Food 2.0 : Daging Analog

Selasa, 17 Februari 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Ketika dunia sedang berpacu menghasilkan pangan berteknologi tinggi untuk mengatasi kemahalan harga pangan khususnya daging, televisi di Indonesia pekan lalu menghebohkan masyarakat dengan kasus pemalsuan daging bakso dengan daging celeng. Masalahnya sama yaitu mahalnya harga daging, reaksi mengatasinya yang berbeda – yang satu mengatasinya dengan ilmu pengetahuan, yang satu mengatasinya dengan nafsu keserakahan. Di atas ilmu pengetahuan itupun dibutuhkan iman, agar solusi-solusi masalah kehidupan tidak berdampak malah membahayakan kehidupan itu sendiri. 


Kasus pemalsuan daging dengan daging haram selalu berulang dari waktu ke waktu dengan pelaku yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain. Bisa jadi karena berita televisi yang meluas malah menjadi inspirasi bagi masyarakat yang kurang keimanan dan kurang ilmu pengetahuan, untuk malah mengambil jalan pintas mengikuti kejahatan yang disiarkan terang benderang di media televisi tersebut.

Lantas apa solusinya agar masalah seperti ini tidak terus terulang ? Penegakan hukum perlu, pendidikan keimanan sangat perlu – agar manusia tahu ada yang selalu mengawasinya – bahkan ketika orang lain tidak ada yang tahu, tetapi solusi konkrit yang langsung mengatasi masalah yang ada di masyarakat juga diperlukan.

Akar masalah pemalsuan daging adalah harga daging yang mahal, masyarakat ingin bisa makan daging tetapi daya belinya tidak sampai. Maka ketika ada daging atau produk daging yang murah, masyarakat mudah terbuai dan mengabaikan logika berfikirnya.

Jadi apa yang mestinya dilakukan ? Edukasi ke masyarakat bahwa sumber-sumber protein itu tidak harus daging. Sumber protein biji-bijian seperti kedelai yang harga rata-ratanya hanya 1/8 dari harga daging – sesungguhnya tidak kalah kwalitasnya dengan protein hewani yang mahal.

Masyarakat di negeri maju-pun merasa berat untuk bisa terus mengkonsumsi protein hewani. Untuk setiap berat protein yang sama, protein hewani membutuhkan energi dan air yang jauh lebih besar ketimbang protein nabati. Maka mereka-un berusaha ‘memalsu’ kan daging, tetapi cara yang ditempuh adalah cara yang cerdas dan legal – produknya-pun menjadi halal.

Para konglomerat mereka rame-rame mendanai riset dan pengembangan Food 2.0 , pangan jenis baru untuk menyiasati kelangkaan dan kemahalan pangan di masa yang akan datang. Salah satunya adalah apa yang disebut daging analog, makanan menyerupai daging dari sisi rasa dan teksturnya – berserat seperti daging – tetapi dibuat dari protein tanaman khususnya kedelai.

Karena harga kedelai yang rata-rata hanya 1/8 dari harga daging sapi, maka daging analog yang dibuat dari protein kedelai harganya bisa jauh lebih murah dari daging sapi aslinya. Sejauh disampaikan apa adanya ke masyarakat bahwa ‘daging’ tersebut terbuat  dari protein kedelai, maka ‘daging palsu’ yang ini perfectly legal dan juga halal.

Perlombaan untuk menghasilkan daging analog yang paling efisien dan paling mendekati aslinya inilah yang mustinya juga bisa diikuti oleh para insinyur pangan di Indonesia, karena kita memiliki semua bahan-bahan yang dibutuhkannya. Kita juga mestinya memiliki seluruh keahlian yang dibutuhkan untuk memberi solusi pangan murah berkwalitas ini bagi masyarakat luas.

Teknologi untuk membuat daging analog ini mudah dipelajari, mesinnya-pun mestinya bisa dibuat di dalam negeri. Kalau ada perajin las – bubut yang bisa membuat mesin extruder standar seperti pada ilustrasi di bawah, insyaAllah kami akan bisa mengarahkannya untuk menjadi mesin untuk membuat daging analog tersebut.


Mesin Produksi Daging Analog

Bayangkan nantinya bila semua makanan yang aslinya berbahan daging – bisa digantikan dengan daging analog yang murah – maka masyarakat tidak lagi perlu dirisaukan dengan daging riil tetapi tidak halal seperti daging celeng dan sejenisnya.

Murah juga tidak harus rendah kwalitasnya, justru sebaliknya bisa sangat tinggi kwalitasnya. Bakso sapi asli yang Anda makan umumnya mengandung protein murni yang tidak lebih dari 20 % - inipun bila campuran dagingnya mencapai setidaknya 80 % dari seluruh bahan.

Bakso yang dibuat melalui peggantian protein daging dengan protein murni dari kedelai (Isolated Soy Protein), kandungan protein murninya bisa lebih dari 50 % atau 2.5 kali dari protein murni  yang ada  pada bakso daging sapi asli. Hal yang sama bisa dilakukan untuk produk seperti sosis dan sejenisnya.

Kebab Ayam Dengan Daging Ayam Analog
Bahkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, insyaAllah kita juga akan bisa memproduksi daging analog yang tidak mudah Anda bedakan dengan daging ayam, daging sapi dlsb. Solusi-solusi halal semacam ini harus dari kita sendiri datangnya, karena bila produk-produk makanan ini orang lain pula yang memproduksinya – maka mudah sekali mereka memasukkan untur-unusr yang tidak halal atau bahkan membahayakan kesehatan kita.


Makanan kita harus halal, thoyib dan murni – semua harus dari bahan yang alami, selebihnya adalah tinggal kreativitas dan kepandaian kita untuk memprosesnya – sehingga menjadi makanan yang bener-bener lezat namun juga terjangkau oleh seluas mungkin masyarakat. Agar mereka tidak terjebak dengan makanan yang tidak sehat dan tidak halal. Wa Allahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar