Oleh: Muhaimin Iqbal
Setiap hari ada sekitar 4.3 juta sel yang mati di dalam tubuh kita, ketika penggantinya lebih dari yang mati ini berarti tubuh kita masih mengalami pertumbuhan. Sebaliknya bila kita sudah mengalami proses penuaan, sakit dlsb. maka sel-sel baru yang terbentuk tersebut jumlahnya kurang dari yang mati. Dari mana datangnya sel-sel baru ini ? dari makanan yang setiap hari kita makan. Lantas bagaimana kalau yang kita makan salah dan pola makan-nya pun salah ? Di sinilah pentingnya kita menggunakan petunjuk yang benar dalam hal makanan sekalipun, baik yang terkait jenisnya, caranya, prosesnya, jumlahnya dan seterusnya.
Seperti
ketika Anda membeli mobil, di manualnya menyebutkan bahan bakar yang
direkomendasikan adalah beroktan 92 atau lebih, bagaimana kalau mobil
Anda jalankan dengan bahan bakar beroktan 88 ? Pertama kinerja mobil
Anda pasti kurang dari yang seharusnya, dan lebih cepat rusak pula.
Demikian pula dengan tubuh kita, ‘manual’ kita mensyaratkan makanan kita harus halalan thoyyiban
(QS 2 : 168) – bisa dibayangkan dampaknya bila kita melanggar makanan
yang dipersyaratkan ini. Lebih dari itu makanan kita harus lebih murni –
azkaa tho’aaman (QS
18:19), tidak tercampur dengan zat-zat yang tidak seharusnya ada di
makanan kita. (lagi-lagi, bayangkan bila bahan bakar mobil Anda dioplos
!).
Makanan yang halalan thoyyiban insyaAllah kita sudah familiar karena makanan inilah yang selama ini kita makan, tetapi makanan yang azkaa tho’aaman – umat di jaman ini rata-rata kecolongan.
Ambil
contoh makanan siap saji di dapur Anda misalnya, yang paling umum ada
adalah mie instant. Kemudian baca label halalnya, insyaAllah halal.
Tetapi kemudian perhatikan komposisi yang ada di dalamnya. Sebagian mie
tidak mencantumkan detilnya, sebagian lain mencantumkannya cukup detil.
Bagi yang mencantumkan cukup detil, Anda akan ketemu zat-zat aneh yang ada di makanan tersebut. Yang umum biasanya mononatrium atau monosodium glutamate (MSG) – zat penyedap makanan yang menimbulkan banyak kontroversi sejak setengah abad terakhir.
Makanan yang tidak azkaa tho’aaman dan pola makan yang tidak benar inilah yang kemudian menimbulkan berbagai penyakit zaman modern yang disebut penyakit degenerative
seperti berbagai penyakit yang terkait dengan jantung (cardiovascular),
cancer, diabetes, alzheimer, parkinson, osteoporosis dan berbagai
penyakit lain yang namanya bahkan mungkin baru pertama kalinya kita
dengar.
Jadi di jaman yang penuh fitnah (cobaan) ini, tidak lagi cukup bagi kita bahwa makanan itu harus halalan thoyyiban tetapi dia juga harus azkaa tho’aaman.
Itulah yang terjadi ketika pemuda ashabul kahfi dibangunkan Allah dari
tidur panjangnya, kemudian salah satu diantara mereka diminta mencari
makanan ke kota :
“Dan
demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara
mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah
berapa lamakah kamu berada (di sini?)". Mereka menjawab: "Kita berada
(di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan
kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka
suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih murni
(azkaa tho’aaman), maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan
hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS 18:19)
Pasti bukan kebetulan bila perintah untuk mencari azkaa tho’aaman
ini adanya di surat Al-Kahfi, surat yang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dikabarkan bisa menolak fitnah Dajjal bila kita menghafal 10
ayat pertamanya. Ini terkait dengan fitnah Dajjal itu sendiri yang
manifestasinya antara lain memang berupa fitnah makanan dan minuman.
Pertanyaannya
adalah lantas bagaimana kita bisa menghindari fitnah Dajjal yang
menyusup sampai pada meja makan kita ? PetunjukNya-pun jelas pada 10
ayat di awal surat Al-Kahfi yang kita hafalkan tersebut. Intinya adalah
mengingatkan kita akan adanya petunjuk yang lurus, yang memberi kabar
gembira bagi yang beriman dan beramal shaleh, yang tidak
mensekutukanNya, yang berlindung dari fitnah dan terus memohon
disempurnakannya petunjuk yang lurus dalam segala urusannya.
Tetapi
apakah dalam urusan yang sangat detil sperti urusan makanan ini ada
petunjuknya dalam Al-Qur’an ? Tentu, karena Al-Qur’an adalah tibyaanal likulli syai’ – penjelasan atau jawaban untuk seluruh hal/masalah !.
Dari
hulu ke hilir petunjuk itu ada, mulai dari jenis-jenis tanaman yang
menjadi sumber makanan kita (QS 80: 24-32), urutan penanamannya (QS 36 :
33-35), cara membangun ketahanan pangannya ( QS 12 : 47-48), sampai ke
hal yang sangat detil tentang bumbu masakan yang harusnya kita gunakan.
Umat
ini tidak akan pernah perlu bumbu-bumbu masakan yang meragukan bila
saja keimanan kita cukup kuat untuk hanya menggunakan yang datang
dariNya. Apakah bumbu masakan yang diresepkanNya itu ?, perhatikan ayat
berikut :
“Dan kami tumbuhkan pohon (zaitun) yang keluar dari Thursina (pohon zaitun), yang menghasilkan minyak, dan pembangkit selera bagi orang-orang yang makan.” (QS 23 :20).
Selain
petunjuk langsung di ayatNya tersebut, Uswatun Hasanah kita juga
memberikan resep bumbu terbaiknya dalam hadits berikut : “ Penyedap makanan terbaik adalah cuka” (HR. Muslim).
Tentu kita bisa saja dan boleh menggunakan bumbu lain selain zaitun dan cuka tersebut – sejauh dia halalalan thoyyiban dan azkaa tho’aaman,
dan yang jelas tidak perlu kita sampai harus mencari yang meragukan –
yang mengganggu kemurnian makanan kita seperti yang tersirat dalam surat
Al-Kahfi tersebut di atas, apalagi bila meragukan kehalalannya.
Apakah
enak dengan lidah kita sekarang bumbu-bumbu yang diresepkan di
Al-Qur’an ataupun hadits tersebut ? Ini menyangkut kepandaian kita
memasaknya dan juga pembiasaannya. Alhamdulillah team chef kami sudah
mencobanya dan hasilnya sampai pada tingkat keyakinan bahwa insyaAllah
kita berani membuka restaurant – dengan mengandalkan hanya bumbu-bumbu
yang ada di Al-Qur’an dan Hadits, tidak ada yang diluar itu – saking
uenaknya makanan itu !
Lebih
dari sekedar makanan atau resep masakan, rasa cukup kita dengan apa
yang diberikan olehNya dan oleh RasulNya ini juga bagian dari proses
memperbaiki keimanan kita. Ingat ketika karena kekufurannya orang Yahudi
diberi makanan terbaik dari langit berupa Manna wa Salwa (QS 2 : 57), mereka malah memilih makanan yang ada di pasar (QS 2:61).
Maka
kita jangan begitu, memilih bumbu-bumbu yang tidak jelas yang ada di
pasar ketimbang petunjuk yang jelas dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tentu
ini tidak mudah bila kita makan di restaurant, itulah sebabnya harus
ada upaya umat ini untuk menyebarkan restaurant yang menyediakan makanan
yang memenuhi standar halalalan thoyyiban dan azkaa tho’aaman tersebut.
Hal
ini tidak bisa dilakukan secara serta merta berubah kesana sekarang
juga, ini menyangkut proses untuk menuju ke jalan yang benar/lurus itu.
Yang kami ketahui dan tulis ini barulah awalan yang sangat sedikit, dan
perlu terus disempurnakan oleh yang lebih tahu.
Oleh sebab itu setelah di hulunya kami rintis ilmu dan awal amalnya – yang kami sebut Kebun Al-Qur’an, maka yang di hilirnya pun dibutuhkan bidang ilmu baru dan amalnya yang saya sebut Qur’anic Culinary – seluk beluk makanan yang berbasis Al-Qur’an dan hadits. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar