Oleh: Muhaimin Iqbal
Bila lahan pertanian tanaman pangan dunia dibagi rata ke seluruh penduduknya, maka masing-masing mendapatkan bagian 0.22 ha per penduduk. Tetapi bila lahan yang sama dipersempit khusus Indonesia dan dibagi juga dengan penduduk Indonesia saja, maka masing-masing penduduk hanya mendapatkan bagian 0.08 ha per penduduk. Fakta ini merubah persepsi kita tentang kekayaan alam yang kita miliki, bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki kelebihan kekayaan alam – kita hanya akan bisa makmur bila kita bekerja sangat efisien !
Bila
hanya dengan melihat luas lahan Indonesia yang bisa dipakai untuk
bercocok tanam, maka Indonesia hanya memiliki luas areal pertanian 1.28 %
dari luas areal pertanian dunia. Sementara itu jumlah penduduk
Indonesia merupakan 3.51 % dari
jumlah penduduk dunia, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sekitar
1.25% - lebih tinggi pula dari rata-rata pertumbuhan penduduk dunia yang
berada di kisaran 1.15 %. Artinya by default, orang Indonesia punya (potensi) problem pangan yang lebih besar dari rata-rata penduduk dunia. Lantas apa solusinya ?
Secara
sederhananya manusia Indonesia harus bekerja lebih keras dan lebih
cerdas agar hasil pertaniannya bisa meningkat hampir tiga kali lipat
dari hasil rata-rata pertanian penduduk dunia – untuk sekedar mencapai
hasil pertanian yang mencukupi bagi rakyatnya. Dengan kata lain manusia
Indonesia harus bisa bekerja jauh lebih efisien ketimbang rata-rata
penduduk dunia.
Dan
ini tentu sudah diupayakan secara maksimal oleh teman-teman ahli
pertanian Indonesia dan juga oleh instansi-instansi yang terkait.
Hasilnya kita ketahui bersama bahwa hingga kini kita masih harus
mengimpor begitu banyak bahan pangan kita mulai dari gandum, susu,
daging, kedelai dlsb.
Dengan
trend pertumbuhan penduduk negeri ini yang cenderung lebih tinggi dari
pertumbuhan rata-rata penduduk dunia - bila kita tidak berbuat sesuatu
yang luar biasa di jaman ini – problem generasi mendatang akan menjadi
jauh lebih berat.
Pertama
karena tentu rasio antara pendududuk dan ketersediaan lahan produktif
untuk produksi pangan akan terus menurun. Kedua negeri-negeri yang
selama ini menjadi pengekspor bahan pangannya untuk kita – belum tentu
bisa terus mengekspor produk mereka. Disamping kebutuhan negeri produsen
sendiri yang juga meningkat, perebutan produksi pangan mereka dari
negara-negara lain yang juga membutuhkan akan semakin keras
persaingannya.
Dalam
situasi seperti ini, siapa yang akan bisa mengatasi masalah yang akan
semakin pelik tersebut ? Dibutuhkan lebih dari ahli pertanian atau ahli
pangan dalam mengatasi hal ini, dibutuhkan ahli pertanian atau pangan
yang beriman, sabar dan mengerti apa yang harus mereka lakukan.
Dan
ini berlaku umum, dalam bidang apapun ketika posisi kekuatan kita lemah
dibandingkan yang lain – baik itu dibidang ekonomi, politik, pemikiran,
peradaban – maka kita membutuhkan kekuatan ekstra untuk bisa
mengungguli musuh atau pesaing-pesaing kita. Keunggulan ektstra itu
hanya bisa dibangun dengan tiga hal tersebut yaitu keimanan, kesabaran
dan kepahaman atas apa yang kita lakukan.
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS 8: 65)
Lantas
apa hubungannya antara iman, sabar dan kepahaman itu dengan keunggulan
atau kemenangan kita atas orang lain yang tidak beriman, yang tidak
sabar dan tidak mengerti/tidak paham ?
Dengan
iman orang akan meyakini bahwa adalah Sang Pencipta – Yang Maha Kuasa –
yang menentukan hasil kerja kita, kita hanya bisa bekerja tetapi
bukan kita penentu hasilnya. Dengan iman pula kita yakin akan adanya
petunjuk yang menuntun kita dalam setiap aspek kehidupan. Hanya dengan
imanlah semangat berjuang kita bisa dikobarkan – tanpa harus
diming-imingi hasil jangka pendek.
Orang
yang mengandalkan ilmu dan teknologi-nya semata untuk mengatasi
persoalan hidupnya, mereka akan seperti mengejar fatamorgana – mereka
mengira bahwa ilmu dan teknologinya cukup untuk menjawab segala
persoalan hidup mereka – tetapi nyatanya tidak. Persoalan hidup berlari
lebih kencang ketimbang ilmu dan teknologi manusia yang mengejarnya.
Ilmu dan teknologi manusia tentu saja sangat penting, tetapi itu saja
tidak cukup.
Kemudian
dengan sabar orang bisa mengendalikan perasaan dan
keinginan-keinginannya, dengan sabar orang bisa mengambil keputusan
berdasarkan akalnya bukan hanya perasaannya, tidak grusa-grusu.
Sabar membuat kita kuat dalam pendirian, kuat dalam tekad, berani
mengambil keputusan dan istiqomah dalam memperjuangkan apa yang kita
putuskan.
Dengan
sabar orang tidak terganggu akal dan pikirannya meskipun dia dalam duka
dan penderitaan, tidak tergoda untuk memperoleh hasil jangka pendek
dengan mengorbankan tujuan jangka panjang.
Ayat
tersebut di atas sekaligus juga membalikkan persepsi kita selama ini
yang terkesan bahwa orang sabar itu cenderung identik dengan kerja
lamban, nrimo dengan hasil
seadanya dan sejenisnya. Justru sebaliknya, bahwa orang sabarlah yang
memiliki produktifitas tertinggi dengan hasil 10 kali lipat dibandingkan
dengan orang lain yang tidak sabar.
Bagaimana
orang sabar melakukan hal ini ? Dia paham tentang tujuan hidupnya dan
paham apa-apa yang harus diperjuangkannya. Orang yang tidak beriman
berjuang untuk keperluan duniawinya semata karena mereka tidak memahami
tujuan hidup yang sesungguhnya. Orang beriman berjuang untuk mencari
keridlaanNya semata dan tidan tergoda untuk hasil jangka pendek.
Lantas apa hubungannya antara ayat di atas dengan sumber daya alam dan (potensi) problem pangan kita ?
Selama
ini kita mengolah tanah dengan tidak ada bedannya dengan mereka yang
tidak beriman – karena juga dari merekalah kita belajar pertanian. Kita
terobsesi dengan hasil jangka pendek untuk solusi masalah-masalah yang
juga jangka pendek. Sangat sedikit yang berorientasi jangka panjang dan
menggunakan petunjukNya untuk solusi masalah-masalah dalam jangka
panjang – once for all, satu kali solusi untuk selamanya.
Solusi untuk pangan jangka panjang kita antara lain dapat kita lihat di rangkaian ayat-ayat berikut : “maka
hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami
benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah
bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang)
lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan
untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS 80 : 24-32)
Dari
rangkaian ayat di atas kita tahu bahwa hanya satu dari lima sumber
makanan kita yang memerlukan sawah. Selebihnya tidak harus di sawah,
cukup di lahan-lahan lainnya yang semula tidak subur sekalipun – karena
ada petunjukNya untuk menyuburkan lahan yang mati (QS 36:33).
Rangkaian
ayat di atas juga mengindikasikan efisiensi penggunaan lahan yang kita
miliki, bukan hanya tanaman tumpang sari biasa – tetapi polyculture yang memberikan sejumlah hasil pertanian sekaligus, mix
antara pertanian tanaman semusim untuk bahan pangan, tanaman jangka
panjang juga untuk pangan serta sekaligus lahan gembalaan untuk produksi
daging, susu, pakaian dlsb.
Dengan
ini bisa kita melihat, hanya dengan petunjukNyalah mata kita terbuka
lebar – bahwa solusi untuk berbagai masalah kehidupan itu memang hanya
ada di petunjukNya tersebut. Tetapi untuk bisa menggunakan petunjukNya
ini tentu pertama harus kita imani dahulu, yang kedua harus kita amalkan
dengan kesabaran dan yang terakhir kita memang harus tahu apa yang kita
lakukan ini dan mengapa kita melakukannya.
Sabar tidak identik dengan nrimo dan kerja alon-alon,
sabar yang dilandasi dengan keimanan dan kepahaman justru akan
meningkatkan efisiensi umat ini dalam segala bidang kehidupan.
InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar