Oleh: Muhaimin Iqbal
Untuk kesekian kalinya pekan lalu dalam acara Food Security Summit – 3 kita mendengar visi pemerintah, bahwa negeri ini akan bisa swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Visi seharusnya jelas, bisa dijabarkan detil ke dalam misi, strategy dan sampai action plan. Tanpa didetilkan, visi akan lebih mendekati mimpi – dan inilah yang terjadi selama ini. Swasembada pangan dijadikan visi dari satu kampanye ke kampanye, satu pemerintahan ke pemeritahan – tetapi hingga 70 tahun merdeka kita belum juga swasembada pangan.
Lebih dari itu saya juga belum ketemu apa yang dimaksud pemerintah dengan swasembada pangan, tercukupi seluruh unsur pangan seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral ? atau sekedar cukup karbohidrat ?. Kalau yang di-udeg-udeg
sekedar tidak lagi mengimpor beras, maka tidak bisa dihindari kesan
bahwa pemerintah baru fokus ke karbohidrat – artinya baru satu dari
setidaknya lima unsur pangan.
Walhasil
impor beras kadang memang bisa dihentikan atau dikurangi, tetapi impor
sapi hidup, impor biji-bijian dan buah-buahan terus meningkat. Lantas
bagaimana pemerintah seharusnya men-detilkan visi swasembada pangan
tersebut – agar tidak menjadi sekedar mimpi ?
Berikut adalah breakdown
dari visi swasembada pangan yang seharusnya bisa dilakukan oleh
pemerintah bersama-sama dengan para pemangku kepentingan yang terkait,
termasuk tentu saja aktor utamanya para petani seperti kita-kita.
Pertama
agar tidak mengambang, visi swasembada pangan harus didetilkan dalam
bentu misi yang jelas – specifik, terukur, bisa dicapai secara wajar,
relevan dan berbatas waktu. Misalnya dalam pemerintahan sekarang yang
masih punya waktu empat tahun lebih, negeri ini harus bisa mencukupi
kebutuhan karbohidrat, lemak yang baik, protein, vitamin dan mineral.
Kemudian masing-masing misi tersebut dijabarkan dalam strategy-nya
yang pas. Misalnya pemenuhan karbohidrat utamanya akan dicapai melalui
optimalisasi produksi padi di 13.8 juta sawah yang ada. Diberlakukannya
moratorium alih fungsi sawah ke penggunaan lainnya, dlsb.
Untuk
kebutuhan lemak, sebenarnya sudah bisa dicukupi dengan sekitar 10 juta
lahan sawit yang ada. Hanya saja minyak sawit terlalu tinggi komponen Saturated Fatty Acid-nya (SFA), sehingga konsumsi minyak sawit bisa diturunkan dengan mengekspor sebgian besar produksinya.
Secara bertahap untuk menyehatkan rakyat dalam jangka panjang, konsumsi lemak atau minyak diarahkan ke jenis minyak yang tinggi Mono Unsaturated Fatty Acid
(MUFA)-nya. Salah satunya yang tumbuh sangat baik di negeri ini, di
tanah tegalan yang tidak/belum terlalu subur sekalipun adalah minyak
kacang tanah. Selain rendemen
minyaknya tinggi (di atas 40 %), minyak kacang tanah mengandung MUFA
yang tinggi pula (sekitar 50% dari unsur minyaknya).
Kebutuhan
protein karena terbukti berat memenuhinya dari protein hewani, strategi
pemenuhannya dapat difokuskan pada protein nabati khususnya kedelai.
Selain rendemen proteinnya yang tinggi (sekitar 36 %), protein kedelai
juga memiliki kandungan asam amino esensial yang paling lengkap – bahkan
lebih lengkap dari daging.
Protein nabati dari kedelai juga sangat terjangkau dengan unit cost-nya
yang sangat rendah yaitu di kisaran Rp 28/gram satuan protein murni.
Bandingkan ini dengan protein hewani dari daging yang berada di kisaran
Rp 300/gram satuan protein murni.
Bagaimana
kita bisa menanam kedelai cukup, sedangkan selama ini pemenuhan
kebutuhan kedelai kita-pun sudah lebih banyak yang kita impor ? Memang
harus ada keseriusan pemerintah untuk mendorong dan memberi insentif
para petani dan pihak-pihak lain yang mau menggarap kedelai secara
intensif di negeri ini.
Potensi
lahannya ada, yaitu sebagian kecil saja dari tanah terlantar kita yang
konon lebih dari 12.5 juta hektar – akan cukup untuk gerakan menanam
kedelai ini. Sedangkan bibit dan knowledge untuk menanam kedelai lokal ini insyaAllah masih ada di masyarakat petani kedelai kita – tinggal menyebar luaskannya kembali.
Untuk
pemenuhan sumber-sumber vitamin dan mineral, negeri tropis seperti
Indonesia sudah seharusnya menjadi jagonya. Aneka ragam buah tropis nan
eksotis seharusnya menjadi kekayaan yang bukan hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral rakyat, bahkan seharusnya menjadi
daya tarik wisatawan asing dan ekspor dari negeri tropis ini.
Buah
apa saja tumbuh di negeri ini, yang diperlukan tinggal memfasilitasinya
agar terbangun sentra-sentra produksi buah yang cukup massif untuk
mampu menghadang serbuan buah impor.
Tetapi
memang kita tidak bisa terlalu banyak mengandalkan pemerintah dalam
swasembada pangan ini, karena kecukupan pangan dari atas kepala dan dari
bawah kaki kita hanya akan tercapai bila kita bener-bener menjalankan
petunjuk/hukumNya (QS 5 : 66).
Bahwasanya
hingga saat ini pemerintah kita belum menggunakan petunjuk atau
hukumNya itu nampak jelas sekali dengan apa yang dilakukan presiden kita
pada saat pembukaan Food Security Summit tersebut di atas. Presiden
membuka acara tersebut dengan menumbuk alu tujuh kali !
Di
jaman ultra modern sekarang ini menjadi aneh menyaksikan pagelaran niat
bangsa besar untuk mencukupi pangannya dengan menumbuk alu, tidak ada
penalaran ilmiahnya – apalagi dari sisi keimanan. Akan lebih masuk akal
misalnya bila acara seperti ini diawali dengan membaca ayat-ayat
petunjukNya yang relevan sambil mentadaburinya.
Mengapa
misalnya ketika Allah memerintahkan kita untuk memperhatikan makanan
kita – dimulai dengan biji-bijian dan diakhiri dengan ternak (QS 80 :
24-32), bila saja kita bisa memahami makna dari perintah ini dan
kemudian bener-bener melaksanakannya – maka insyaAllah swasembada pangan
itu akan bisa bener-bener menjadi visi yang terwujudkan, bukan sekedar
mimpi yang terus berkesinambungan dengan mimpi berikutnya. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar