Oleh: Muhaimin Iqbal
Konon di tengah ekonomi Amerika yang melemah beberapa tahun lalu, satu produk dari Apple saja bisa berkontribusi mendongkrak GDP (Gross Domestic Product) negeri itu hingga 0.5 %. Ini bisa menjadi inspirasi bagi seluruh pihak yang terkait di negeri ini, bahwa GDP kita yang oleh World Bank diperkirakan tahun ini hanya tumbuh 5.2 % - sebenarnya bisa didongkrak hingga mencapai 5.7 % bila ada satu saja produk negeri ini yang istilah anak mudanya bener-bener ‘killing !’ – produk yang massif, yang dibeli/dikonsumsi begitu banyak orang. Saya melihat peluang itu ada di kedelai !
Secara sederhana GDP itu dihitung berdasarkan formula berikut , GDP = C (consumption)+I(investment)+G(Government Expenditure) + (X(Export)-M(Import)).
Bila selama ini kita mengkonsumsi kedelai import (GMO lagi !) sekitar
2.3 juta ton atau dalam Rupiah setara Rp 17.25 trilyun, maka dampak
impor kedelai ini kira-kira setara -0.14 % dari GDP nasional – hitungan
tepatnya biarlah para ilmuwan dan ekonom yang menghitungnya !
Sekarang
kalau kita ubah strategi yang targetnya swasembada kedelai, pertama
agar kita tidak lagi makan kedelai GMO dan yang kedua agar ekonomi
tumbuh lebih baik di negeri ini - bagaimana hitungannya ?
Melalui tulisan-tulisan saya sebelumnya,
saya sudah berikan bukti-bukti kuat bahwa kedelai-lah sumber protein
terbaik yang paling terjangkau bagi seluruh rakyat negeri ini. Selama
inipun konsumsi protein terbesar kita memang sudah dari kedelai (sekitar
23 %), sementara dari hewani baru berkontribusi sekitar 14 % dari
kebutuhan protein rata-rata harian kita.
Sekarang
kalau kita dongkrak yang 23 % tersebut menjadi 50 % sekaligus mengganti
yang impor (dan GMO !) dengan kedelai produksi lokal yang masih alami –
berapa banyak kedelai dibutuhkan ?
Manusia
rata-rata membutuhkan protein murni sekitar 50 gram per hari (wanita 45
gram dan laki-laki 55 gram), bila 50 %-nya hendak dicukupi dari kedelai
– maka dibutuhkan 25 gram protein murni dari kedelai per hari per
orang. Dengan kandungan protein kedelai yang 40 %, maka kebutuhan ini
setara dengan sekitar 5.9 juta ton kedelai per tahun secara nasional.
Dengan
asumsi harga Rp 10,000/kg; maka konsumsi (C) kedelai lokal tersebut
akan mendongkrak GDP sekitar 59.3 trilyun atau sekitar +0.5 % dari GDP
nasional kita. Bila ditambahkan dengan penghentian import kedelai yang
berdampak -0.14% terhadap GDP tersebut – maka efek konsumsi kedelai
lokal ini malah mencapai +0.64 %.
Pertanyaannya
adalah realistiskah visi semacam ini ?, ini bisa dijawab dari berbagai
sisi. Dari sisi kebutuhan jelas ada, rata-rata penduduk Indonesia yang
memiliki tinggi badan 13-14 cm lebih rendah dari rata-rata penduduk
dunia – adalah indikator nyata bahwa rata-rata penduduk negeri ini
kurang mengkonsumsi protein secara cukup.
Dari sisi daya beli, 25 gram protein murni per hari atau
setara 63 gram kedelai per hari (karena kita hanya mentargetkan separuh
kebutuhan protein dari kedelai) ini equivalent dengan Rp 625/hari. Ini
terjangkau oleh penduduk paling miskin-pun di negeri ini yang berdaya
beli US$ 1.25/hari, karena hanya butuh sekitar 4 % dari daya beli
hariannya untuk membeli protein.
Dari
sisi pengadaan kedelai lokal bagaimana ? Ini yang menarik. Untuk
menggarap proyek kedelai ini saya melakukan banyak sekali perjalanan
untuk mencari lahan sambil juga berguru kepada para praktisi kedelai
terbaik.
Salah
satu yang saya temui adalah Pak Timin (nama panggilan sebenarnya !)
yang merupakan petani kedelai berprestasi tingkat nasional. Di rumahnya
terpajang beberapa foto dia bersama presiden RI dalam pemerintahan
sebelumnya (Pak SBY) , ada yang lagi di sawah (ketika Pak SBY berkunjung
ke desanya) ada yang lagi di Istana – ketika petani kedelai berprestasi
ini diundang ke Istana.
Pak Timin hanya menanam kedelai lokal yang
benihnya dipilihi sendiri, dia juga sanggup menyediakan benih kedelai
lokal yang masih murni bagi siapa saja yang membutuhkannya (bisa melalui
Startup Center sekarang). Lebih dari itu pak Timin juga mengajarkan best practice penanaman kedelai terbaik – karena itulah dia dianggap sebagai salah satu petani kedelai terbaik di negeri ini.
Ketika
sambil berguru kepada beliau dan menanyakan – bila saya ikuti cara
beliau menanam – berapa ton hasil kedelai bisa saya harapkan per hektar ?
dia menjawab yang terbaiknya akan mencapai 3.5 ton, rata-ratanya di
kisaran 2.5 ton.
Anggap
kedelai kita akan memiliki hasil rata-rata saja yang 2.5 ton /ha,
anggap pula lahan yang akan kita pakai adalah lahan tegalan (yang selama
ini kurang produktif ) dengan hanya 2 kali tanam per tahun, maka
kebutuhan kedelai lokal 5.9 juta ton per tahun tersebut dapat dipenuhi
dari lahan yang luasnya 1.2 juta hektar saja !
Lahan
1.2 juta hektar memang kesannya sangat banyak, tetapi bila dibandingkan
dengan lahan nganggur di negeri ini yang luasnya mencapai sekitar 12.8
juta hektar – kebutuhan untuk kedelai ini hanya membutuhkan kurang dari
1/10 luasan lahan yang nganggur tersebut.
Sekarang kita bisa melihat lebih jelas, bahwa dengan best practice-nya
Pak Timin saja yang kita scale-up – kita akan bisa mendongkrak GDP
nasional kita antara 0.5 % - 0.64%, pasti sangat banyak diluar sana Pak
Timin-Pak Timin lainnya yang telah memiliki best practice di bidangnya masing-masing – yang bisa juga di scale-up untuk membantu ekonomi negeri ini.
Namun
gagasan semacam ini akan tetap tinggal gagasan bila kita tidak berbuat
sesuatu yang riil, itulah sebabnya Sabtu ini akan dikupas tuntas gagasan
ini dalam acara Vision Sharing
kita. InsyaAllah akan banyak sekali yang bisa kita lakukan untuk
membantu mendongkrak GDP negeri ini, sekaligus memperbaiki kwalitas
generasi mendatang – baik dari sisi jasmani maupun dari sisi ekonomi.
InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar