Oleh: Muhaimin Iqbal
Sudah genap sepuluh hari saya tidak menyapa karena sedang i’tikaf bersama sejumlah pembaca situs ini , team Kuttab dan Madrasah Al-Fatih serta secara khusus pakar sirah Ust. Budi Ashari dan sejumlah ahli Al-Qur’an. I’tikaf kali ini kami fokus mendalami sirah yang bersumber dari Al-Qur’an, untuk menjadi inspirasi dan solusi berbagai problema kehidupan. Oleh-oleh dari I’tikaf ini insyaAllah akan cukup untuk bahan tulisan saya sampai beberapa bulan kedepan, bisa menjadi buku ke 15 InsyaAllah. Apa yang menarik ?
Bila
dari dunia timur startegi perangnya jendral Sun Tzu telah lama diadopsi
di dunia usaha dan perdagangan, demikian pula dari dunia barat – sejak
berakhirnya Perang Dunia II banyak sekali strategi perangnya yang
dijadikan strategi bisnis - lantas bagaimana dari dunia Islam ?
Di
dalam Al-Qur’an, berbagai peperangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersama para sahabat dikisahkan begitu
detilnya tahap demi tahap. Maka ketika ayat-ayat perang dalam berbagai
surat kita tadaburi, seolah perang-perang itu hidup dan kita berada di tengah-tengahnya.
Kita bisa ikut merasa kegembiraannya ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta pasukannya meraih kemenangan, sebaliknya
juga merasa kesedihannya ketika menderita kekalahan. Pengalaman seolah
ikut merasakan sendiri peristiwa demi peristiwa ini yang kemudian
insyaAllah akan menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi kehidupan
kita kedepan. Baik sebagai pribadi, umat Islam negeri ini maupun umat
Islam di seluruh dunia.
Keseluruhan
pelajaran ini insyaAllah nantinya akan saya tulis sedikit demi sedikit
dalam tema sentral “Warfare Strategy : Inspirasi Kemenangan Dari
Al-Qur’an”. Setelah tulisan tersebut cukup lengkap, baru kemudian akan
kami kumpulkan menjadi buku berikutnya - sebagaimana buku-buku saya
sebelumnya yang dikumpulkan dari rangkaian tulisan di situs ini.
Saat
ini umat Islam sedang mengalami kekalahan di berbagai bidang kehidupan.
Di dunia politik dalam negeri, umat Islam yang mayoritas hanya menjadi
angka yang diperebutkan. Pihak manapun yang menang, Islam yang kalah.
Pemenang perebutan kekuasaan di negeri ini – hingga kini – belum ada
yang terbukti memperjuangkan Islam.
Di
dunia ekonomi, umat Islam yang mayoritas hanya sebagai target pasar –
belum menjadi pemain dari pasar itu sendiri. Segala urusan kebutuhannya
dikuasai oleh orang-orang di luar Islam sehingga tidak jarang mereka
mengabaikan kepentingan umat ini.
Riba
yang diperangi Allah dan RasulNya-pun bahkan menjadi kewajiban di
negeri ini, umat yang mayoritas ini dipaksa mengikuti program-program
ribawi melalui BPJS dan JKN yang menjadi wajib bagi seluruh pegawai
sejak awal tahun ini – dan bahkan akan menjadi wajib bagi seluruh warga
negara mulai Januari 2019 nanti.
Demikian
pula dalam bidang-bidang kehidupan seperti urusan obat-obatan,
pendidikan, budaya dlsb. umat mayoritas ini seolah tidak berdaya
memperjuangkan kepentingannya, ya antara lain karena tidak adanya
keberpihakan dari pemerintah yang dahulunya juga rame-rame dipilih oleh
umat ini sendiri.
Maka
dalam perbagai bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi dan bisnis,
sosial, pendidikan, kesehatan dlsb. perjuangan kepentingan umat ini
harus dibawa ke tingkat berikutnya yaitu niat yang lebih lurus, kerja
yang lebih ikhlas, barisan yang lebih rapi, daya juang yang lebih gigih,
kesabaran yang tidak ada batasnya, dlsb-dlsb. yang semuanya bisa kita
pelajari dari dunia peperangan.
Tetapi
berbeda dari peperangan yang dilakukan oleh jendral Sun Tzu ataupun
peperangan yang dilakukan negeri-negeri barat pada umumnya,
perang-perang yang bisa kita jadikan pelajaran adalah perbagai
peperangan yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta
pasukannya – yang diabadikan dengan komplit dan detil di Al-Qur’an.
Untuk
memberikan gambaran awal betapa luasnya pelajaran yang bisa kita ambil
dari peperangan-peperangan tersebut, saya ingin membukanya dengan ayat
pertama dalam surat Al-Anfal berikut :
Ayat pertama Surat Al-Anfal yang mengisahkan tentang perang Badar ini dibuka dengan kalimat “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.” lalu dilanjutkan “Katakanlah:
"Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu
bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu,
dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang
yang beriman"”.
Setelah
ayat pertama ini sampai dengan empat puluh ayat berikutnya, Allah
bercerita dengan detil tentang perang Badar yang berujung pada
kemenangan kaum muslimin. Dari kemenangan inilah kemudian kaum muslimin
mendapatkan pembagian atas harta rampasan perang – yang dalam ayat 41
ini disebut ghanimah.
Penyebutan
“ghanimah” di ayat ini berbeda dengan penyebutannya di ayat pertama
yaitu “anfal”. Penggunaan kata “anfal” menekankan bahwa harta rampasan
perang itu lebih merupakan karunia dari Allah, bukan karena keberhasilan
pasukan dalam memenangkan perang – perang itu sendiri hanya Allah yang
menentukan kemenangannya.
Karena
merupakan karunia dari Allah, tidak pantas siapapun mempertanyakannya
ataupun memperdebatkannya apalagi ketika mereka belum mulai bekerja
melaksanakan kewajibannya. Nanti
setelah mereka menunjukkan ketaatan kepada Allah dan RasulNya, pasti
Allah akan memberikan balasanNya. Termasuk balasan yang dekat, yaitu
berupa balasan di dunia berupa ghanimah ini.
Maka
meskipun di ayat 1 disebutkan bahwa anfal atau harta rampasan perang
itu untuk Allah dan RasulNya, di ayat 41-nya dijelaskan bahwa ghanimah
yang juga berarti rampasan perang itu ternyata hanya 1/5-nya yang untuk
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
ibnusabil . Sedangkan mayoritasnya (4/5 bagian) untuk seluruh pasukan yang ikut berperang.
“Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang,
maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah
dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS 8:41).
Dari
penggunaan kata (anfal dan ghanimah) , jarak penempatan (ayat 1 dan
ayat 41) serta kata-kata dalam kalimat yang digunakan di dua ayat
tersebut saja sudah begitu banyak pelajaran yang bisa kita petik.
Antara lain bahwa dalam setiap pekerjaan besar apapun yang kita lakukan, baik itu kerja sosial maupun kerja komersial – kita membutuhkan team yang bener-bener mau bekerja dulu dengan
tulus – bukan team yang dari awal sudah menuntut bagiannya
masing-masing. Team yang dengan rela mau melaksanakan kewajiban dahulu
sebelum menuntut hak.
Kita
juga melihat begitu banyak contoh kegagalan apabila yang terjadi adalah
sebaliknya. Perang Uhud yang terjadi hanya selang 1 tahun setelah
perang Badar, pasukan Islam kalah. Penyebabnya tidak lain adalah karena
ada sebagian pasukan yang meninggalkan kewajibannya – sebelum tuntas –
sudah keburu mengejar hak ghanimah-nya.
Dengan
mudah kita dapat melihat contoh yang sama di negeri ini, umat Islam
tidak kunjung meraih kemenangan dalam bidang-bidang kehidupan karena
keburu menuntuk hak sebelum melaksanakan kewajiban. Dalam dunia politik
misalnya, kepada kita dipertontonkan betapa para politikus berebut kursi
dan jabatan dengan begitu gigihnya – padahal belum jelas kemampuan
mereka dalam mengemban kewajibannya kelak bila bener-bener diberi
kesempatan.
Bila
diaplikasikan penekanan pelaksanaan kewajiban sebelum menuntut hak ini
dalam dunia usaha bisa menghadirkan peluang keunggulan tersendiri, yaitu
manakala para produsen berusaha membuat produk atau layanan sebaik
mungkin yang dibutuhkan oleh konsumennya, nanti ketika konsumen
bener-bener sudah merasakan keunggulan produk atau layanan tersebut –
pastilah mereka bersedia membayar lebih untuk itu.
Maka
seperti inilah di Al-Qur’an kita bisa mengambil pelajaran dari setiap
langkah-langkah yang menghadirkan kemenangan, maupun langkah-langkah
yang menyebabkan kekalahan – di medan apapun peperangan kita.
InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar