Oleh: Muhaimin Iqbal
Karena kesibukan sepanjang tahun, kami hanya bisa belajar secara fisik ke negeri-negeri yang jauh pada musim liburan yang panjang. Bila liburan tahun sebelumnya mentadaburi ayat sampai ujung gurun Sahara dalam Ekspedisi Magribi, liburan tahun ini berusaha melihat keunggulan negeri-negeri lain saat ini agar kita bisa mengalahkannya untuk masa yang akan datang. Apa keunggulan yang insyaAllah bisa kita kalahkan ini ?
Karena
problem mendasar kita masih seputar pangan, maka yang kami amati kali
ini adalah bagaimana negara-negara maju memproduksi makananannya dari
sumber daya alam yang mereka miliki.
Ada
lima negara maju yang kami amati lahan-lahan produksi pangan mereka
yaitu Belanda, Belgia, Perancis, Jerman dan Swiss. Yang langsung
terlihat kesamaan dari kelimanya adalah lahan-lahan pertanian mereka
nampak sepi bahkan cenderung lengang – jarang terlihat pekerjanya.
Mengapa
demikian ?, karena jumlah tenaga kerja mereka di sektor pertanian
sangat sedikit dibandingkan dengan lahan-lahan yang mereka garap. Di
Belanda rata-rata 1 orang tenaga kerja pertanian menggarap lahan seluas
2.48 ha, di Belgia 3.95 ha, di Swiss 3.95 ha, di Jerman 12.75 ha dan di
Perancis 22.50 ha.
Bandingkan
ini dengan kita yang di Indonesia, rata-rata 1 tenaga kerja pertanian
hanya menggarap lahan subur seluas 0.59 ha. Kita bahkan masih kalah jauh
dari Thailand yang 0.96 ha, dan hanya sedikit lebih unggul dari
Philipina yang 0.54 ha.
Artinya
apa angka-angka ini semua ? Itulah angka yang membuat petani kita
rata-rata miskin karena lahan yang bisa mereka garap per tenaga kerjanya
sangatlah kecil. Bila dengan tingkat produktifitas yang sama saja, maka
petani di Belanda berpenghasilan rata-rata 4 kali penghasilan petani
kita, Belgia dan Swiss 7 kali, Jerman 21 kali dan Perancis 38 kali !.
Karena
jumlah tenaga kerja pertanian kita sekitar 55 juta orang atau sekitar
35 % dari jumlah tenaga kerja produktif Indonesia, maka tingkat
kemakmuran petani kurang lebih juga mencerminkan tingkat kemakmuran kita
semua.
Angka-angka tersebut di atas memberikan kita sebuah helicopter view yang sangat berbeda dengan persepsi selama ini tentang sumber daya alam yang kita miliki. Selama ini kita terlenakan dengan sumber daya alam yang konon ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawi – tongkat dan batupun jadi tanaman.
InsyaAllah ini masih benar adanya, hanya yang kita lupa adalah jumlah penduduk kita yang sangat banyak. Maka lahan yang subur ijo royo-royo
tersebut ketika dibagi dengan jumlah pekerja yang sangat banyak –
membuat produktifitas tenaga kerjanya menjadi sangat rendah. Ketika
hasil panenannya dibagi ke seluruh penduduk-pun menjadi tidak cukup
sehingga kita harus mengimpor begitu banyak bahan pangan kita.
Lantas
apa yang masih bisa kita perbuat ? Total lahan yang kita miliki sudah
tidak mungkin bertambah lagi, sedangkan jumlah penduduk kita terus
bertambah dengan laju sekitar 1.25% per tahun !
Sebagai
seorang insinyur pertanian-pun saya tidak yakin ada ilmu pertanian
manusia yang akan bisa mengatasi problem tersebut. Ini terbukti dari 69
tahun kemerdekaan kita, sungguh tidak banyak yang bisa kita capai dari
sisi produktifitas hasil pertanian kita – yang ada malah kecenderungan
turun ketimbang naik.
Maka
satu-satunya solusi adalah kembali kepada petunjukNya semata, karena
Dia-lah yang menciptakan kita dan Dia pula yang menjanjikan kecukupan
rezeki kita.
InsyaAllah
kita akan bisa memproduksi hasil pertanian berupa daging, minyak,
karbohidrat dari buah-buahan dlsb. dengan tingkat hasil yang sangat
tinggi – bahkan dibandingkan dengan hasil pertanian negeri-negeri maju
sekalipun bila kita mengolah lahan subur kita dengan menggunakan
petunjukNya.
Ilustrasi
disamping adalah perbandingan hasil bila 1 hektar lahan subur dipakai
untuk menanam gandum di negeri-negeri maju, untuk menanam padi di negeri
kita dan untuk bertani mengikuti pola WATANA (Wana Tani Ternak) yang
kita kembangkan antara lain berdasarkan surat ‘Abasa ayat 24-32 dan
An-Nahl 10-11.
Dari
ilustrasi tersebut kini kita bisa tahu bahwa satu-satunya jalan untuk
bisa mengungguli produktifitas negara maju adalah bila kita menggunakan
petunjuk Al-Qur’an.
Tetapi
inipun tentu tidak mudah, pertama karena ibarat senjata di tangan –
kita belum terbiasa menggunakannya, dan kedua berlatih-pun kita belum.
Maka inilah yang harus mulai kita lakukan di generasi ini,
yaitu mulai melatih menggunakan senjata yang kita miliki – berupa
petunjuk-petunjukNya – sampai kita bener-bener terampil dan mahir dalam
penggunaannya, kemudian mengajarkannya pada generasi-generasi
berikutnya.
Baru
setelah itulah insyaAllah kita akan bener-bener menjadi umat yang
paling tinggi seperti yang dijanjikannya pula di Surat Ali ‘Imran
138-139. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar