Oleh: Muhaimin Iqbal
Kurang dari sebulan lagi kita akan kembali menyaksikan tragedy of the commons tahunan di negeri ini, yaitu ketika mayoritas penduduk kota besar memutuskan pulang kampung bareng. Hal yang baik untuk dilakukan orang per orang, tetapi ketika (hampir) semua orang melakukannya – menimbulkan masalah besar berupa kemacetan lalu lintas yang luar biasa. Problem ekonomi pada umumnya timbul juga karena tragedy of the commons ini.
Semua
orang tentu pingin memiliki tempat tinggal yang dekat dengan kantor
atau pabrik tempatnya bekerja, dampaknya adalah tanah di perkotaan
harganya selangit, terjadi kekumuhan di kota, udara menjadi tidak sehat,
sumber air bersih terganggu dan berbagai masalah sosial yang muncul
karenanya.
Setiap hari kita juga menyaksikan tragedy of the commons
di jalan- jalan raya, semua orang pingin cepat sampai ke kantor atau
pulang ke rumahnya. Dampaknya justru mayoritasnya telat karena kemacetan
yang semakin bertambah parah.
Lantas
bagaimana mengatasi masalah seperti ini ?, cara idealnya adalah
membangun masyarakat mulia yang sebagiannya bisa saling mengalah atau
berkorban. Sebagian memutuskan tidak pulang kampung setiap lebaran –
agar yang lain bisa pulang kampung dengan nyaman. Sebagian memutuskan
untuk tidak bekerja di kota-kota besar, agar yang memang perlu bekerja
di kota-kota besar dapat melakukannya secara lebih manusiawi.
Tetapi
yang ideal seperti ini kan tidak terjadi dengan sendirinya di
masyarakat, harus ada yang memulai sedikit demi sedikit akhirnya
mencapai tipping point – meluas secara cepat di masyarakat. Tetapi siapa yang mau memulai ini ? dan bagaimana mekanismenya agar bisa meluas ?
Itulah
yang sedang kita coba lakukan di iGrow Project – yaitu project Ramadhan
kami bersama team anak-anak muda kreatif dari Badr Interactive. Intinya
project ini adalah initiative untuk menghindari tragedy of the commons di bidang lingkungan dan masa depan kehidupan.
Ketika
tanah untuk tempat tinggal semakin langka dan mahal, orang akan
cenderung mengoptimalkan tanah-tanah yang ada untuk bangunan – baik itu
untuk rumah, kantor, pabrik dlsb. Ini menjadi pilihan orang per orang
karena rumah lebih cepat bisa dinikmati, kantor dan pabrik lebih cepat
untuk memutar uang dlsb.
Dampaknya
nyaris tidak ada yang menanam pohon, karena tanah yang ditanami pohon –
tidak secara langsung bisa dinikmati oleh pemiliknya. Kalau toh bisa
dinikmati setelah menunggu sekian lama, hasilnya tidak seberapa bila
dibandingkan dengan tanah untuk perumahan dan sejenisnya.
Lantas
bagaimana orang bisa kembali rame-rame mau menanam pohon secara massive
di tanah-tanah yang masih tersisa ? harus ada yang mulai mengajak-ajak
dan memberi insentif sehingga orang mau melakukannya. Tetapi siapa yang
akan memberi insentif ini ?
Itulah
proses kreatif yang sekarang sedang kita kerjakan. Nantinya insentif
itu datang dari masyarakat yang saling menjamin, masyarakat yang kita
ajak untuk bergabung dalam iGrow project ini.
Dengan
konsep saling menjamin ini misalnya pemilik lahan di puncak-Bogor tidak
harus menjual tanahnya ke orang Jakarta yang kemudian menjadikannya
villa. Dia cukup menjadikan lahannya untuk menanam berbagai pohon buah,
dia sudah akan memperoleh insentif yang tidak kalah menariknya dengan
menjual lahan untuk dijadikan villa.
Insentif
itu datang dari para sponsor yang membiayai pohon-pohon yang ditanam
oleh si pemilik tanah tersebut. Kok mau para sponsor membiayai penanaman
pohon-pohon ini ? apa insentif untuk mereka dan bagaimana mengetahui
kalau pohon-pohon itu bener-bener ditanam ?
Insentif
kepada para sponsor yaitu masyarakat luas seperti saya dan Anda adalah
terjaganya lingkungan hidup dalam jangka panjang, tersedianya
buah-buahan dan bahan pangan yang cukup hingga generasi mendatang,
problem banjir tahunan Jakarta akan ada penyelesaiannya yang konkrit
karena air dikelola dengan baik hingga ke hulu, dan bahkan bisa juga
insentif bagi hasil setelah pohon berbuah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar