Oleh: Muhaimin Iqbal
Di kota-kota penyangga Jakarta seperti Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang dlsb., mudah kita jumpai keluarga tua yang senang berkisah nostalgia tentang rumahnya yang dahulu. Mereka suka bercerita : “…dahulu kami tinggal di…”, tempat yang dimaksud rata-rata kini telah menjadi pusat perkantoran atau perdagangan bergengsi di Jakarta. Apa yang ‘mengusir’ mereka dari tempat tinggal aslinya tersebut ke tempat tinggalnya sekarang ? Tanpa mereka sadari, sebenarnya uang mereka sendirilah yang ikut menjadi penyebabnya. Kok bisa ?
Saksi
hidup dari kejadian seperti ini masih bisa kita saksikan antara lain di
sebuah masjid tua yang masih eksis diantara belantara gedung
perkantoran pencakar langit di Mega Kuningan. Di hari Jum’at ketika
masjid tersebut dipadati oleh orang-orang kantoran, ada segelintir
jama’ah yang tidak nampak seperti orang kantoran.
Rata-rata
mereka usianya sudah tua, pakai sarung atau gamis dan datang dari
tempat yang jauh. Selesai sholat Jum’at mereka tidak langsung pulang,
mereka duduk-duduk di emperan masjid sambil memandangi gedung-gedung
bertingkat di hadapannya. Dengan mata berkaca-kaca, mereka mengenang
masa lalu.
Sambil memandang teman duduknya, mereka mulai mengingat satu demi satu “…dulu rumahmu di sana, rumahku di sebelahnya, si fulan di belakangnya …dst”. Mereka juga mulai saling bertanya, “si ‘Abdullah’ yang dahulu paling rajin ke Masjid sekarang dimana ya ?” tidak ada yang bisa menjawab karena tidak ada yang tahu kemana perginya pak ‘Abdullah’ yang dimaksud.
Bahkan ketika ada yang bertanya : ‘…dimana ya Imam kita yang dulu…?’, yang ditanya menjawab : “Itulah…,
waktu khutbah tadi ketika Khottib mulai angkat telunjuk dan berseru
‘…Yaa Ayyuhal ladzi na Amanu..’…saya kok jadi ingat Imam kita yang
dahulu, dengan suaranya yang khas menyeru dari mimbar ‘…Yaa Ayyuhal ladzi na Amanu…”
Kemudian dengan meneteskan air mata dia melanjutkan : “…kita
ndak nyangka, orang-orang yang dahulu diseru dengan panggilan “Yaa
ayyuhal ladzi na Amanu” – yaitu kita-kita ini , bisa terusir dari tempat
ini – entah oleh siapa, yang jelas para pemilik gedung-gedung penckar
langit itu tidak datang ke Masjid ini untuk sholat jum’at…”.
Di
tengah diskusi penuh kerinduan masa lalu ini saya nimbrung dalam
pembicaraan mereka. Lalu saya bertanya, bagaimana prosesnya dahulu
mereka kehilangan rumah mereka. Salah seorang diantaranya – sebut saja
Pak Haji – menjelaskan dengan rinci dengan ingatannya yang masih tajam.
Setelah
negosiasi yang panjang, akhirnya Pak Haji sepakat untuk melepas
tanahnya untuk dibuat gedung perkantoran. Sehari menjelang pembayaran,
utusan sang pengusaha yang membeli tanah Pak Haji mendatangi rumah Pak
Haji dan memberikan petunjuk. Bahwa agar mudahnya transaksi pembayaran,
Pak Haji dibukakan buku tabangan di bank x – dan Pak Haji nurut saja.
Setelah hari H – hari transaksi
pembayaran, pak haji menerima buku tabungan, dengan saldo angka seperti
yang disepakati. Beberapa hari setelah menerima buku tabungan tersebut,
pak haji didatangi lagi oleh utusan sang pengusaha – intinya menanyakan
kapan pak haji akan pindah dari rumahnya.
Setelah
itu si utusan terus sering mendatangi Pak Haji, sampai Pak Haji risih
dan segera pergi meskipun belum mendapatkan rumah pengganti yang
disukainya. Tidak sampai 10% dari saldo tabungannya yang dia gunakan
untuk membeli rumah ‘sementara’ dan sisanya 90 % tetap berada di bank
yang sama.
Belakangan
pak haji baru tahu bahwa pengusaha yang membeli rumahnya, juga
pengusaha yang sama yang memiliki bank – dimana Pak Haji menyimpan
uangnya sampai bertahun-tahun kemudian. Dengan bahasanya sendiri yang
sederhana pak Haji-pun akhirnya paham : “
…jadi saya diusir dari rumah saya oleh uang saya sendiri, rumah saya
diganti dengan buku tabungan, lha yang beli ndak keluar apa-apa, wong
uang saya tetap berada di banknya sampai berpuluh tahun ! – saya hanya ambil bunganya untuk hidup sehari hari”.
Kisah
semacam ini umum sekali terjadi di jaman ketika terjadi asymmetric
capital access – akses capital yang tidak simetris antara Pak Haji
dengan pengusaha pemilik bank , dan juga pengusaha lain yang memiliki
akses kredit perbankan.
Pemilik asset riil – seperti rumah, kebun , sawah dlsb – bisa dengan mudah kehilangan assetnya oleh pemilik akses modal. Pengusaha-pengusaha
yang memiliki akses kredit perbankan, bisa dengan mudah menguasai
mayoritas asset lahan di Jakarta dan sekitarnya, juga di kota-kota besar
lainnya. Sementara pemilik asset riil berupa tanah, terusir ke pinggir
dan terus ke pinggir yang semakin jauh.
Siapa
yang memberi mereka modal untuk membeli lahan-lahan tersebut ? ya kita
semua yang menaruh uang kita di bank – sama dengan uang Pak Haji
tersebut di atas. Tanpa kita sadari ketika kita menaruh uang di bank –
kita tidak tahu untuk apa uang kita digunakan dan siapa yang
menggunakannya, bisa jadi uang tersebutlah yang mengusir kita dari rumah
kita seperti nasib Pak Haji.
Dan
bukan hanya uang di bank, hal yang sama yang terjadi dengan uang kita
yang tersimpan di dana pensiun, asuransi dlsb. ujung dari untuk apa dan
oleh siapa penggunaan uang kita tersebut – kita tidak pernah tahu.
Padahal kelak kita pasti ditanya untuk apa saja uang atau harta yang
kita kumpulkan selama kita hidup di dunia, bagaimana kalau jawabannya
adalah kita tidak tahu ?
Lihat kasus Pak Haji tersebut di atas, dimana uang yang 90%-nya tersimpan ?
di bank- kan ? perhatikan fatwa DSN MUI no 1 tahun 2004 tentang bunga
simpanan di bank, koperasi, asuransi, dlsb yang konvensional – jatuhnya
adalah riba. Dan sekitar 95% dana masayrakat yang tersimpan di
institusi-institusi tersebut adanya di institusi keuangan konvensional –
yang masuk kategori riba – di fatwa DSN-MUI tersebut.
Pak
Haji tidak menyadari bukan kalau uangnya bermaksiat ‘riba’ ? dan bahkan
perlu waktu berpuluh tahun untuk Pak Haji menyadari uang juga menjadi
musuh yang mengusirnya dari rumahnya.
Semakin
banyak uang, juga meningkatkan kemungkinan kita menggunakannya untuk
hal yang sia-sia atau Laghwi. Membeli hal-hal yang tidak berguna,
bepergian ketempat-tempat yang tidak dianjurkan dlsb.
Lantas
apakah kita tidak boleh memiliki harta yang banyak ? tentu boleh,
tetapi digeser ke atas dari dua segitiga dalam ilustrasi tersebut. Agar
uang atau harta kita tidak menjadi maksiat yang kita tidak sadari, atau
bahkan menjadi musuh yang mengusir kita dari rumah kita – harta kita
hendaknya menjadi asset riil yang produktif melayani kebutuhan kita.
Lebih
besar kemungkinannya bagi kita untuk bisa mengendalikan asset riil
ketimbang asset financial seperti uang di bank, dana pensiun, asuransi
dlsb. Kalau toh asset riil diserahkan ke orang lain, rata-rata kita tahu
siapa yang menggunakan dan untuk apa. Akses modal terhadap asset riil
juga relatif lebih setara – ketimbang asset financial, jadi tidak
terjadi asymmetric capital access – pada asset-asset riil.
Daftar asset riil yang abadi ini juga disebutkan di Al-Qur’an dalam ayat berikut : “ Dijadikan terasa indah dalam
pandangan manusia cinta terhadap apa-apa yang diinginkan, berupa
wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang…”. (QS 3: 14)
Emas
dan perak memwakili uang yang adil, yang tidak bisa diturunkan nilai
daya belinya oleh inflasi dan sejenisnya. Kuda pilihan merepresentasikan
transportasi dan harta secara umum – yang dalam hadis sahih bukhari
panjang dijelaskan kategorinya menjadi tiga jenis kuda yaitu kuda Allah,
kuda setan dan kuda manusia. Ilustrasi grafis di atas diambil dari
penjelasan hadis ini.
Kuda
Allah adalah kuda atau harta yang digunakan di jalan Allah, manfaatnya
tidak terhingga untuk menjaga keimanan, kehormatan manusia selagi di
dunia, dan menjadikan balasan terbaik di akhirat nanti.
Kuda
setan adalah kuda yang dipakai berbangga-bangga di dunia, berjudi dan
bermaksiat lainnya. Sedangkan kuda manusia adalah kuda-kuda yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari, untuk
transportasi, mengangkut barang dan kebutuhan lainnya.
Hewan
ternak dan sawah ladang mewakili asset vital yang kita perlu kuasai
untuk memenuhi kebutuhan utama kita, yaitu terjaminnya kebutuhan dasar
akan kebutuhan makanan yang sehat dan cukup bagi kita dan anak cucu kita
kelak. Bahasa sekarangnya adalah untuk menjamin food security.
Karena
masyarakat modern saat ini amat sangat lemah dalam kepemilikan kategori
riil asset berupa ternak dan sawah ladang ini pulalah yang menyebabkan
kita lemah dalam hal food security. Lahan-lahan kita dikuasai para
pemilik modal yang tidak mengolahnya menjadi tanah pertanian dan
peternakan, dan mereka menguasainya dengan uang kita !
Karena
pentingnya penguasaan ternak dan lahan ini untuk long term
sustainability masyarakat, untuk food security bukan hanya kita yang
hidup di jaman ini tetapi juga yang akan hidup di jaman anak cucu kita
mendatang – maka situs ini banyak sekali mempromosikan skills sekaligus
action plan di bidang peternakan dan pertanian.
Di
bidang peternakan, kemampuan kami untuk menyediakan kandang domba –
lambbank memang masih terbatas karena berbagai kendala. Sebagai
gantinya, kita ajak masyarakat untuk belajar beternak secara praktis dan
murah – insyaAllah petunjuk teknisnya akan dipublikasikan setelah
tulisan ini.
Untuk
pertanian kita memiliki sejumlah option. Selain melalui iGrow
masyarakat bisa terlibat langsung dalam menanam tanaman- tanaman yang
akan kita butuhkan, insyaAllah dalam waktu dekat akan ada iGrow untuk
biji-bijian, jagung , sorghum dlsb. dalam skala luas, juga tersedia
bagi masyarakat yang ingin membeli lahannya sendiri dalam program KKP –
Kepemilikan Kebun Produktif, saat ini ready stock kavling 0.5 – 1.5 ha
di Banten – siap jadi kebun produktif begitu Anda beli !
Namun
asset riil juga seperti karakter kuda tersebut di atas, kepemilikannya
sedapat mungkin menjadi jalan untuk beramal fisabilillah – agar
manfaatnya maksimal. Atau setidaknya menjadi ‘kuda manusia’ yang
dikelola produktif sehingga bisa memenuhi kebutuhan pemiliknya – untuk
‘food security’ dan sejenisnya. Jangan menjadi ‘kuda setan’ , dibeli
kemudian dianggurkan – hanya untuk sekedar memiliki atau menguasai.
Kalau
saja pembelanjaan kita tidak seperti dua segitiga di atas, tetapi
terbalik – kalau kita banyak harta , porsi terbesarnya untuk
fisabilillah, terus untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga dan
sesedikit mungkin – kalau bisa tidak ada – yang untuk laghwi atau
maksiat, maka akan betapa indahnya dunia ini.
Tidak
ada kaum yang tertindas karena akan selalu ada yang memerdekakannya
dengan dana fisabilillah, tidak ada yang sakit kecuali ada yang
mengobati, tidak ada pengungsi korban perang kecuali ada yang memberinya
tempat tinggal, tidak ada yang lapar kecuali ada yang memberinya makan,
tidak ada yang bodoh kecuali ada yang mendidiknya hingga pintar.
Yang
perlu kita lakukan untuk ini hanya melangkah – mengangkat kaki yang
satu ke depan kaki lainya – setiap saat. Bila harta kita saat ini lebih
ke bottom of pyramid tersebut di atas, selangkah demi selangkah kita
dorong ke atas, sampai suatu saat menjadi pyramid terbalik. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar