Oleh: Muhaimin Iqbal
Sebagai (calon) pemilih yang kritis, semalam saya sempat mencermati acara debat dua calon presiden di televisi. Dari materi yang disampaikan oleh keduanya, maupun jawaban yang diberikan atas pertanyaan calon lain – saya menemukan kesalahan-kesalahan yang cukup fatal dari keduanya. Kesalahan-kesalahan ini bisa menjadi masalah bagi negeri ini bila nantinya salah satu dari mereka menjadi presiden dan menerapkan konsep yang salah tersebut dalam program kerjanya.
Dari
calon presiden nomor urut satu, kesalahan itu menurut saya ada pada
program penciptaan 2 juta hektar sawah. Orde Baru dahulu pernah berusaha
membuka lahan sawah sejuta hektar dan hasilnya adalah sejuta masalah. Saya kawatir proyek 2 juta hektar sawah , akan menjadi 2 juta masalah !
Masalah-masalah
tersebut antara lain adalah lahan siapa atau dari lahan apa yang akan
diubah menjadi sawah tersebut ? dari hutan ? maka yang terjadi adalah
kerusakan lingkungan yang bisa menjadi sangat dasyat. Dari lahan tegalan
yang kurang produktif ?, perkebunan-perkebunan yang kurang produktif ?
Anda
tahu betapa susah dan mahalnya mengubah tanah darat menjadi tanah sawah
? Para petani atau pemilik lahan pasti tahu masalah ini, maka
sangat-sangat sedikit tanah padat tegalan yang diubah menjadi sawah.
Yang paling banyak terjadi malah sebaliknya, yaitu dari tanah sawah
menjadi tegalan.
Katakanlah
setelah sawah yang subur berhasil dengan susah payah dibentuk dari
mengkonversi hutan atau perkebunan, tanah sawah yang subur sekalipun
dengan pola tanam yang ada selama ini yang cenderung monokultur – akan
sangat sulit untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.
Bahkan di daerah yang lahan sawahnya paling subur sekalipun di Magelang, petaninya lebih suka menjual lahannya untuk dapat masuk menjadi pegawai negeri. Gaji pegawai negeri yang paling rendah sekalipun akan dapat lebih menarik dari kepemilikan sawah rata-rata petani.
Kesalahan
berikutnya yang terkait dengan program pembukaan sawah 2 juta hektar
adalah rencananya untuk menanam jagung dan dibuat ethanol. Di negara
maju seperti Amerika saja, program membuat bioethanol generasi pertama
dari jagung diakui oleh mantan wakil presiden mereka sebagai suatu kesalahan karena rasio konversinya yang sangat rendah – masak hal yang sama mau kita lakukan disini.
Untuk
calon presiden nomor urut 2, kesalahan yang menurut saya cukup fatal
itu terletak pada jawaban yang disampaikan ketika menjawab pertanyaan
dari calon nomor urut 1 - tentang ancaman serbuan pemain asing di era
ASEAN Economic Community yang sudah akan terjadi tahun depan di 2015.
Calon
presiden nomor urut 2 menjelaskan rencananya bahwa untuk mencegah
serbuan pemain asing itu, pemerintahannya atau pemerintah daerah dibawah
pimpinannya akan diminta ‘sedikit mempersulit’ masuknya para pemain
asing ini dengan peraturan-peraturan yang dibuatnya nanti. Jawaban ini
cukup fatal karena diungkapkan secara terbuka dalam debat capres yang
bisa disaksikan oleh masyarakat dari seluruh dunia yang memiliki
kepentingan terhadap Indonesia.
Para
pemimpin negara ASEAN dan para pelaku usahanya bisa melihat niat yang
‘kurang baik’ dari calon presiden nomor urut 2 dalam merespon
kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat oleh pendahulunya – yang sudah
menyetujui kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut.
Terlepas
dari kesalahan-kesalahan tersebut, kita harus menerima kenyataan bahwa
salah satunya akan terpilih menjadi presiden kita nantinya.
Kesalahan-kesalahan teknis dari dua calon ini masih tidak seberapa
dibandingkan dengan kesalahan mendasar – dimana keduanya masih akan
menerapkan ekonomi ribawi dalam pemerintahannya. Bahkan sang
moderator-pun tidak memandang perlu mengangkat isu riba ini dalam debat
ekonomi presiden, ini menunjukkan betapa permisifnya bangsa ini terhadap
riba !
Walhasil
siapapun yang terpilih, perjuangan umat untuk tidak menjadi musuh Allah
dan rasulNya karena tidak menghentikan riba (QS 2:278-279) – masih akan
sangat panjang. Tugas para ulama untuk membacakan dan menjelaskan
tafsir ayat-ayat Al-Qur’an semuanya termasuk ayat-ayat riba ini,
mestinya menjadi prioritas di jaman seperti ini ketimbang malah menjadi
pembela dari salah satu pasangan capres-cawapresnya.
Mengenai
kesalahan teknis tersebut insyaAllah lebih mudah diatasi, bila calon no
1 yang terpilih – bisa saja strategi membuka 2 juta hektar lahannya
diganti dengan konsep agroforestry.
Dimana lahan hutan dipertahankan tetap hutan, lahan kebun dipertahankan
tetap kebun tetapi isinya yang secara bertahap diubah menjadi hutan
atau kebun penghasil pangan – yang sudah banyak saya tulis dalam konsep
Kebun Al-Qur’an.
Energi
bioethanol-nya juga tetap bisa dijalankan tetapi bukan generasi pertama
yang berebut dengan pangan manusia, tetapi generasi berikutnya yang
tidak berebut dengan pangan. Inipun sudah saya tulis panjang lebar dalam
Kesimbangan Pangan, Pakan dan Energi.
Kesalahan
teknis calon no 2-pun bisa dikoreksi, jangan pemerintah atau unsur
pemerintah yang membuat diskriminasi peraturan – yang menghambat
masuknya pemain asing. Tetapi ini bisa dilakukan ditingkat pelaku usaha,
melalui asosiasi-asosiasinya mereka, melalui standar-standar yang
mereka berlakukan dalam berbagai asosiasinya masing-masing.
Masuknya
pemain asing bisa dibendung oleh standar profesionalisme yang tinggi
dari para pelaku ekonomi lokal, bukan melalui peraturan-peraturan
pemerintah pusat sampai daerah – yang selain rawan tekanan dari pihak
luar, juga rawan kepentingan dari pihak-pihak tertentu dalam penyusunannya.
Bila
hal-hal teknis insyaAllah bisa diatasi, tidak demikian dengan dengan
pilihan keberpihakan kita – apakah kita berada di pihak yang dimusuhi
oleh Allah dan RasulNya sebagaimana ayat-ayat tersebut di atas, atau
kita berada di pihak yang diberkahi / ditolong Allah.
Keberpihakan
ini tidak tergantung pada partai dan tidak tergantung pula pada pilihan
kita di no urut 1 atau 2, keberpihakan ini hanya tergantung pada apakah
ada keimanan dan ketakwaan kita atau tidak.
Mudah-mudahan
Allah menunjuki kita jalan yang lurus, jalan panjang yang nampaknya
masih harus ditempuh umat ini untuk sampai kepada ridhloNya semata.
InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar