Oleh: Muhaimin Iqbal
Sebelum PEMILU Presiden saya ‘bermimpi’ para capres sowan ke Pak Kyai, maka setelah KPU menetapkan pemenangnya yang kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi – sayapun melanjutkan ‘mimpi’ saya sebelumnya. Kali ini presiden terpilih sowan lagi ke Pak Kyai disertai team transisinya dan sudah dengan pengawalan kepresidenan. Pak Kyai bisa melihat beban berat yang diemban presiden terpilih ini dari melihat raut wajahnya, dan sesekali dia nampak menggaruk-garuk kepalanya ataupun memegang jidatnya – kebiasaan yang terbawa sejak sebelum terpilih menjadi presiden
Setelah
berbasa-basi saling menanyakan kabar dan kesehatannya, Pak Kyai
mendahui menanyakan ke sang presiden terpilih, sambil bercanda
sebagaimana kebiasaan Pak Kyai : “PEMILU sudah usai, dan Anda dinyatakan menang - mestinya ini yang Anda harapkan ? kenapa malah nampak kusut begini ?”
Candaan Pak Kyai ini ditanggapi serius oleh sang presiden terpilih : “ Anu
Pak Kyai…., belum juga dilantik sudah segudang masalah besar nampak di
depan mata. Di antaranya yang terberat – seperti yang Pak Kyai mungkin
sudah tahu dari media masa – adalah masalah supply dan harga BBM. Untuk
inilah antara lain kami sowan ke Pak Kyai”.
Dengan guyonannya lagi Pak Kyai menjawab : “Lho
bukankah Anda sudah didampingi team dari para pakar di bidang ini –
yang seharusnya mumpuni untuk mengatasi masalah ini ?, mengapa malah
datangnya ke saya – Kyai ndeso yang ndak paham ekonomi ?”.
Presiden terpilih ingin menunjukkan keseriusannya – bahwa dia butuh nasihat Pak Kyai, dia menjawab : “Tidak
demikian Pak Kyai, kami dan team berusaha semampu kami mengatasi
masalah-masalah yang memang menjadi konsekwensi tanggung jawab kami –
tetapi di atas itu kami butuh nasihat Pak Kyai – yang kami pandang
memiliki wawasan lain diluar yang kami mampu memikirkannya”.
Pak Kyai manggut-manggut dan kemudian berkata : “Baiklah
kalau demikian, tetapi mohon maaf sebelumnya ya bila pandangan Pak Kyai
nanti nampak nyleneh dan tidak seperti yang Anda harapkan”.
Kemudian Pak Kyai melanjutkan : “Adapun
amburadulnya harga BBM – dan juga harga-harga barang lainnya - yang
gejolaknya bisa menyebabkan beberapa presiden sebelumnya jatuh, itu
adalah karena kualat dari mengatur yang seharusnya tidak diatur dan
tidak mengatur yang seharusnya diatur”.
Mendengar kata kualat – presiden terpilih langsung paham maksud dari kata kualat dari bahasa Jawa yang belum ada terjemahannya ke bahasa Indonesia ini, dia-pun memotong penjelasan Pak Kyai : “ Apa maksud Pak Kyai dengan kualat karena mengatur yang tidak boleh diatur dan tidak mengatur yang seharusnya diatur ?”
Pak Kyai-pun berusaha menjelaskannya : “Begini,
dahulu di jaman Kanjeng Nabi harga barang-barang juga pernah naik.
Kemudian masyarakat datang kepada beliau minta beliau mengatur harga.
Beliau tidak mau mengatur harga karena takut nanti di akhirat ada yang
mengadukan kerugiannya karena harga yang diatur ini. Harga harusnya
dibentuk di pasar, bukan diputuskan oleh penguasa – ini yang saya maksud
yang seharusnya tidak diatur kok dipaksakan diatur”.
“Kemudian
yang seharusnya diatur tetapi tidak diatur oleh pemerintah-pemerintah
sebelumnya adalah keadilan dan kesamaan akses pasar bagi semua. Di pasar
tidak boleh ada monopoli, kartel, mafia, korupsi, premanisme dlsb-dlsb.
yang bisa men-distorsi mekanisme pasar dalam membentuk harga tersebut”.
Setelah dibisikin oleh team transisinya, presiden terpilih bertanya lagi ke Pak Kyai : “Tapi
Pak Kyai, kalau dibiarkan mekanisme pasar berjalan untuk harga BBM.
Maka harga BBM bisa melambung tinggi hampir dua kalinya dari harga
sekarang, dampaknya pasti sangat menyakitkan bagi masyarakat bawah”.
Pak Kyai rupanya juga siap dengan pertanyaan yang pelik ini, beliau menjawab: “Begini,
masalah BBM itu seperti orang sakit panas. Selama ini
pemerintah-pemerintah sebelumnya hanya mengobati gejala panas tersebut
dengan obat turun panas. Sumber penyakitnya sendiri tidak didalami
apalagi di atasi, sehingga sakit panas tersebut selalu kambuh lagi dan
lagi”.
Tidak sabar dengan wejangan Pak Kyai dalam masalah ini, presiden terpilih menyela : “Lantas dalam masalah BBM di negeri ini, sumber penyakit yang sesungguhnya apa menurut Pak Kyai ?”
Dengan kalemnya yang khas Pak Kyai menjawab : “Sederhana,
sumber masalah utamanya adalah di daya beli – bukan pada harga ! Biar
harga BBM dua kali dari sekarang karena mengikuti mekanisme pasar – bila
daya beli masyarakat bawah bisa Anda dongkrak menjadi lebih dari dua
kalinya – maka insyaAllah tidak akan ada lagi masalah harga BBM ini !”
Karena
menyangkut teknis, presiden terpilih mempersilahkan team ekonominya
langsung nanya ke Pak Kyai, mereka-pun dengan ilmu ekonominya berusaha
menyanggah pernyataan enteng Pak Kyai : “Kenyataannya
tidak demikian Pak Kyai, sejak Orde Lama dahulu, Ke Orde Baru dan Ke
Era reformasi – pendapatan rakyat kita termasuk yang dibawah sekalipun –
telah naik berlipat-lipat, tetapi harga BBM tetap menjadi masalah bila
dinaikkan menuju harga pasar yang sesungguhnya”.
Pak Kyai yang rajin membaca ini tidak mau kalah dengan sang ekonom : “Begini
nak, yang Anda sampaikan naik berlipat-lipat itu kalau ndak salah kan
masalah pendapatan dalam satuan Rupiah atau-pun US Dollar. Yang saya
maksud perlu dinaikkan adalah daya beli yang riil, bukan sekedar angka
dalam pendapatan Rupiah atau Dollar !”.
Sang
ekonom-pun manggut-manggut, dia tahu bahwa ternyata yang dimaksud pak
Kyai adalah daya beli riil – bukan sekedar angka pendapatan yang
konversinya ke daya beli riil memang tergerus oleh inflasi dari waktu ke
waktu. Tetapi rasa penasarannya membuat dia minta ijin ke presiden
terpilih untuk bertanya sekali lagi ke Pak Kyai.
“Mengangkat
daya beli riil ini yang lebih mudah diucapkan ketimbang dilaksanakan
Pak Kyai, menurut pak kyai bagaimana kita bisa mengangkat daya beli riil
masyarakat tersebut secara nyata di lapangan ?”
Pak
Kyai merasa diingatkan untuk bertanggung jawab dengan apa yang
diucapkannya, dia langsung ingat surat Ash Shaff ayat 2 – 3 yang artinya
: “Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu
perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
Setelah beberapa kali istighfar, Pak Kyai-pun menjawab pertanyaan sang ekonom : “Begini,
orang seperti saya yang banyak ngomong – harus sering-sering istighfar
dan harus banyak-banyak berbuat agar tidak dibenci oleh Allah”.
Dia kemudian melanjutkan : “Maka
saya hanya akan omong solusi yang sedang kami coba untuk menjalaninya.
Berdasarkan apa yang kami kaji di pesantren ini, kami tahu struktur
masyarakat pyramid kita membuat mayoritas orang berdaya beli rendah atau
yang dikenal dengan Bottom of Pyramid.
Kalau surveynya McKinsey dua tahun lalu dianggap benar, maka ada
sekitar 125 juta orang di negeri ini yang daya belinya kurang dari US$ 2
per hari. Kalau dikonversikan ke nishab zakat, maka ada sekitar 125
juta orang yang daya belinya hanya sekitar 1/5 nishab zakat !”
Kali ini suara Pak Kyai bergetar karena apa yang dikatakannya membuatnya sangat sedih : “Kemiskinan
massal inilah yang Anda harus bisa atasi, kalau ini tidak bisa Anda
atasi – maka pemerintahan Anda hanya akan sama dengan
pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Sebaliknya bila Anda bisa atasi
yang ini, masalah seperti harga BBM insyaAllah akan otomatis teratasi.”
Mendengar pesan yang sangat serius ini, presiden terpilih ingin mendalaminya : “Tadi
Pak Kyai bilang, bahwa Pak Kyai sudah juga mencoba langsung bagaimana
mengatasi krisis daya beli ini. Bentuk konkritnya seperti apa pak Kyai ?”
Rasa
sedih Pak Kyai mulai berangsur hilang, dia kembali bersemangat ketika
menceritakan apa yang sedang dia coba dengan para santrinya di pesantren
: “Dari 125 juta orang yang
miskin di negeri ini tersebut, kami perkirakan sekitar 55 jutanya adalah
para petani. Maka dari sinilah kami mulai bereksperimen. Bila selama
ini petani kita dianggap gurem – dus konsekwensinya berdaya beli rendah –
karena lahan yang mereka bisa olah sangat kecil, maka kami ingin
memulainya di sana. Kami ingin mendongkrak pendapatan kotor petani bisa
mencapai setara 1 kg emas untuk lahan per hektar per tahun !”
Makin
penasaran saja presiden terpilih dan team ekonominya mendengar target
dalam satuan emas ini. Presiden-pun memotng dan bertanya : “ Mengapa 1 kg emas Pak Kyai ? Apa ada benchmark-nya untuk ini ?”
Dengan tersenyum Pak Kyai menjelaskan : “Kalau
saya gunakan target itu dalam Rupiah ataupun Dollar, ini target yang
menipu – karena bisa saja sekian tahun dari sekarang target itu tercapai
dengan mudah, tetapi petani tidak tambah makmur – karena angka-angka
dalam Rupiah dan Dollar mudah sekali terdepresiasi oleh inflasi”.
Pak Kyai melanjutkan : “Mengenai
target hasil setara 1 kg emas/ha/tahun ini; saya ambilkan dari
kunjungan kami ke salah satu negeri yang diberkahi – Gaza/Palestina –
bagaimana negeri yang diboikot Zionis sewindu lebih ini bisa tetap
survive. Dengan pertolongan Allah tentu saja, hasil pertanian mereka
bisa mencapai US$ 50,000 per ha per tahun saat kunjungan kami tahun
lalu. Saat itu angka tersebut setara dengan sekitar 1 kg emas”.
Presiden dan team masih belum mudeng; maka Pak Kyai melanjutkannya : “ Bila
di negeri padang pasir saja, 1 ha lahan bisa menghasilkan setara 1 kg
emas. Bukankah negeri yang subur ijo royo-royo ini harusnya bisa
menghasilkan yang sama atau
bahkan lebih ?. Satu kilogram emas ini setara dengan sekitar 235 Dinar,
anggap biaya pengelolaan kebun sampai panen rata-rata termasuk zakat 30 %
, maka kebun tersebut memberikan hasil bersih 165 Dinar. Tingkat
kemakmuran dalam Islam diukur dengan nishab zakat yang 20 Dinar, maka
hasil kebun 1 hektar tersebut cukup untuk membuat 8 keluarga makmur !”.
Semakin penasaran, presiden terpilih-pun bertanya lagi : “ Apa saja yang ditanam Pak Kyai untuk bisa memberikan hasil yang mencapai setara 1 kg emas tersebut ?”.
Pak Kyai menjelaskan : “Kuncinya
ada pada apa yang ditanam dan bagaimana menanamnya. Yang ditanam adalah
tanaman-tanaman unggul bahkan juga tanaman yang diberkahi seperti
kurma, anggur, zaitun, delima, tin dan segala macam buah-buahan lainnya.
Cara menanamnya dengan petunjukNya pula yang tidak melibatkan
pupuk-pupuk kimia yang merusak lahan, dengan demikian bukan hanya murah
biaya pengelolaan kebunnya tetapi juga kebun tersebut terjaga
kelestariannya.”
Masih penasaran sang presiden, : “Tapi Pak Kyai, apakah tanaman-tanaman tersebut bisa tumbuh di negeri ini ?”
Karena
berulangkali dalam berbagai kesempatan Pak Kyai mendapatkan pertanyaan
yang serupa, tentu beliau sangat siap menjawabnya : “Karena
kita banyak bertanya dan sedikit berbuat, kita ketinggalan belasan
tahun dengan Thailand yang sekarang sudah siap membanjiri pasar ASEAN
dengan kurma-kurma mereka yang sudah siap panen. Di Indonesia-pun sudah
banyak sekali kurma terbukti berhasil berbuah, kami bahkan juga sudah
mengajarkan cara-cara pembibitannya. Demikian pula zaitun, sudah
berhasil kita bibitkan massal dan mulai ditanam di sejumlah lahan
percobaan. Buah Tin bahkan sudah menghasilkan di tahun pertama atau
keduanya.”
“Disamping
itu, tidak harus juga menunggu buah unggul itu dari kurma , zaitun
dlsb. Sambil menunggu hasil yang sesungguhnya sehingga bisa dibuat
analisa ekonomisnya, kita bisa juga menanam buah-buah lokal unggulan.
Buah unggul tidak harus hasil rekayasa genetika dlsb. Cukup kita pilih
bibit yang fitrahnya unggul kemudian kita tanam dan pelihara secara
disiplin – maka insyaAllah hasilnya akan unggul.”
Dengan antusias pak kyai memberi contoh buah kesukaannya yaitu durian : “ Durian
misalnya, ada durian jenis tertentu yang kini dijual sampai Rp 250,000
per buah di toko buah impor. Padahal durian jenis ini aslinya dahulu
juga dari Indonesia. Bila kita bisa tanam secara sungguh-sungguh dan
pada tahun ke 7 mulai memberikan buah yang maksimal di sekitar 200 buah
per musim, maka kebun buah durian kita akan bisa menghasilkan 100 (1
hektar bisa diisi 100 pohon) x 200 (buah per pohon per musim) x Rp
100,000 ( asumsi harga tidak setinggi harga supermarket – hanya 40%-nya
saja) = Rp 2 Milyar. Tapi nanti dahulu, katakanlah dari berbagai factor
kita hanya berhasil 25% saja dari target , maka kita masih bisa
menghasilkan Rp 500 juta per ha per musim – ini cukup untuk membeli emas
1 kg. Artinya target hasil 1 kg emas per ha bisa dicapai tanpa harus
ada rekayasa genetika dlsb. di dunia pertanian. Hanya disiplin dan
keseriusan kita dalam memilih jenis tanaman dan cara mengelolanya”.
Pak kyai masih terus melanjutkan : “ Tidak juga harus durian, bisa kelengkeng unggul, bisa manggis, bisa jeruk keprok untuk melawan jeruk mandarin impor dlsb.”
Presiden terpilih masih bertanya sekali lagi : “Itu semua sudah berhasil Pak Kyai lakukan ?”
Dengan tertawa lebar Pak Kyai menjawab : “Ya
belum ! tetapi kami sudah mencobanya dengan sangat serius untuk hampir
seluruh jenis tanaman yang saya sebut tadi. Pilihannya begini, Anda bisa
menunggu kami berhasil beberapa tahun lagi kemudian baru Anda ikuti –
maka Anda akan ketinggalan beberapa tahun dari kami dan mungkin saat itu
Anda sudah lengser juga. Atau Anda bareng kami mencobanya dari
sekarang, insyaAllah kita akan bisa menikmati keberhasilan bersama
sebelum Anda lengser lima tahun lagi !”
Kali
ini presiden terpilih yang tertawa terbahak-bahak. Sebelum berpamitan
ternyata team ekonominya masih penasaran dan bertanya : “ Katakanlah
kita berhasil memakmurkan petani yang 55 juta tadi Pak Kyai, lantas
bagaimana dengan 75 juta di pekerjaan-pekerjaan lain ?”.
Pak Kyai kaget dengan pertanyaan sang ekonom ini, dengan serius dia menjawab : “ lho
iki piye to ? (Lho bagaimana ini ), sampeyan kan yang ahli ekonomi
lulusan universitas terbaik di luar negeri, saya hanya Kyai ndeso – you figure it out !” Pak Kyai berusaha bicara dalam bahasa sang ekonom.
Tapi Pak Kyai kawatir juga kalau sang ekonom tetep belum mudeng juga, maka dia singgung sedikit konsep transformasi spiral : “Bila
55 juta petani makmur, akan ada peningkatan daya beli yang luar biasa
di negeri ini. Mereka butuh makanan yang lebih bervariasi, baju yang
lebih baik, peralatan rumah tangga yang modern, rumah yang lebih nyaman
dlsb. dlsb. yang menjadi kesempatan industri lain untuk tumbuh dan
meningkatkan lapangan kerja di sektornya masing-masing – inilah efek
spiral kemakmuran yang di-trigger dari meningkatnya daya beli masyarakat
terbawah !”.
Presiden
dan team merasa terlalu banyak sudah nasihat Pak Kyai yang perlu
dicerna secara seksama. Setelah mereka berpamitan, saya terbangun dengan
suara sirine mobil pengawal presiden totot…totot…tuing…tuing….o a la…cuma mimpi tho !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar