Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika dunia sedang berpacu menghasilkan pangan berteknologi tinggi untuk mengatasi kemahalan harga pangan khususnya daging, televisi di Indonesia pekan lalu menghebohkan masyarakat dengan kasus pemalsuan daging bakso dengan daging celeng. Masalahnya sama yaitu mahalnya harga daging, reaksi mengatasinya yang berbeda – yang satu mengatasinya dengan ilmu pengetahuan, yang satu mengatasinya dengan nafsu keserakahan. Di atas ilmu pengetahuan itupun dibutuhkan iman, agar solusi-solusi masalah kehidupan tidak berdampak malah membahayakan kehidupan itu sendiri.
Kasus
pemalsuan daging dengan daging haram selalu berulang dari waktu ke
waktu dengan pelaku yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain.
Bisa jadi karena berita televisi yang meluas malah menjadi inspirasi
bagi masyarakat yang kurang keimanan dan kurang ilmu pengetahuan, untuk
malah mengambil jalan pintas mengikuti kejahatan yang disiarkan terang
benderang di media televisi tersebut.
Lantas
apa solusinya agar masalah seperti ini tidak terus terulang ? Penegakan
hukum perlu, pendidikan keimanan sangat perlu – agar manusia tahu ada
yang selalu mengawasinya – bahkan ketika orang lain tidak ada yang tahu,
tetapi solusi konkrit yang langsung mengatasi masalah yang ada di
masyarakat juga diperlukan.
Akar
masalah pemalsuan daging adalah harga daging yang mahal, masyarakat
ingin bisa makan daging tetapi daya belinya tidak sampai. Maka ketika
ada daging atau produk daging yang murah, masyarakat mudah terbuai dan
mengabaikan logika berfikirnya.
Jadi
apa yang mestinya dilakukan ? Edukasi ke masyarakat bahwa sumber-sumber
protein itu tidak harus daging. Sumber protein biji-bijian seperti
kedelai yang harga rata-ratanya hanya 1/8 dari harga daging –
sesungguhnya tidak kalah kwalitasnya dengan protein hewani yang mahal.
Masyarakat
di negeri maju-pun merasa berat untuk bisa terus mengkonsumsi protein
hewani. Untuk setiap berat protein yang sama, protein hewani membutuhkan
energi dan air yang jauh lebih besar ketimbang protein nabati. Maka
mereka-un berusaha ‘memalsu’ kan daging, tetapi cara yang ditempuh
adalah cara yang cerdas dan legal – produknya-pun menjadi halal.
Para
konglomerat mereka rame-rame mendanai riset dan pengembangan Food 2.0 ,
pangan jenis baru untuk menyiasati kelangkaan dan kemahalan pangan di
masa yang akan datang. Salah satunya adalah apa yang disebut daging
analog, makanan menyerupai daging dari sisi rasa dan teksturnya –
berserat seperti daging – tetapi dibuat dari protein tanaman khususnya
kedelai.
Karena
harga kedelai yang rata-rata hanya 1/8 dari harga daging sapi, maka
daging analog yang dibuat dari protein kedelai harganya bisa jauh lebih
murah dari daging sapi aslinya. Sejauh disampaikan apa adanya ke
masyarakat bahwa ‘daging’ tersebut terbuat dari protein kedelai, maka ‘daging palsu’ yang ini perfectly legal dan juga halal.
Perlombaan
untuk menghasilkan daging analog yang paling efisien dan paling
mendekati aslinya inilah yang mustinya juga bisa diikuti oleh para
insinyur pangan di Indonesia, karena kita memiliki semua bahan-bahan
yang dibutuhkannya. Kita juga mestinya memiliki seluruh keahlian yang
dibutuhkan untuk memberi solusi pangan murah berkwalitas ini bagi
masyarakat luas.
Teknologi
untuk membuat daging analog ini mudah dipelajari, mesinnya-pun mestinya
bisa dibuat di dalam negeri. Kalau ada perajin las – bubut yang bisa
membuat mesin extruder
standar seperti pada ilustrasi di bawah, insyaAllah kami akan bisa
mengarahkannya untuk menjadi mesin untuk membuat daging analog tersebut.
Bayangkan
nantinya bila semua makanan yang aslinya berbahan daging – bisa
digantikan dengan daging analog yang murah – maka masyarakat tidak lagi
perlu dirisaukan dengan daging riil tetapi tidak halal seperti daging
celeng dan sejenisnya.
Murah
juga tidak harus rendah kwalitasnya, justru sebaliknya bisa sangat
tinggi kwalitasnya. Bakso sapi asli yang Anda makan umumnya mengandung
protein murni yang tidak lebih dari 20 % - inipun bila campuran
dagingnya mencapai setidaknya 80 % dari seluruh bahan.
Bakso
yang dibuat melalui peggantian protein daging dengan protein murni dari
kedelai (Isolated Soy Protein), kandungan protein murninya bisa lebih
dari 50 % atau 2.5 kali dari protein murni yang ada pada bakso daging sapi asli. Hal yang sama bisa dilakukan untuk produk seperti sosis dan sejenisnya.
Makanan
kita harus halal, thoyib dan murni – semua harus dari bahan yang alami,
selebihnya adalah tinggal kreativitas dan kepandaian kita untuk
memprosesnya – sehingga menjadi makanan yang bener-bener lezat namun
juga terjangkau oleh seluas mungkin masyarakat. Agar mereka tidak
terjebak dengan makanan yang tidak sehat dan tidak halal. Wa Allahu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar