Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika ada sahabat yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam minta obat untuk saudaranya yang sakit perut, Nabi memberinya madu. Hingga tiga kali sahabat ini datang karena saudaranya belum juga sembuh, Nabi tetap memberinya madu. Ketika sahabat ini mulai ragu karena sakit perut saudaranya tidak kunjung sembuh, Nabi menguatkan imannya dengan “…Alllah pasti benar, perut saudaramu yang bohong…”. Dan setelah terapi madu ini diteruskan - saudaranya memang sembuh, begitulah antara lain iman itu senantiasa diuji.
Allah
menjanjikan madu itu sebagai obat (QS 16:69) – Dia Yang Maha Tahu dan
Dia pula yang bisa menyembuhkan penyakit, pastilah janjinya benar –
bahkan ketika perut kita mengatakan sebaliknya. Maka benar apa yang
dikatakan oleh Siti Aisyah, istri Nabi dan putri dari sahabat terbaik
Nabi : “ …seorang tidak bisa
dikatakan benar-benar beriman, sampai dia lebih percaya kepada Allah
melebihi apa yang ada di genggaman tangannya, melebihi apa yang bisa
dilihat (oleh matanya) di genggaman tangannya…”.
Bahkan Allah sendiri yang memberitahu kita bahwa iman kita pasti diuji : “ Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan : “Kami telah beriman” dan mereka tidak diuji ?” (QS 29:2)
Bila
tidak ada ujian, maka tidak bisa diketahui siapa yang lulus dan siapa
yang tidak – hanya dengan melalui berbagai ujian akan bisa diketahui
siapa yang akan lulus dari siapa yang tidak. Dan ujian biasanya baru
muncul ketika kita berusaha naik kelas, kalau puas di kelas yang ada
atau bahkan turun kelas semua orang juga bisa karena tridak perlu ujian.
Rangkaian
ujian-ujian inilah yang barangkali belum berhasil kita lalui yang
membuat negeri ini memiliki ketahanan pangan yang lemah misalnya. Allah
menjanjikan berkah dari langit dan dari bumi, jika sekiranya penduduk
negeri ini beriman dan bertakwa (QS 7:96) – bila kenyataannya tidak
demikian, maka bukan janji Allah yang tidak benar tetapi syaratnya yang
belum kita penuhi.
Lantas
bagaimana kita bisa rame-rame naik kelas menjadi penduduk negeri yang
beriman dan bertakwa – sehingga berlaku janji Allah akan keberkahan dari
langit dan dari bumi ? ya caranya mau melalui ujian rame-rame, sampai
sebagian besar nantinya bisa lulus.
Saya
tidak memberi contoh soal ujian yang berat-berat seperti penegakan
syariat Islam dlsb. Kita mulai yang sederhana saja dahulu, baru secara
bertahap nanti ke tingkat yang lebih sulit dan seterusnya.
Saya
mulai dari contoh yang sederhana tentang makanan makanan kita misalnya,
Kita divonis oleh Allah belum melaksanakan perintahNya (QS 80:23), maka
kita disuruh memperhatikan makanan kita (QS 80:24). Gara-gara kita
tidak memperhatikan makanan kita ini, tahun lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memvonis 12 perusahaan ayam melakukan kartel.
Mengapa
urusan ayam – yang merupakan sumber protein hewani terbesar – dari 260
juta penduduk ini , hanya dikuasai mayoritasnya oleh segelintir pemain
tersebut di atas ? Tidak sepenuhnya salah mereka, sebagiannya juga
karena salah kita. Kesalahan kita adalah kita diam dan membiarkan itu
terjadi, kita tidak melaksanakan perintahNya di rangkaian ayat 23-24
dari surat ‘Abasa tersebut di atas.
Pertanyaan
berikutnya adalah mengapa kita lebih banyak diam ? ya karena beratnya
ujian yang akan kita tempuh bahkan ketika kita mau mulai mengamalkan
perintahNya tentang makanan ini saja, itulah sebabnya mayoritas kita
tidak naik kelas – lha wong ikut ujian saja tidak mau, mayoritas kita tidak mau memperhatikan makanan kita maka makanan kita dikuasakan ke orang lain.
Kalau
kita berusaha mengamalkan perintahNya yang satu ini saja sebagai proses
pembelajaran pengamalan iman, insyaAllah kita sudah akan bisa terbebas
dari cengekaraman kartel ayam. Tetapi untuk mengamalkan yang inipun –
jangan dikira itu mudah – karena kita pasti diuji seperti janjiNya
tersebut di atas.
Ketika
kami mencoba menanam biiji-bijian (QS 80:27), kemudian juga menggunakan
sebagiannya untuk pakan ternak kita (QS 32:27) agar diperoleh pakan
ternak yang murah – tidak serta merta ini bisa langsung jalan di
lapangan.
Tanaman
biji-bijian kita diserang berbagai hama mulai dari burung sampai tikus,
ketika sudah panen dan ditumbuhkan menjadi fodder-pun tidak serta merta
ternak kita baik kambing, domba maupun ayam langsung doyan. Ujian yang
seperti inipun sudah akan cukup untuk menghentikan mayoritas upaya kita
dari terus ‘memperhatikan makanan kita’ seperti yang diperintahkanNya
tersebut di atas.
Itulah
sebabnya pula sekian ratus orang belajar berternak dan bertani bareng
kami selama delapan tahun terakhir, amat sangat sedikit yang terus
istiqomah mengamalkannya – karena yang dihadapi di “…genggaman tangannya
– yang dilihat oleh matanya…” adalah berbeda dengan janji-janji Allah
tersebut di atas.
Kalau
saja kita bisa belajar dari sahabat Nabi yang terus mengobati
saudaranya dengan madu, kalau saja kita bisa belajar dari Siti Aisyah
yaitu lebih percaya kepada Allah dari apa yang ada di genggaman dan bisa
dilihatnya – maka insyaAllah kitapun akan bisa sampai seperti yang
dijanjikanNya – entah kapan ! Saat itu insyaallah kita akan memenuhi
standar iman dan takwa, sehingga berlaku janjiNya – yaitu dilimpahkanNya
berkah dari langit dan dari bumi. Contoh konkritnya seperti apa ?
Kembali
ke contoh ayam di atas, karena penguasaan bibit ayam dan pakannya ada
pada orang lain – beternak ayam bagi rakyat adalah sesuatu yang sangat
berat. Bibit dibeli mereka dengan harga di kisaran Rp 4,000 – Rp
6,000,-, dan pakanpun dibeli dari sumber-sumber yang kurang lebih sama
karakternya di kisaran Rp 6,000,- s/d Rp 7,000 tergantung lokasi.
Satu
ekor ayam membutuhkan pakan sekitar 3 kali berat badannya dari lahir
sampai dipanen. Jadi kalau pakannya saja Rp 6,000,- s/d Rp 7,000,- ,
maka untuk ongkos pakan saja sudah sampai Rp 18,000 s/d 21,000 per ekor
ayam. Ditambah bibit dan ongkos tenaga kerja, ayam pedaging harganya
sekitar Rp 35,000 di tingkat peternak; telur di kisaran Rp 17,000 /kg
untuk BEP.
Nah
sekarang bagaimana kita bisa membebaskan diri dari kartel ayam tersebut
dengan pengamalan perintahNya untuk memperhatikan makanan kita (QS
80:24) ?, kalau kita mulai menanam biji-bijian sendiri (QS 80:27) – cost
produksi biji-bijian seperti sorghum atau jagung misalnya, itu sekitar
Rp 2,500/kg. Bila kita jual ke peternak dengan margin 20 % misalnya,
maka harga biji-bijian yang kita tanam sendiri di sekitar lokasi
peternak – itu hanya Rp 3,000,-. Ini kurang dari separuh dari harga
pakan pabrik di atas.
Kita
lanjutkan exercise kita, biji-bijian tersebut tidak langsung kita
kasihkan ke ternak ayam kita. Kita kecambahkan dahulu, maka minimal per
kg biji-bijian dapat menghasilkan 3 kg pakan berupa kecambah. Bukan
hanya beratnya bertambah, biji-bijian yang dikecambahkan juga meningkat
nutrisinya. Protein bertambah, serat bertambah, kwalita nutrisi secara
keseluruhan lebih mudah diserap oleh tubuh si ayam – walhasil kwalitas
daging maupun telur insyaallah juga meningkat.
Lebih
dari itu biaya pakan per kg-nya tinggal Rp 3,000 (harga berupa biji)
dibagi tiga yaitu tinggal Rp 1,000/kg (setelah menjadi kecambah). Bila
ayam sampai dipanen butuh waktu lebih lama sekalipun – misalnya menjadi
butuh pakan 4 kali dari berat badannya ketika panen, maka ongkos pakan
dari lahir sampai panen hanya Rp 4,000,-. Setelah ditambah biaya bibit ,
tenaga kerja dlsb. harga ayam di tingkat peternak bisa turun tinggal Rp
25,000 dan peternaknya masih untung lebih besar. Harga telur tinggal Rp
10,000 dan peternaknya juga masih untung lebih besar pula.
Inilah bentuk keberkahan itu, keberkahan bukan zero-sum-game dimana bila ada yang untung -
pasti ada yang dirugikan. Bila bumi ini berkah, maka petani untung para
konsumen-pun juga untung – secara keseluruhan penduduk negeri ini akan
diuntungkan.
Lalau
mengapa kita tidak berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keberkahan
dari langit dan dari bumi dengan meningkatkan keimanan dan ketakwaan ?
jawabannya adalah karena ketika kita menuju kesana, ujian demi ujian
akan berdatangan silih berganti. Siapkah kita untuk diuji ? Wa Allahu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar