Oleh: Muhaimin Iqbal
Di tengah ramainya para pemimpin dunia membicarakan food security – kecukupan pangan bagi semua, negeri-negeri di Eropa dan Amerika Utara justru membuang makanan – dalam bentuk sisa makanan – yang jumlahnya hampir sama dengan seluruh makanan yang diproduksi oleh 50-an negara-negara Afrika yang berada di belahan selatan gurun Sahara (Sub Saharan Africa).
Menurut
data FAO, jumlah makanan yang terbuang sebagai sisa makanan (waste) di
negeri negeri industri totalnya mencapai 222 juta ton, sedangkan seluruh
produksi pangan di Sub Saharan Africa hanya berkisar 230 juta ton per
tahun.
Bila
negeri-negeri maju membuang makanannya dalam bentuk sisa makanan, lain
lagi dengan cara negeri-negeri berkembang membuang makanannya – mereka
menyia-nyiakan sumber daya produksinya dalam berbagai bentuk inefficiency pra dan pasca panen.
Cara kedua negeri-negeri berkembang memperparah food insecurity-nya
sendiri adalah dengan cara bergantung pada bahan pangan yang diproduksi
oleh negeri maju, sedangkan potensi yang ada di negeri sendiri tidak
dikembangkan atau diolah secara maksimal.
Padahal Allah menjanjikan kecukupan rezeki itu bagi seluruh makhlukNya : “Dan
berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya
sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 29 : 60)
Meskipun
Allah menjanjikan kecukupan rezeki, kok bisa datanya FAO menyatakan
bahwa tahun 2012 lalu ada 868 juta orang di dunia yang kelaparan ?
Janji
Allah itu bersyarat, yaitu bila petunjukNya diikuti. Bila tugas-tugas
yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi –
dilaksanakan, yaitu untuk memakmurkan bumi. Bila petunjuk tidak diikuti,
dan bila perintah tidak dilaksanakan atau bahkan disalah gunakan – maka
yang terjadi seperti pengelolaan bumi saat ini. Sebagian penduduk dunia
membuang-buang makanannya, sedangkan yang lain sampai pada tingkat
kelaparan.
Lantas seperti apa kita seharusnya mengelola makanan ini agar cukup bagi semuanya ?
Pertama yang jelas kita dianjurkan makan secukupnya dan tidak berlebihan apalagi sampai membuang makanan.
“Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” ( QS 7 : 31)
Menu
makanan kita yang cenderung sendiri-sendiri, setiap orang dengan
piringnya sendiri memperbesar peluang adanya makanan sisa. Ketika
makanan menjadi sisa, orang lain sudah tidak bisa (tidak mau)
memakannya.
Di
restoran-restoran, di pesta-pesta betapa banyak makanan yang terbuang
itu. Bahkan ironi sekali di lokasi pengungsian banjir yang kami kunjungi
baru-baru inipun makanan sisa itu terbuang di berbagai tempat. Pasalnya
adalah setiap donasi makanan diberikan dalam kotak-kotak, yang bisa
saja berdatangan bersamaan dari berbagai sumber. Ketika pas makanan
tersedia dia berlebih dan kemudian sebagiannya terbuang, di lain waktu
tidak tersedia sama sekali.
Nampaknya
pola makan sendiri-sendiri ini yang harus mulai kita ubah. Inipun ada
dasarnya dalam petunjuk Uswatun Hasanah kita melalui hadits beliau
ketika menjawab pertanyaan sahabat : “Ya
Rasulullah, kami makan tetapi tidak kenyang. Dia (Rasulullah) bertanya :
Barangkali kamu makan sendiri-sendiri ? Mereka menjawab : “Ya”.
Rasulullah berkata : “Jika kalian makan makanan bersama-sama dengan
menyebut nama Allah, kalian akan mendapatkan keberkahan di dalamnya”. (HR. Sunan Abu Dawud).
Dengan
makan secara bersama-sama (jama’i) , makanan yang sedikit-pun menjadi
cukup dan ketika makanan banyak dia tidak tersisa. Keberkahan makanan
antara lain datang ketika kita makan bersama-sama.
“Makanan untuk dua orang cukup untuk tiga orang, makanan untuk tiga orang cukup untuk empat orang” (HR. Bukhari).
Cara makan kita ini juga menjadi pembeda antara muslim dan yang non-muslim : “Muslim makan dengan satu perut sedangkan orang kafir makan dengan tujuh perut” (HR. Bukhari).
Selain cara kita makan, apa yang kita makan juga sangat mempengaruhi keamanan pangan kita.
Ketika
kita memaksakan makan dengan bahan baku dari impor misalnya, maka
produksi bahan makanan dari tempat yang jauh ini selain mahal
(melibatkan ongkos angkut dlsb) juga membuka berbagai peluang kelangkaan
supply oleh berbagai sebab. Bisa karena faktor alam, maupun faktor
manusianya – seperti ketimpangan dalam perdagangan global dlsb.
Ketika
kita berebut makanan yang sama dengan manusia lain di dunia sedangkan
kita tidak memproduksinya sendiri secara cukup, maka peluang terjadinya food insecurity itu menjadi lebih besar.
Di jaman teknologi ini bahkan kita bisa dengan mudah mendeteksi food insecurity
ini – melalui apa yang sedang dicari/dibicarakan orang di internet.
Semakin banyak dicari/dibicarakan, maka kemungkinan bahan yang
bidicarakan/dicari tersebut memang semakin tidak mencukupi. Ini hukum supply and demand biasa, bila demand membesar sedangkan supply tetap atau bahkan menurun – maka disitulah kelangkaan terjadi.
Dengan
indikator tersebut, kita bisa tahu bahwa untuk saat inipun beras dan
tepung (gandum) merupakan dua bahan makanan yang paling rawan
kecukupannya di dunia.
Pertama
yang jelas dia haruslah makanan yang enak. Karena kalau kita diedukasi
untuk tidak makan nasi, tetapi penggantinya singkong rebus – tentu tidak
populer.
Kedua
haruslah mengandalkan bahan –bahan yang bisa kita produksi sendiri.
Pelihara sapi mungkin tidak semua orang bisa, pelihara kambing juga
memerlukan spesialisasi sendiri – tetapi pelihara ayam, siapa yang tidak
bisa ?
Barangkali
inilah yang juga diindikasikan di Al-Qur’an sebagai daging burung yang
kita inginkan (ayam termasuk kelompok burung) : “dan daging burung dari apa yang mereka inginkan” (QS 56 :21).
Adapun
roti yang digunakan untuk pendamping makan ayam tersebut, bukanlah
jenis roti yang harus mengembang. Jadi bahannya bisa apa saja yang ada
di sekitar kita, bisa tepung singkong, ubi, gembili dlsb. Dengan bahan semacam ini kita bisa membebaskan diri dari ketergantungan bahan baku impor.
Ketika
makanan semacam ini yang kemudian dimakan rame-rame oleh dua, tiga,
empat orang yang diindikasikan oleh hadits tersebut di atas, maka
insyaAllah tidak akan ada makanan yang terbuang sebagai sisa. Sekaligus
juga mengatasi problem kekurangan konsumsi protein hewani yang kronis di
negeri ini.
Food security
adalah tentang apa yang kita makan dan bagaimana kita memakannya. Bila
semua mengikuti petunjukNya dan sunah nabiNya, maka disitulah berlaku
jaminanNya – bahwa tersedia rezeki yang cukup bagi seluruh makhlukNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar