsb.
Dengan
apa kita mencari jalan yang bebas macet untuk bisa sampai ke kantor
tepat waktu ? dengan Waze, Google map dlsb. Dan dengan apa kita mencari
dan menyebarkan content-content dakwah mutakhir kita ? dengan search
engine Google utamanya, dst. Pendek kata dari bangun tidur sampai tidur
kembali, kita berinteraksi dengan aplikasi yang bermuara di lembah ini.
Inilah yang membuat si santri galau, maka dia meminta bimbingan sang Kiyai untuk menuntunnya kembali. Dia melaporkan : “Begini
Pak Kyai, justru setelah saya mendalami apa saja yang orang buat di
Silicon Valley, hati saya menjadi galau Kyai. Saya merasa kecil, saya
merasa belum bisa berbuat apa-apa !”.
Pak Kyai ingin segera menyemangati, “Kamu tidak boleh merasa kecil dihadapan manusia siapapun , apalagi pada dirimu ada A-Qur’an !”.
Kemudian Kiyai membacakan dua ayat di surat Ali Imron 196-197, dan
seperti biasa – Kyai menggunakan bahasa jawanya yang medok dan bebas
untuk menyampaikan maknanya “Ojo nggumon kowe karo jumpalitanne wong kafir ing dunyo, kuwi kabeh kasenengan sauntoro – sakwise kuwi kabeh dicemplungno ning neroko, lan neroko kuwi saelek-eleke panggonan!”
Si santri masih belum puas dihibur oleh Kyainya ini, dia ingin melanjutkan : “
Tapi Kyai, kegalauan saya ini bukan untuk saya sendiri, saya galau
untuk umat yang begitu tergantung dengan segala sesuatu yang dibuat dan
dikendalikan oleh orang lain. Saya tidak terbayangkan, bila suatu hari
jaringan telepon mati, WA mati, Google search mati, facebook mati,
twitter mati – pendek kata seluruh teknologi telekomunikasi mati.”
Kyai kaget dengan pertanyaan ini : “Lho, opo kuwi mungkin di jamin saiki ?”, si santri menjelaskan : “Justru
sangat mungkin Kyai, bahkan sebagian kecil rakyat Amerika sendiri sudah
mengantisipasi bahwa hal ini bisa terjadi kapan saja.”
Melihat kyainya yang mlongo mendengarkan, si santri menjelaskan : “ Bagi
yang sudah mempersiapkan diri tersebut, salah satunya mereka
mengantisipasi kemungkinan adanya serangan EMP atau Electro Magnetic
Pulse. EMP ini bisa karena fenomena alam karena kegiatan matahari yang
diluar kebiasaan misalnya, atau oleh kesengajaan manusia dengan senjata
nuklir ataupun senjata yang khusus dibuat untuk serangan EMP ini.” Si santri kemudian juga meng-update perkembangan Amerika akhir-akhir ini : "Apalagi
era Presiden Trump saat ini, orang Amerika sendiri merasa hidup dengan
risiko tinggi, setiap saat nampaknya bisa saja ada pihak yang salah
pencet tombol nuklirnya, kalau bukan oleh Trump sendiri - bisa saja
Korea Utara atau musuh Amerika lainnya yang gatel tangannya dan panas
telinganya ingin segera menekan tombol PD III itu !"
Sang Kyai masih penasaran, “ lha nek bener-bener sampai serangan EMP kuwi mau terjadi tenan, opo dampake ning kehidupan manusia ?”. Si santri menjelaskan, “Pada
umumnya EMP ini tidak membunuh manusia dan kehidupan lainnya secara
langsung, tetapi serangan EMP ini akan me-reset kehidupan kita ke jaman
batu, jaman pra teknologi – karena semua alat yang ada sekarang – yang
mengandung unsur elektronik akan mati !, hanya alat-alat sederhana yang
murni mekanis yang bisa bertahan”.
Sang Kyai tambah penasaran, “Berapa lama serangan EMP itu berlangsung ? Apa sesudahnya alat-alat modern bisa dipakai kembali ?” Si santri menjelaskan : “ Waktunya
bisa sangat lama Pak Kyai, tergantung dari asal serangan. Kalau
misalnya karena pengaruh kegiatan matahari misalnya – bisa tidak
terbayangkan dampaknya. Bahkan kalau serangan itupun sesaat, alat-alat
yang rusak karena serangan itu – belum tentu bisa dipakai kembali,
artinya peradaban manusia harus membuat ulang segala sesuatunya dari nol
kembali !”
Sang Kyai manggut-manggut, tetapi karena hikmah di atas ilmu yang dia kuasainya, dia tetap tenang mensikapi cerita horror dari santrinya ini, : “Tenang le, ora usah galau – wis ono ilmune untuk menghadapi situasi seperti ini !”
Ganti
si santri kaget, dia baru melihat bagaimana orang-orang Amerika yang
menyiapkan diri untuk menghadapi ini dengan berbagai kesulitannya –
tetapi Pak Kyai-nya malah dengan tenangnya menghadapi salah satu
scenario akhir jaman tersebut.
Melihat gelagat tidak percayanya si santri, sang Kyai kemudian menjelaskan : “Bayangkan
ketika Adam turun ke dunia, seperti apa dunia saat itu ? Toh Adam
selamat !, dengan apa Adam selamat ? dengan mengikuti petunjukNya !” Pak Kyai masih ingin meneruskan : “petunjuk
yang sama yang diberikan ke Adam, juga diberikan ke kita. Jadi sejauh
kita berpegang kepada petunjuk yang sama – insyaAllah kita juga selamat!”
Kemudian Kyai membacakan surat Al-Baqarah ayat 38 yang artinya : “Kami
berfirman : “Turunlah kamu semuanya dari surga itu ! Kemudian jika
datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula
mereka bersedih hati.””
Si santri mbeling ini masih penasaran : “Hanya dengan Al-Qur’an Kyai ?”. Kyai marah dengan pertanyaan ini : “Al-Qur’an
kok hanya ! dialah sumber segala sumber ilmu, dia diturunkan untuk
menjawab semua persoalan umat akhir jaman, maka itulah pegangan kita –
dan tentu juga mengikuti contoh NabiNya dalam mengamalkannya, maka
insyaAllah umat inilah yang sebenar-benarnya siap menghadapi akhir
jaman. Apalagi kabar nubuwah tentang itu juga sudah sangat banyak
dijelaskan dalam sejumlah hadits.”
Si santri masih penasaran juga : “Langkah
konkritnya apa Kyai, agar dengan Al-Qur’an itu kita bisa bener-bener
siap menghadapi jaman seperti apapun yang ungkin terjadi di depan kita ?” Pak Kyai senang dengan pertanyaan yang ini, dia menjelaskan : “Tentu dengan membaca, menghafalkan, memahami, mengamalkan dan mengajarkannya !”, lalu Kyai menekankan “limo-limone lakonono, wis kowe mesti slamet insyaAllah – lima-limanya laksanakan, kamu pasti selamat insyaAllah !”
Si santri masih merasa berat melaksanakan lima ini, dia bertanya lagi : “Lima-limanya Kyai ?”, Sang Kyai Jengkel lagi dengan petanyaan ini : “Wis to kowe ojo negeyel ! limo-limone perlu mbok lakoni nek pingin slamet ngadepi goro-goro opo wae !”.
Lalu Kyai menjelaskan satu per satu dari lima tahap interaksi dengan
Al-Qur’an yang dengan itu insyaAllah kita akan selamat menghadapi jaman
yang seperti apa saja.
“Yang pertama membaca, bagaimana kamu bisa tahu adanya petunjuk itu bila tidak pernah kamu baca ?”
“Yang
kedua menghafalkan, kamu sekarang lagi berada di ujung dunia – lalu ada
serangan EMP yang kamu jelaskan tadi, di tanganmu tidak sedang memegang
Al-Qur’an, HP-mu mati tidak bisa dibuka – sehingga kamu juga tidak bisa
membaca Al-Qur’an digitalmu, kamu tidak bisa juga menghubungi
siapa-siapa lagi. Lantas apa andalan petunjukmu sekarang ? sedangkan
Al-Qur’an yang sumber segala sumber petunjuk itu amat sangat sedikit
yang kamu hafal ?” Si santri membayangkan ini sambil bergetar,
dalam hatinya – kalau ini terjadi sekarang – saya tidak akan bisa pulang
dari lembah para dewa ini .
“Yang
ketiga, katakanlah kamu hafal sebagian atupun seluruhnya ayat-ayat
Al-Qur’an, bagaimana kalau kamu tidak paham tentang isinya ?”
Kemudian Kyai memberi contoh : “Sebelum
Adam turun ke dunia, dia diajari ilmu oleh Allah. Apa ilmu penting yang
diajarkan Allah tersebut ? antara lain adalah ilmu tentang nama-tanam
tanaman ! Mengapa ini penting ? kelak ketika Adam dan keturunannya di
dunia, ini menjadi salah satu bekal ilmu yang memudahkannya untuk
memilih mana-mana tanaman yang bisa dimakan, mana yang menjadi obat,
mana yang tidak boleh dimakan dst ! Begitu pentingnya ilmu ini sehingga
diajarkan oleh Allah sendiri selagi Adam masih di Surga, mengapa ilmu
ini tidak kamu pelajari sekarang ?”
“Yang
keempat, katakanlah kamu hafal sebagian atau seluruhnya, kamu juga
paham isinya, tetapi kamu tidak terlatih mengamalkannya ? bagaimana kamu
akan menggunakan Al-Qur’an sebagai petunjukmu ? lha wong kowe ora tahu
latihan ngamalne !”.
“Yang
kelima, katakanlah kowe wis moco, hafal, paham dan iso ngamalke – lha
opo enake kowe slamet dewe – selamat sendirian tidak mengajak keluarga
dan teman-temanmu ?, Adam-pun diberi Hawa untuk menemaninya di dunia dan
di surga, maka kamu juga harus mengajarkan apa yang kamu tahu dari
Al-Qur’an itu – agar ada yang menemanimu di dunia maupun di akhirat
nanti.” Si santri terus manggut-manggut berusaha memasukkan nasihat Pak Kyai sampai ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam.
Terobati
sudah kegalauannya tentang scenario buruk – bila itu terjadi! Solusinya
kembali ke kitab yang dijanjikan untuk menjawab semua persoalan (QS
16:89). Masalahnya kemudian adalah tinggal sejauh mana kita bisa kuasai
dan amalkan petunjuk-petunjukNya itu, agar kita bisa menjadi umat yang
selalu siap. Siap untuk memimpin peradaban teknologi – bila jamannya
memang harus teknologi yang menguasai peradaban, tetapi juga siap untuk
situasi ekstrem lainnya – yaitu bila era pasca teknologi memang
benar-benar terjadi, kitapun harus juga siap menghadapi situasi yang
seperti itu ! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar