Oleh: Muhaimin Iqbal
Pada revolusi industri pertama (1700-an sampai pertengahan 1800-an) manusia berhasil meningkatkan produktifitas tenaga kerja secara berlipat-lipat dan sekitar 13 % penduduk dunia menjadi masyarakat industri. Pada revolusi industri kedua (pertengahan 1800-an sampai akhir 1900-an) manusia berhasil melipatgandakan capital dan sekitar 16 % penduduk dunia menjadi masyarakat industri maju. Apa yang terjadi di revolusi industri ketiga dan dimana peluang kita ?
Revolusi
industri ketiga telah mulai akhir abad lalu dan kini tengah
berlangsung, penggeraknya selain capital juga teknologi informasi
khususnya internet seperti yang kita sedang gunakan ini. Tetapi
teknologi internet saja belum cukup untuk mengatasi problem yang timbul
yang terkait dengan kebutuhan dasar yang riil seperti pangan, air dan
energi.
Dalam
proses revolusi industri yang ketiga ini, sekitar 37 % penduduk dunia
akan menjadi masyarakat industri – termasuk kita di dalamnya. Akan ada
tambahan sekitar 2.5 milyar manusia tinggal di kota-kota dunia, menambah
penduduk kota-kota dunia yang kini telah mencapai 1.5 milyar – menjadi
4.0 milyar.
Pertanyaannya
adalah siapa yang akan memberi makan mereka, 4 milyar penduduk
kota-kota dunia ini ? Maka akan terjadi perebutan-perebutan berat
terhadap sumber-sumber pangan dunia , karena di tengah sumber daya alam
yang menyusut – khususnya tanah
dan air untuk produksi pangan – penduduk kota yang semakin maju butuh
makan yang jauh lebih banyak dan lebih baik.
Di
Indonesia saja dalam 10 tahun kedepan (sekitar 2025) diprediksi 2/3
penduduknya akan tinggal di kota dan tinggal 1/3-nya di desa. Ketika
penduduk kota dan desa kita berimbang sama 50/50 yang terjadi sekitar
empat tahun lalu (2010), kita sudah begitu banyak mengandalkan sumber
pangan kita dari negeri lain – apalagi nanti ketika manusia yang tinggal
di kota menjadi jauh lebih banyak, siapa yang akan men-supply makan mereka ?
Supply
dari negeri lain atau import ? saat itu belum tentu ada yang mau
meng-ekspor makanannya karena negeri-negeri mereka sendiri juga sangat
membutuhkannya. Mereka juga punya masalah yang sama dengan kita, yaitu
jumlah penduduk kota yang jauh lebih besar yang terus perlu di-supply makanan – yang tentu saja tidak diproduksi di kota-kota !
Lantas
bagaimana kita mengatasi masalah ini sekaligus menjadikannya peluang
bagi kita untuk menjadi pemeran utama dalam revolusi industri ketiga ini
? Setelah kita meningkatkan keimanan kita dan menggunakan Al-Qur’an
sebagai petunjuk dan pelajaran – kita memang dijanjikan oleh Allah akan
menjadi umat yang tertinggi (QS 3:138-139), kita juga dijanjikanNya akan
memimpin dunia bila kita beriman dan beramal shaleh (QS 24:55).
Maka
kombinasi iman, takwa dan amal shaleh-lah yang akan menjadikan umat ini
umat tertinggi dan berkuasa di dunia, termasuk di dalamnya untuk
berperan penting dalam menggendalikan revolusi industri ketiga yang kini
tengah berangsung.
Tetapi
apa konkritnya yang bisa kita lakukan ?, peluang terbesar amal shaleh
kita adalah mengatasi masalah yang dihadapi dunia tersebut di atas – 4
milyar – penduduk kota-kota dunia yang
perlu makan cukup dan baik – ini asumsinya bila yang di desa bisa
mengelola sumber-sumber makanannya sendiri. Jumlahnya akan menjadi jauh
lebih besar bila yang tinggal di desa ternyata juga (sebagiannya) tidak
bisa mengelola makanannya sendiri.
Untuk
produksi pangan ini kita mutlak memerlukan sumber daya alam khususnya
tanah dan air, sementara dua sumber ini yang pasti tidak bisa bertambah
menyesuaikan dengan tingkat kebutuhannya. Maka revolusi ketiga ini
mengharuskan peningkatan berlipat ganda dari efektifitas penggunaan
sumber daya alam tanah dan air. Konsep nyatanya antara lain seperti food
forest atau hutan tanaman pangan seperti yang saya tulis sebelumnya “Memakmurkan Bumi, Dari Yang Kita Bisa”.
Tetapi
masalahnya adalah mayoritas kita tidak memiliki lahan untuk
mengimplementasikan konsep berkebun mengikuti petunjuk Al-Qur’an
tersebut. Bagi yang punya lahan-pun belum tentu memiliki tenaga,
pengalaman dan skills yang di perlukan untuk menggarapnya.
Para penduduk desa yang masih memiliki lahan tegalan-pun sulit menerapkan onsep tersebut karena disamping masalah skills, sebagian besarnya terkendala masalah modal atau capital – yang adanya terpusat di kota.
So what ? kita berhenti di sini ? ide-tinggal ide dan konsep Al-Qur’an yang begitu indah tidak sampai pada tingkat pengamalan kita ? Tidak, kita semua harus sampai bisa bener-bener mengamalkannya.
Di
jaman teknologi informasi ini, Anda yang membaca situs ini tidak tahu
dimana saya menyimpan filenya, dimana server saya. Saya sendiri tidak
tahu karena saya menggunakan teknologi cloud computing – dimana server saya terdiri dari sejumlah server di dunia maya yang dikelola oleh pihak ketiga.
Dengan konsep Resources As A Service
(RAAS), saya tidak perlu membeli server (resource) saya sendiri, saya
cukup menyewanya saja secara bulanan atau tahunan. Saya tidak perlu lagi
mengeluarkan CAPEX (Capital Expenditures) untuk membeli server,
gantinya saya hanya perlu mengeluarkan OPEX (Operational Expenses)
bulanan atau tahunan untuk menyewa server sudah termasuk biaya tetek bengek-nya yang menyangkut pengelolaan server.
Dengan konsep RAAS yang kemudian antara lain menghasilkan istilah cloud computing
ini, orang kebanyakan seperti saya – tidak lagi dipusingkan dengan
pembelian dan pengelolaan server, pembelian software-software yang
dibutuhkan dan tentu juga tidak perlu membayar engineer khusus untuk
keperluan ini.
Saya tinggal membayar sejumlah Rupiah atau Dollar, dan server saya bekerja 24/7/365 – tidak pernah libur. Ketika salah satu server tersebut down di tengah malam di hari libur-pun, insyaAllah selalu ada yang bisa saya kontak untuk mengecek dan memperbaikinya.
Bagaimana
kalau konsep yang sudah begitu kita kenal di dunia teknologi informasi
tersebut kita terapkan di dunia pertanian ? bisakah ? InsyaAlah juga
bisa.
Maka melalui tulisan ini saya perkenalkan istilah bertani di awan yang saya terjemahkan dari istilah Cloud Farming – yang juga baru mulai di tahapan introduction di beberapa negeri maju.
Bukan
berarti secara harfiah kita bisa bener-bener nanam cabe di atas awan –
emangnya Gatot Kaca !, tetapi sama dengan pengertian cloud computing di atas. Sebagaimana orang awam seperti saya bisa mengelola web dengan jaringan servers yang canggih dan reliable, orang-orang kota seperti Anda kini bisa bener-bener bertani seperti bertaninya para professional.
Dengan adanya pihak yang merangkai dan mengelola solusi ini – yang disebut service provider – seluruh infrastruktur tersebut menjadi dapat Anda akses dengan mudah dan juga murah.
Rintisan perdana system cloud farming tersebutlah yang kini mulai diperankan oleh iGrow (www.igrow.club). Untuk bisa menanam durian dan lengkeng misalnya, Anda tidak lagi perlu atau
harus mengeluarkan CAPEX berupa pembelian lahan. Hanya dengan OPEX Rp 5
juta sekali untuk 18 tahun, Anda sudah punya satu pohon durian. Hanya
dengan OPEX 1.5 juta sekali untuk 12 tahun, Anda sudah bisa punya satu
pohon kelengkeng.
Anda
bisa menjadi petani durian dan lengkeng tanpa harus lagi repot-repot
belajar bertani dan mengatasi segala macam persoalannya. Semuanya sudah
dikelola oleh Farm Infrastructure Provider – yaitu kebun-kebun yang dikelola secara professional oleh para ahlinya.
Meskipun
ini baru rintisan, peluang pengembanganya menjadi tidak terbatas.
Misalnya Anda nantinya pingin punya sawah untuk menanam padi organic –
karena Anda ingin memastikan bahan manakan yang baik untuk Anda dan
keluarga - dengan system cloud farming ini nantinya Anda akan bisa bertani di sawah-sawah yang fit untuk pertanian organic – lagi-lagi tanpa perlu membeli lahannya dan mengurusi sendiri segala macam tetek bengek-nya.
Orang-orang
kota seperti saya dan Anda tiba-tiba bisa menjadi petani – sama seperti
orang yang dulunya praktisi finansial kayak saya yang tiba-tiba bisa
mengelola web sendiri karena adanya RAAS dalam bentuk cloud computing.
Karena
uang orang kota dgunakan langsung untuk kegiatan menanam produk-produk
pangan yang dikehendakinnya sendiri, maka dalam era revolusi industri
ketiga – berapapun jumlahnya penduduk kota – mereka bisa langsung
terlibat dalam penyiapan makanan mereka sendiri. Lahan-lahan marginal
bisa berubah menjadi lahan optimal karena ada aliran modal dan skills.
Para ahli dan praktisi pertanian nan canggih akan tertarik untuk
menggeluti dunianya, karena modal yang mengalir ke industri ini.
Dengan
keimanan dan ketakwaan yang diimplementasikan bersama modal dan skills,
insyaAllah produktifitas tanah-tanah kita akan menjadi berlipat ganda
sebagaimana dijanjikan oleh Allah di surat 5:66 dan surat 7:96.
Tanah-tanah tegalan yang selama ini nganggur atau hanya ditanami tanaman seadanya, dengan sytem cloud farming – dia bisa dikelola oleh Farm Infrastructure Provider (FIP) yang bekerja di areanya, tanah tidak perlu dijual dan pemilik lahan tetap bekerja di lahan tersebut – hanya capital-nya saja yang mengalir melalui system Cloud Farming ini – dari orang-orang kota para Cloud Farmers.
Terlalu
luas peluangnya untuk kita eksplorasi satu per satu melalui tulisan
ini, insyaAllah akan ada tulisan-tulisan berikutnya dan cloud farming juga menjadi salah satu agenda dalam diskusi Sustainable Financing (25/10/2014) mendatang. Juga menjadi salah satu Action Plan di Agroforestry Apprenticeship Program yang akan berlangsung 3 bulan mulai minggu ke 2 November 2014. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar