Oleh: Muhaimin Iqbal
Tahun lalu produksi daging sapi nasional Indonesia hanya 430,000 ton atau sekitar 1.8 kg per kapita. Kalau datanya FAO menyebutkan konsumsi daging rata-rata kita adalah 10 kg per tahun per kapita, maka tambahannya perlu diisi dari daging ayam, kambing/domba dan tentu saja daging impor. Ini hanya sekedar untuk mempertahankan tingkat konsumsi daging yang sekarang, lantas bagaimana kita bisa meningkatkan konsumsi daging per kapita sama dengan rata-rata konsumsi masyarakat dunia yang sekitar 42 kg per tahun per kapita ? jawabannya ada di mindset !
Memenuhi
tingkat kebutuhan daging rata-rata sekarang saja sudah sangat berat,
apalagi bila hendak meningkatkan lebih dari empat kalinya untuk sekedar
menyamai rata-rata konsumsi daging penduduk dunia. Rasanya tidak
terbayangkan.
Tetapi
itulah kita, kalau kita berpendapat tidak akan bisa – maka kita memang
tidak akan bisa. Sebaliknya bila kita berpendapat insyaAllah bisa, maka
insyaAllah kita-pun bisa. Allah menjanjikan hal ini dalam hadits
qudsiNya : “ Aku seperti sangkaan hambaku…”. Siapa yang lebih benar janjiNya selain Allah ?
Maka inilah yang harus ditempuh di setiap perubahan besar yang akan kita lakukan, yaitu merubah dahulu mindset kita bahwa kita akan bisa. Kemudian setelah itu kita mencari jalannya. Bila mindset kita sudah tidak bisa – maka kitapun pasti tidak mencari jalan untuk bisa.
Mindset
adalah sekumpulan asumsi-asumsi yang membentuk pola pikir dan pola
tindak kita. Dalam kaitan daging misalnya, asumsi-asumsi itu antara lain
adalah daging identik dengan daging sapi – padahal misalnya daging
domba dan kambing juga tidak kalah baiknya.
Kita
juga berasumsi bahwa untuk beternak sapi, domba dan kambing yang murah
dperlukan lahan gembalaan berupa padang rumput yang luas. Karena
asumsi-asumsi inilah kita menyerah pada Australia dan New Zealand untuk
kebutuhan daging dan susu kita. Sama dengan ketika berperang, begitu
kita berasumsi bahwa musuh lebih kuat maka kita akan defensive atau
bahkan menyerah.
Maka
solusi besar dari masalah besar perdagingan – yang berpengaruh langsung
pada kwalitas generasi kini dan nanti ini – harus dimulai dari
perubahan besar pada mindset kita, perubahan asumsi-asumsi di pikiran kita yang kemudian akan membentuk perubahan pada pola tindak kita.
Lantas
dari mana memulainya ?, mumpung kita baru mulai perubahan ini – maka
bisa dari awal kita arahkan untuk mengikuti petunjukNya agar tidak
(lagi) tersesat dalam perjalanan panjang ke depan.
Kita
mulai dari yakin-se yakin-yakinnya bahwa janjiNya pasti benar, bahwa
bila kita berpikir Dia memberi rezeki kita (termasuk daging di dalamnya)
minimal sama dengan yang diberikannya pada rata-rata penduduk dunia –
maka kitapun akan mendapatkannya demikian - mengikuti hadits qudsi
tersebut di atas.
Lantas
karena Dia akan memberi kita daging yang jauh lebih banyak dari yang
sekarang kita terima, maka jalanNya-lah yang berlaku – dan bukan jalan
yang selama ini kita tempuh. Bila setelah jungkir balik memproduksi
daging sapi kita hanya menghasilkan daging sapi yang setara 1.8 kg per
tahun per kapita, maka terlalu jauh produksi ini bila mengejar konsumsi
daging yang 42 kg per tahun per kapita – seperti konsumsi rata-rata
penduduk dunia !
Lantas
dari mana lompatan besar itu akan kita peroleh ? dari mana lagi kalau
bukan dari Al-Qur’an dan sunnah-sunnah nabiNya ! Al-Qur’an yang
dengannya gunung-pun bisa terbelah (QS 59:21), yang menjadi jawaban atas
segala sesuatu (QS 16 :89), yang menjadi petunjuk, penjelasan atas
petunjuk dan pembeda (QS 2:183) – pasti sangat bisa menjawab seluruh
persoalan daging ini.
Perhatikan rangkaian ayat-ayat berikut misalnya :
“Maka
hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami
benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah
bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
anggur dan hijauan , zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS 80 : 24-32)
“Dia-lah,
Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya
menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun,
kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
memikirkan.” (QS 16 : 10-11)
Pemahaman dan pendalaman ayat-ayat tersebut akan segera merubah mindset
kita. Bahwa lahan-lahan gembalaan terbaik itu bukan padang rumput yang
luas seperti yang dimiliki oleh Australia dan New Zealand misalnya.
Lahan-lahan
gembalaan yang diresepkanNya itu adanya di antara kerindangan
tanaman-tanaman lain dari jenis biji-bijian, kurma, anggur, zaitun,
segala macam tumbuh-tumbuhan, buah-buahan , rumput-rumputan, dan segala
tanaman yang membentuk kebun-kebun yang lebat. Negeri mana yang memiliki
ini semua ?
Utamanya
adalah negeri-negeri tropis yang memiliki keaneka ragaman hayati yang
sempurna. Negeri mana itu ? salah satu yang terbaiknya tentu adalah
negeri ini, Indonesia !.
Jadi
resep penggembalaan dari Al-Qur’an tersebut di atas justru paling fit
bila diterapkan di negeri ini, lebih dari negeri-negeri lain yang selama
ini membentuk mindset kita seolah merekalah yang bisa memproduksi daging dan susu yang murah itu.
Masalahnya
adalah kebun-kebun yang luas dari perkebunan, kehutanan, industry dlsb
adalah bukan milik rakyat, dimana rakyat bisa menggembalakan
ternak-ternaknya ? Jawabannya ada di hadits berikut :
“Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput, air dan api” (Sunan Abu Daud, no 3745).
Kuncinya
ada di syirkah atau kerjasama itu, ketika kita tidak bersyirkah seperti
sekarang – dengan potensi ladang gembalaan yang paling baik-pun kita
tetap tidak bisa makan daging secara cukup.
Kita
bisa bersyirkah dengan para pemilik perkebunan, perhutani, pengelola
jalan tol dan bahkan pengelola-pengelola lapangan golf untuk bisa
menggembala di lahan gembalaan yang sangat luas.
Orang-orang
yang pesimis pasti akan melihat masalah demi masalah. Menggembala di
lahan perkebunan tidak akan diijinkan pemiliknya, juga di perhutani.
Menggembala di pinggir jalan tol akan meningkatkan kerawanan pengguna
tol. Menggembala di lapangan golf akan merusak keindahan lapangan golf
dan segudang permasalahan lainnya.
Tentu
ini kembali ke hadits qudsi tersebut di atas, bila kita beranggapan
tidak bisa karena penuh masalah – maka kita memang tidak akan bisa
karena kita tidak beranjak untuk berusaha mengatasi masalah-masalah yang
ada.
Sebaliknya
bila kita optimis bisa, kita menyadari ada tantangan-tantangan besar di
depan – maka kita akan mulai berusaha memecahkan masalahnya satu demi
satu. Golongan kedua inilah yang ingin kami ajak rame-rame untuk mulai
berbuat mengatasi masalah yang nampaknya sepele - masalah daging –
tetapi bisa menjadi penghancur kwalitas generasi ini.
Kita ubah dahulu mindset kita untuk bisa, maka insyaAllah kitapun akan bisa. InsyaAllah !
NB:
Versi Video dari tulisan ini dapat dilihat di : http://www.youtube.com/watch?v=4ipO2845qXA&list=UUGra2IPnbA2xoSA90BGjg8Q
Tidak ada komentar:
Posting Komentar